Hutan rusak, air tercemar, penyebaran virus HIV/Aids meningkat akibat lokasi ini berdatangan para wanita pekerja seks. Diskotik, karaoke, seadanya berdiri dimana-mana. Kampung-kampung yang dulunya tenang dan nyaman, kini keresahan yang timbul. Semua ini terjadi akibat mafia emas yang dibeking oleh aparat TNI/Polri.
Tiga suku yang mendiami sepanjang aliran Degeuwo, mau tak mau mencari jalan keluar untuk mendapakan air bersih. Ratusan kilometer pula, disana ada freeport. Seperti freeport yang juga hancurkan entitas budaya setempat, kehadiran investor asing ke Degeuwo pun melakukan cara-cara membabibuta. Tak hanya freeport saja yang mampu bikin terowongan, Degeuwo juga ada terowongan didalam gunung yang dibuat demi masuk kedalam mencari emas.
Alpius Anoka, pemangku hak ulayat ini kepada, PUSAKA, mengaku bahwa pemilik hak ulayat sepanjang sungai Degeuwo sejak tahun 2003-2013, sering tertipu oleh pengusaha dan perusahaan ilegal selama ini. Kami tahu di daerah Degeuwo ini ada 3 perusahaan yaitu, PT. Madinah Qurrata Ain, PT. Martha mining dan PT. Computer. Menurut Alpius, pemilik PT. Madinah Qurrata Ain yaitu Hj. Dasir dan H. Ason. Mereka bekerja sama sepihak dengan perusahaan asal Australia (PT. West Wits mining). Sedangkan PT. Martha Mining juga bekerja sama dengan perusahaan Australia. Lanjutnya, pemilik PT. Computer adalah H. Marsuki beroperasi di lokasi 81 dan sekitarnya.
Pengerukan gunung dan pinggir sungai dilakukan sejak tahun 2001. Awalnya, daerah ini hanya dilakukan dengan cara tradisional. Datanglah eksavator, alat berat lainnya, hadir menambang. Helipad/hekopter kecil, tiap malam terbang kesini hanya untuk angkut emas untuk dijual. Ijin pertambangan tak ada, mafia emas kemudian bergembira. Pemerintah Indonesia menandai areal ini sebagai daerah konservasi. Masuk dalam moratorium perlindungan hutan.
Semua aturan Indonesia, baik berupa moratorium hutan, manajemen amdal, pola ijin dan penjualan bahan tambang, tak ada yang patuh. Sudah serba ilegal tapi institusi penegak hukum negara disini malah menikmatinya. Pembiaran dilakukan atasnama kantong bisnis. Uang masuk dan keluar kepada sang aparat lancar selancar kali Degeuwo.
Suku-suku di seputar Degeuwo bergantung hidup dari sumber air dan hutan sekitar. Bertani/berkebun adalah aktivitas sehari-hari demi hidup. Tanah dan air kini tiada, bahkan perlahan gersang. Masyarakat pribumi disini mengandalkan hutan dan air yang ada. Mereka bukan masyarakat di pesisir laut sehingga selain mencari makan di darat, bisa juga kelaut.
12 tahun sudah, praktik tambang ilegal berlangsung, tanpa ada upaya dari negara Indonesia yang katanya melindungi segenap tumpah darah tanah air. Sejak beroperasi, tatanan disini hancur. Berbagai riak orang-orang disini, yang diulas, disini,menolak kehadiran imigrasi alat berat bersama manusia yang datang, tetap saja mereka berhadapan dengan moncong senjata. Penduduk asli berjuang demi mendapat hak atas kekayaan mereka. Menurut mereka, jangan rampok tapi mekanisme adat disini harus anda tau. Jangan rusak hutan dan air, sebab anda sudah rusak manusia-manusia disini.
Praktik illegal yang yang terus dilindungi Negara, semakin memperparah zona hidup orang-orang kampung. Parahnyanya lagi, proteksi yang mandul ini justru lebih parah ketika pasar bebas Asia-Pasifik datang tahun 2015. Saat ini penduduk setempat sudah kehilangan habitat mereka, apalagi era industrialisasi nanti? Salah seorang kepala suku setempat yang getol melawan bentuk-bentuk kolonialis disini atasnama mafia emas yang ditopang oleh anjing penjaga modal, mengatakan bahwa perusahaan penambang sudah beroperasi sejak tahun 2013. Dampak yang timbul akibat hadirnya perusahaan penjarah emas ini, antara lain; a). Pelanggaran HAM (Penembakan), b). Pengerusakan lingkungan hidup, c). Pengambilan dan perampasan kekayaan alam khususnya emas, d). Menularnya penyakit social HIV dan AIDS, dll.
Kehancuran peradaban suku-suku Papua menganga akibat pemberian Negara. Indonesia, tambang ilegal tapi malah dilindungi. Bahkan, capres yang demam panggung pun, malah dielu-elukan oleh sebagian orang-orang Indonesia. Cara pandang yang irasional kadang-kadang membudaya, baik dari yang ada di pemerintahan hingga rakyat jelata, dalam keberpihakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Sungai Degeuwo di Paniai Papua, merupakan satu tumpuan aliran air bagi tiga suku yang berada disini. Suku Mee, Wolani dan Moni. Sumber air ini kini kabur dan penuh dengan limbah mercury akibat masuknya tiga perusahaan penambang yang berkolaborasi dengan perusahaan asal Australia yang berkolaborasi dengan PT. lokal disini.
Tambang ilegal tapi dilindungi Indonesia, apa bedanya dengan capres demam panggung tapi malah di elu-elukan? Justru proteksi admin kompasiana lebih jitu terhadap opini warga disini ketimbang Negara proteksi peradaban rakyat di pedalaman Papua. Artikel saya soal ini semalam, diremove admin kompasiana sehingga saya tambah lagi argumentasi dan muat kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H