Lihat ke Halaman Asli

"Kemben" dan Peran Banyuwangi dalam Peradah Indonesia

Diperbarui: 25 September 2017   15:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transformasi kepemimpinan dari Viky Retnowati, S.Pd.H.(Ketua DPK Peradah Banyuwangi 2014-2017) kepada Edi Siswanto, S.E. (Ketua DPK Peradah Banyuwangi 2017-2020).

Perhimpunan Pemuda Hindu (Peradah) Indonesia Dewan Pimpinan Kabupaten (DPK) Banyuwangi pada tanggal 30 Juli 2017 kemarin melaksanakan Lokasabha ke-10. Kegiatan tersebut dilaksanakan setiap tiga tahun sekali sebagai tanda bahwa organisasi ini tetap hidup dan transformasi kepemimpinan yang ada di dalamnya berjalan dengan semestinya. Setelah melalui mekanisme pemilihan yang sudah disepakati maka terpilihlah Edi Siswanto, S.E. sebagai Ketua DPK Peradah Banyuwangi periode 2017-2020.

Jika mengingat sejarah pendirian Peradah Indonesia tahun 1984 di Kaliurang, Yogyakarta. Banyuwangi memiliki andil besar, sebab penggagas nama organisasi Peradah adalah orang Banyuwangi. Hal ini diungkapkan oleh Drs. Suminto, M.M. (Ketua PHDI Kabupaten Banyuwangi) ketika memberikan sambutan dalam perayaan Hari Ulang Tahun ke-32 Peradah Indonesia tahun 2016. "Jangan lupa bahwa orang Banyuwangi dulu juga ikut mempelopori lahirnya Peradah Indonesia di Kaliurang, Yogyakarta." Selain itu, beliau juga mengharapkan agar ke depan pemuda Hindu di Kabupaten Banyuwangi dapat mengambil peran kembali dalam kepengurusan DPN Peradah Indonesia. Pesan tersebut merupakan motivasi bagi kami untuk lebih semangat dan menjaga konsistensi dalam berorganisasi.

Kedua Kali

Kami menyadari bahwa ke depan tantangan yang harus dihadapi semakin kompleks dan sulit. Namun, tantangan-tantangan itu tidak boleh membuat seseorang cepat menyerah. Ya, hidup yang indah adalah hidup dalam alam yang penuh dengan tantangan. Untuk itu, generasi muda Hindu perlu mempersiapkan diri menuju generasi yang lebih baik. Memperluas wawasan dan mendewasakan pola pikir dengan berorganisasi. Orang yang mau maju selalu bergerak ke depan apapun rintangan yang dihadapi. Mereka membaca dan menganalisis apa yang akan dihadapi, tetapi apapun kesulitan atau ancaman yang dihadapi. Mereka teguh menggapai cita-cita yang sudah ditetapkan.

Mas Edi maupun saya sebenarnya adalah orang lama, karena di periode sebelumnya yaitu 2014-2017 kami juga menjadi pengurus. Ketika itu Mas Edi menjabat sebagai wakil ketua, sedangkan saya duduk di bidang Pendidikan dan Pengembangan SDM. Dipercaya untuk menjabat untuk kedua kalinya bukan persoalan gampang. Kali ini saya duduk di bidang Hukum dan HAM, sebuah hal baru yang mengharuskan saya untuk belajar kembali.

Terlepas dari hukum itu berhubungan dengan pasal dan undang-undang, bidang ini juga bersangkutan dengan kebiasaan yang sudah dilakoni masyarakat. Namun, untuk menyentuhnya ke depan saya harus bekerjasama dengan bidang lain. Belajar dari lapangan akhirnya saya tahu bahwa masyarakat --terutama generasi muda--  membutuhkan sosialisasi yang intens terkait kebiasaan itu. Contohnya, benarkah masyarakat Jawa yang beragama Hindu tidak boleh memakan daging sapi? Mengapa seorang pendeta selalu memelihara rambut panjang?, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat sederhana namun jawabannya jarang diungkap dan disosialisasikan kepada masyarakat.

Boleh atau Tidak?

Terkait benarkah masyarakat Jawa yang beragama Hindu tidak boleh memakan daging sapi? Sudah saya jawab melalui Kompasiana dengan judul Ketika Majapahit, Sapi Dikonsumsi dan Perempuan Dihargai. Sebenarnya masyarakat yang beragama Hindu boleh mengkonsumsi daging sapi, hal ini berdasarkan penlitian arkeologi bahwa jenis binatang yang selalu ditemukan di Trowulan ketika dilakukan ekskavasi adalah sapi dan babi. Hal tersebut menunjukkan bahwa golongan-golongan masyarakat di Trowulan  lebih cenderung memanfaatkan kedua binatang ini secara luas. Selain itu, sebagai suatu masyarakat perkotaan yang banyak berhubungan dengan dunia  luar, masyarakat Majapahit tidak lagi memegang aturan-aturan keagamaan  atau pun aturan nilai secara ketat. Gejala tersebut mengakibatkan  masyarakat tidak lagi mengikuti larangan memakan daging binatang dari  jenis tertentu seperti yang tercakup dalam rajamangsa(jenis binatang yang hanya boleh dimakan oleh raja) dan di antaranya adalah sapi.

Tadi malam ketika mendampingi kawan-kawan pengurus Peradah Komisariat Kecamatan Bangorejo melakukan rapat kerja untuk pertama kalinya pasca transformasi kepemimpinan. Saya bertanya kepada mereka tentang pakaian yang dikenakan perempuan ke tempat suci. Karena Mas Edi sempat menyinggung hal ini saat memberi pengarahan tentang mekanisme kerja dalam tubuh Peradah Indonesia. Kalau ada perempuan masuk ke tempat suci dengan mengenakan kmbn diperbolehkan masuk atau tidak? Mendengar pertanyaan demikian ada yang menjawab boleh dan tidak dengan berbagai alasan.

Saya hanya memberi penegasan bahwa perempuan mengenakan kmbn boleh memasuki tempat suci asalkan tidak cuntaka atau datang bulan. Saya mengambil contoh dari kebiasaan perempuan yang berkunjung ke Imogiri dan keseharian masyarakat Jawa Kuna yang tergambar dalam relief candi selalu mengenakan kmbn.Namun, jawaban tersebut disanggah oleh salah satu senior yang hadir. Ia mengatakan bahwa perempuan harus menggunakan pakaian tertutup ketika masuk ke tempat suci untuk menjaga kesopanan. Karena posisi Banyuwangi berdekatan dengan Bali maka masyarakatnya yang beragama Hindu menganut budaya Jawa-Bali. 

Dari sejumlah sanggahan yang dilontarkan ada satu yang bertolak belakang. Ya, mereka menganut budaya Jawa-Bali tapi ia juga mengatakan masyarakat Banyuwangi yang beragama Hindu dalam berpakaian selalu mendasarkan diri pada local geniusatau desa (tempat), kala (waktu), dan patra (situasi dan kondisi). Kalau begitu, berarti masyarakat Banyuwangi-Hindu harus mengenakan busana  adat Banyuwangi ketika ke Pura. Mana yang benar?.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline