Lihat ke Halaman Asli

Teater Lebih Mengasyikan ketimbang Turun ke Jalan

Diperbarui: 29 September 2017   14:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Proses blocking untuk pementasan

Tentu Anda sudah tahu tentang cerita epos yang diangkat ke layar kaca. Mahabharata dengan segala daya tariknya secara langsung telah menjadi guru bagi semua. Perang besar itu sanggup menguras emosi dan mempermainkan perasaan. Namun, ada satu bagian cerita yang hampir mengurungkannya. Ketika itu Arjuna enggan untuk berperang. Ia hendak mematahkan dendam dengan memilih tidak ingin melanjutkan peperangan. Hanya cinta dan kasih sayang antar sesama yang akan menyelamatkan Astinapura.

Tontonan dalam bentuk apapun memiliki jiwanya sendiri-sendiri. Terlepas itu tradisi atau bukan yang jelas keduanya mengajak kita untuk berpikir dan menalar. Baratayudha hakikatnya hanya sebuah repertoar yang sengaja digubah untuk mengingatkan manusia akan keterbatasannya. Perang yang sesungguhnya bukan dengan orang lain tetapi melawan diri sendiri. Setelah pertempuran selesai ke manakah mereka akan kembali? Sejatinya antara Pandawa maupun Kurawa tidak ada yang kalah dan menang. Sebab, mereka memiliki prinsip dan tujuan sendiri-sendiri. Kita memang seharusnya tidak perlu heran mengapa kemudian Pandawa melakukan pengembaraan. Dalam tradisi orang Jawa pencapaian kesejatian diri adalah yang terpenting.

Mereka menjalankan peran masing-masing sama seperti orang di atas panggung. Selepas lulus dari kuliah saya rindu dengan dunia panggung. Di sana saya bisa menjadi siapapun, tergantung repertoar yang sedang digarap. Dulu saya memang tidak pernah berunjuk rasa seperti mahasiswa kebanyakan. Bagi saya menyalurkan perasaan melalui panggung teater lebih mengasyikan ketimbang turun ke jalan.

Berawal dari Sanggar Poerbatjaraka saya memasuki dunia teater Bali. Belajar memahami kemerdekaan yang sebenarnya menjadi seorang aktor. Empat tahun delapan bulan bukanlah waktu yang panjang. Namun di sana banyak hal unik dan menjengkelkan yang secara langsung membentuk diri saya yang sekarang. Sejak awal saya memilih menggunakan nama Jingga Kelana untuk menyatakan sikap. Nama itu disebut untuk pertama kalinya ketika membawakan monolog untuk performing art. Sebuah naskah karya orang Sumatera Utara yang sejak awal cinta pada dunia seni peran.

Memilih Mocsa

Ketika itu proses kreatif terus berlanjut. Hingga akhirnya saya dipercaya  menjadi ketua untuk menggerakkan kembali roda kehidupan Sanggar Poerbatjaraka. Saya bersama kawan-kawan menemui para tetua untuk melakukan konsolidasi sebelum melangkah terlalu jauh. Akhirnya, setelah mendengar saran serta masukan kami pun memberanikan mengadakan sebuah festival. Festival tersebut kami jadikan sebagai ajang untuk mereaktualisasikan diri. Selain memang wahana untuk menampung kreativitas aktor dan aktris monolog SMA/SMK di Provinsi Bali.

Festival Mocsa (Monolog Caraka Sastra), sebuah nama yang keren namun butuh nyali besar untuk menyelenggarakannya. Karena sebelumnya ada perdebatan serta persaingan antara panitia penyelenggara dan Senat Mahasiswa yang ketika itu masih Fakultas Sastra. Idealisme kami dipertaruhkan. Tetap menjadi lembaga independen atau mengikuti permainan mereka. Akhirnya kami memilih tetap berjalan sendiri, meski itu artinya Mocsa tidak lagi diadakan di auditorium seperti rencana.

Salah satu penampilan peserta Mocsa. Dokpri.

Selain Senat Mahasiswa Fakultas Sastra (SMFS) keberatan dengan naskah yang kami lombakan. Mereka juga ingin Sanggar Poerbatjaraka di bawah SMFS. Padahal dalam AD/ART dikatakan bahwa UKM --termasuk Sanggar Poerbatjaraka-- bersifat independen dan itu sudah disepakati dalam rapat antar ketua lembaga kampus.

Persaingan semakin kentara ketika jadwal Reinkarnasi Budaya (sebuah acara bentukan SMFS) yang semula tidak berbarengan dengan acara kami, tiba-tiba tanggal pelaksanaannya disamakan. Dilihat dari ragam lomba yang ada di dalamnya, semula mereka tidak mencantumkan monolog dalam materi. Namun, setelah tahu Sanggar Poerbatjaraka akan mengadakan festival monolog se-Bali tiba-tiba materi monolog muncul dalam materi lomba Reinkarnasi Budaya.

Meski begitu kami tetap jalan sesuai rencana. Dilihat dari segi kesiapan kami lebih matang dan sudah menentukan peserta dari awal. Hingga akhirnya festival itu pun berhasil diadakan di Gedung Pramuka, Denpasar pada tahun 2012. Begitulah sekelumit dinamika yang terjadi ketika saya dan kawan-kawan menjaga gawang Sanggar Poerbatjaraka. Tidak mudah, tapi setidaknya kami sudah ikut menjaga api semangat dan perjuangan yang dari dulu ditanamkan para tetua sanggar.

Konsisten

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline