Lihat ke Halaman Asli

Huru Hara Demokrasi

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Persaingan kandidat presiden Indonesia 2014, dari mereka yang ada pada ring satu atau pinggiran, kelakuan mereka seperti sedang memeragakan demokrasi huru-hara. Demokrasi pemilu memang ajang bagi siapa saja untuk menyatakan aspirasi dengan mengusung kandidatnya. Maka itu, gunakanlah momentum ini bagi pendidikan politik yang berkelas.

Fenomena pemilu Indonesia, kita jarang mengambil hikmah politik yang baik. Sebab, dua kubu saling bantah, saling menjelekkan. Bantah maupun jelekkan, mestinya dilakukan tidak dengan hura-hura. Sesuatu yang meriah tetapi tidak ada manfaatnya. Ibarat panggung acara dangdut koplo murah tapi meriah. Penyanyi asongan di panggung itu tak punya suara bagus, musik juga juga asal bunyi, malah pengunjungnya banyak.

Sejak pileg hingga ajang pilpres, para asongan dari kedua kandidat, bertarung merebut siapa yang paling banyak ditonton. Warga yang hadir pun, ikut-ikutan saja, tanpa menilai mana panggung yang enak didengar dari segi suara maupun musiknya. Hanya bermodal nekad, ikut meramaikan.

Panggung koplo tadi didalamnya ada media, pribadi, lembaga, militer dan sipil. Mereka kemudian menari, menyanyi. Pesan-pesan dari arena pilpres disampaikan. Dari nada suara dan musiknya jelek ditelinga, penonton masing-masing saling hura-hura, berlomba suara siapa yang paling tinggi dan ramai.

Banyak ocehan tak terbukti yang kita jumpai di arena publik pemilu. Kubu satu sebut capres sana bermasalah, begitu juga sebaliknya. Tanpa satu fakta hukum maupun analisa hierarki yang mendekati pada dugaan si dia tak pantas maju presiden. Huru-hara kemudian berganti judul dari pangung dangdutan koplo, usai KPU menetapkan kedua kandidat lolos/memenuhi syarat.

Jika sudah layak maju dari segi kesehatan maupun hukum, seluruh ocehan tadi tidak berguna. Dari tuduhan pelanggaran kejahatan manusia, korupsi, warga negara, tak nasionalis, pro agama tertentu, bahkan sinyalemen bahwa si capres itu hanya suruhan, sudah dipecat kok mau jadi presiden. Segalanya terima kenyataan bahwa sosok capres masa kini telah memenuhi syarat.

Pilihannya, tak ada gunanya mencerca siapa yang layak. Tinggalkan panggung koplo yang asal bunyi dan penuh hura-hura. Saatnya, belajar dari istilah Bebi Romeo "rampok". Ambil kesempatan dalam kesempitan, agar andalah juaranya. Caranya, banyak latihan supaya suara anda enak ditelinga para pemirsa yang mendengar agar mereka pilih kamu. Buatkan ajang kampanye yang elegan, mendidik dan cerdas.

Belum ada pendukung capres tertentu yang berani baris di jalan pegang poster, berbaris rapi lalu mengusung kandidat mereka. Paling banyak mereka sembunyi dibalik situs online, bicara via media baik cetak atau elektronik. Apalagi pas kampanye nanti, bunyi kendaraan bermotor melebihi suara massa. Megaphone sebesar apapun, bunyi motor dan klakson mobil yang mengudara. Huru-hara tak terbantahkan.

Amerika yang punya sistem demokrasi masa kini, disaat pilpres, hampir seluruh situs online rangking satu dengan agenda pilpres. Bahkan pengusungnya setia hadir pada panggung kampanye dengan membawa poster slogan capres mereka. Indonesia yang tiru demokrasi AS ini, panggung kampanye justru penuh dengan tontonan eksotis, pada berjoget ria, disiram air, basah lalu pulangnya masuk rumah sakit.

Demokrasi huru-hara tidak mendidik bagi rakyat. Bahkan mengharapkan kontrol rakyatpun, tak bakalan ada. Paling-paling setelah terpilih, si presiden malah bikin kebijakan anti rakyat, eh yang protes cuman sedikit orang, sedangkan kebanyakan orang apatis dengan perubahan. Maka itu, ajang demokrasi harus benar digalangkan, agar kedepannya kualitas pemimpin benar-benar terpenuhi. Jangan hanya slogan indonesia hebat, indonesia bangkit tetapi begitu freeport tidak penuhi komitmen bayar pajak, mulai dari presiden terpilih hingga rakyatnya-membisu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline