Sama seperti daerah lain di Jawa, Banyuwangi pernah memasuki masa-masa klasik. Masa ini ditandai dengan kentalnya nuansa Hindu-Buddha di setiap sendi kehidupan masyarakat. Sejumlah penelitian arkeologis telah menunjukkan bukti konkret. Selain kakawin yang sudah biasa dikutip, Blambangan sebagai nama terdahulu Banyuwangi juga disebut dalam prasasti Balawi.
Dimulai ketika ditemukannya arca di Situs Gumuk Putri hingga materai dan stupika di Situs Gumuk Klinting yang letaknya tidak seberapa jauh dari sana, setidaknya menunjukkan bahwa Hindu-Buddha di Blambangan memang ada. Bahkan, lempengan emas dari Gumuk Klinting mengindikasikan Blambangan sudah berkembang sejak Mataram yaitu sekitar abad ke-10 Masehi. Jauh sebelum Majapahit berdiri di kemudian hari.
Situs Gumuk Klinting dulu sebelum tergusur menjadi tambak, banyak menyimpan alat-alat upacara agama Buddha seperti materai, stupika, dan tablet. Selain R.P. Soejono tahun lalu Bambang Budi Utomo dari Pusat Arkeologi Nasional juga datang ke Banyuwangi. Ia penasaran dengan hilangnya situs yang sekarang letaknya di Kecamatan Muncar tersebut.
Corak Siwaisme
Saat Majapahit muncul menjadi kerajaan besar setelah Sriwijaya dan Mataram, baru diketahui bahwa salah satu penguasa di Blambangan bernama Bhre Wirabhumi. Ia merupakan keturunan dari Hayam Wuruk. Namun gagal menjadi putra mahkota karena sang ibu hanya berstatus sebagai istri selir.
Kegagalan itu tidak menjadi halangan baginya untuk menunjukkan bahwa sama seperti adiknya, ia juga mampu menjadi pemimpin yang baik. Hingga kini tata pemerintahan Blambangan belum diketahui karena data pendukung yang minim. Namun setidaknya Titi Surti Nastiti dalam penelitiannya tentang kedudukan perempuan Jawa, pernah menyebut Blambangan dulu juga diperintah oleh seorang perempuan.
Corak Hindu-Buddha semakin kuat ketika ditemukan beberapa artefak berupa lingga, yoni, maupun gabungan keduanya di sejumlah tempat. Sekarang sebagian besar tersimpan di Museum Blambangan. Namun bukan berarti tidak ada temuan serupa yang dimanfaatkan sebagai sarana pemujaan. Dengan banyaknya lingga-yoni di Banyuwangi, menunjukkan Hindu di Blambangan dulu lebih condong ke aliran Siwaisme.
Lingga-yoni sampai sekarang masih eksis, digunakan sebagai sarana pemujaan kepada Tuhan oleh masyarakat Jawa-Hindu di Banyuwangi Selatan. Fakta sosial ini diungkapkan oleh Bayu Ari Wibowo melalui penelitiannya bertajuk "Pemaknaan Lingga-Yoni dalam Masyarakat Jawa-Hindu di Kabupaten Banyuwangi".
Banyuwangi Selatan memang basis masyarakat Jawa yang kemudian disebut orang mentaraman. Mereka tersebar di beberapa kecamatan seperti Bangorejo, Cluring, Purwoharjo, dan Tegalsari. Karena masih digunakan sebagai sarana pemujaan, simbol Siwa dan Saktinya tersebut selanjutnya mendapat perlakuan khusus. Pada hari-hari tertentu masyarakat Jawa-Hindu membuat sesaji, Banten Kumara salah satu di antaranya.
Dewi Sri Masih Dihormati
Sebagaimana disebut pada bagian awal bahwa Banyuwangi juga memiliki tradisi yang menjadi indikasi masih kuatnya ekistensi Hindu. Dalam pelaksanaan ritual kebo-keboan ada satu sosok perempuan penting yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Perempuan itu digambarkan berpenampilan menawan dan ditempatkan di atas tandu. Dewi Sri, begitu masyarakat Aliyan menyebutnya.