Lihat ke Halaman Asli

Sosialis Utopia dan CSR Indonesia Masa Kini

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak globalisasi bergulir, ruang kontrol publik dibuka pada aspek ekonomi maupun politik. Anggapan bahwa dengan masuk kedalam sistem entah sebagai staf ahli atau wakil rakyat agar menasihati penguasa supaya mereka membuat kebijakan yang pro rakyat. Begitu juga dengan pola ruang ekonomi yang dibentuk kontrol publik dalam pengelolaan dana sisa dari pembayaran perusahaan. Strategi diatas berjalan sesuai dengan berbagai konsep neoliberal yang diperuntukkan dalam mengawal sistem yang ada.

Regulasi Negara dimana saja, tentu dilihat, berpihak pada keadilan banyak orang atau keadilan individu? Berbagai regulasi dibuat dan diterapkan, hanya demi menunjang secara teknis saja. Entah itu mekanisme versi sosialis maupun kapitalis. Sementara neoliberalisme menjadi alat bagi sistem individual dan kelompok pemodal berkuasa, sembari sosialis utopia mengambil jalan mengawal para penguasa Negara agar menerpakan kebijakan yang merata, adil dan manusiawi.

Praktik dari dua sistem dunia yang ada, banyak dijalankan berbagai Negara. Dari aplikasi versi kapitalis maupun sosialis. Indonesia sendiri dikenal dengan jalan panjang pertemuan dua sistem, dimana kapitalisme berhasil cengram negri ini. Pemerintah hanya bisanya menerapkan titipan aturan yang diamatkan dari atasan diatasi regulasi.

Nasionalisasi kalah dari privatisasi. Regulasi privatisasi justru mampu menekan Negara Indonesia dan kini membudaya. Usai dijarah, kemudian muncul lagi regulasi CSR( community social responsibility). Sampah buangan dari pemilik modal dipungut lalu bangun jembatan, rumah sakit, listrik dan sebagainya. Untuk menopang itu, hadirlah para pendekar yang ingin menegur pemerintah dengan cara masuk kedalam parlemen atau jadi mentri atau jadi tim sukses. Mereka berharap, ketika dekat dengan penguasa, kritik dan saran mereka didengar.

Indonesia masa kini berkutat pada dua hal; pertama, dari segi politik jalan sosialis utopia dipakai sebagai alasan demi perubahan. Kedua, dari segi ekonomi, pilihan konsensi dari asset rakyat diberikan dalam bentuk CSR. Prilaku yang sebenarnya tak akan merubah sistem itu, terus menjadi argumentasi orang-orang yang banyak menimba ilmu setinggi langit. Gelar professor tapi bikin kebijakan yang hanya meramu secara teknis bagaimana menjalankan instrumen neoliberal kepada rakyat banyak agar diterima sebagai hal yang wajar.

Merubah sistem tak bisa mengharapkan kepada penguasa. Apalagi harap kepada presiden atau mentri. Mereka dipilih untuk tetap berjalan ke AS sana, lebih baik pilih merubah sistem ketimbang pilih penguasa. Disitulah perubahan menjadi nyata.

Kedepan, cara dan pendekatan yang ada sekarang perlu dirubah. Dengan cara memperbaiki sistem secara bersama-sama, seluruh orang sebagai syarat mutlak daripada terpecah belah hanya demi kepentingan memilih kepala Negara yang ujung-ujungnya agen anti keadilan bagi orang banyak. Salah satunya, membiarkan rakyat (semua insan) menentukan nasibnya mereka sendiri tanpa dipaksakan ikut regulasi apapun.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline