Candi oleh masyarakat nusantara kuna difungsikan sebaga tempat ibadah. Di situ mereka sering melakukan puja kepada Tuhan dan para leluhur. Maka, tidak jarang ditemukan sisa-sisa abu, tulang, dan peralatan upacara. Namun abu maupun tulang tersebut bukan berasal dari manusia melainkan hewan. Hewan sejak dulu memang dijadikan persembahan dalam ritus keagamaan. Sebagai wujud syukur karena diberihidup dan kemakmuran.
Candi di masa kini sudah berubah fungsi sebagai objek wisata. Fungsi yang dulu sakral sekarang menjadi profan karena tuntutan zaman. Bahkan tidak jarang ketika liburan datang, objek seperti Borobudur, Prambanan, dan Bajang Ratu padat pengunjung. Candi Borobudur misalnya, tahun lalu menampung hingga 3,7 juta wisatawan. Ini adalah bukti bahwa candi masih menjadi primadona di setiap zaman.
Alasan wisatawan berkunjung bermacam-macam, mereka penasaran dan takjub dengan kemegahan. Selain unsur ketakjuban sebuah candi juga punya nama dan biasanya luput dari perhatian banyak orang. Asu, Bogang, Bubrah, Cetha, dan Perot adalah di antara dari sekian candi di Jawa Tengah yang punya nama tergolong unik. Nama-nama itu diberikan atas dasar kondisi candi ketika ditemukan.
Eksis dan Familiar
Nama bagi orang Jawa bukan sekadar tanda namun juga doa. Maka, keberadaannya harus samadya (pas) dan tidak boleh keladuk (berlebihan). Nama-nama candi tersebut hingga kini masih eksis dan familiar karena digunakan oleh masyarakat dalam pergaulan.
Saya ingat dengan kata Goenawan Mohamad bahwa makna yang muncul dalam nama itu tidak pernah final. Ada unsur permainan di sana, tetapi sekaligus ada unsur berjaga-jaga, untuk mengelak dari terkaman perumusan yang mematikan. Benar, jika diperhatikan kelima nama candi memiliki arti sendiri-sendiri. Jika digabungkan bisa membentuk sebuah kalimat sindiran bahkan umpatan. Contoh, "A*u! Cetha perot lan bubrah candhine. Lha iki ana sing bogang" ("Anj*ng! Jelas tidak seimbang dan berantakan candinya. Lha ini ada (bagian) yang berlubang.").
Sepatutnya dalam menulis dan mengucapkan nama candi bersangkutan harus hati-hati. Ini penting agar masyarakat mengerti dan tidak bias dalam penafsiran. Pasar Kembang adalah contoh lain. Dulu dikenal sebagai tempat orang berjualan bunga, namun sekarang konotasinya negatif. Pada masa sekarang, oleh kebanyakan masyarakat Yogyakarta, Pasar Kembang dikenal juga dengan nama "sarkem" (kependekan dari Pasar Kembang). Hal tersebut menunjukkan pergeseran makna dari kembang yang berarti bunga menjadi wanita penghibur.
Tetapi kita juga tahu zaman tak pernah berhenti di medan yang melulu halus. Zaman selalu menjinjing perubahan dan mengusung berbagai kejutan kebudayaan yang membuat segala sesuatu bisa tak berada di tempat atau fungsi semula. Nah, bahasa juga mengalami cara hidup yang semacam itu. Ia mengalami disposisi dan disfungsi. Ia tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia tercipta karena didorong oleh perubahan sosial yang tengah terjadi.
Ejaan
Sama seperti syair lagu Jawa yang dimunculkan di layar VCD atau DVD, pengetikan atau penulisannya kebanyakan didasarkan pada pengucapan. Begitu pula ketika kita membaca nama sejumlah candi, misalnya Cetho, Ratu Boko, Dermo, dan Surowono. Penulisan nama candi ini kurang sesuai dengan sistem ejaan bahasa Jawa, dan yang benar seharusnya adalah Cetha, Ratu Baka, Derma, dan Surawana.
Seringkali kesalahan ini dibiarkan dan malah dianggap lumrah. Menurut arti katanya, cetha memiliki arti tampak jelas. Apabila ditinjau dari faktor penamaan candi, tidak terdapat hubungan nama dengan artinya. Penamaan dalam candi ini disesuaikan dengan nama administrasi wilayah dari candi tersebut. Nama candi sesuai nama wilayahnya yaitu Dusun Cetha, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar.