Lihat ke Halaman Asli

Berdasarkan Prasasti, Upacara Caru Tidak Harus Mengorbankan Hewan

Diperbarui: 29 Juni 2017   20:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Arca perwujudan Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwarddhani sebagai Parwati dari Candi Rimbi. || geni.com

Polemik tentang nama Gajah Mada yang sempat viral di dunia virtual karena dihubung-hubungkan dengan paham atau agama tertentu baru saja menemukan titik terang. Berdasarkan bukti arkeologis, seperti prasasti Gajah Mada bertarik 1351 Masehi memang menunjukkan nama Sang Mahamantri Mukya Rakryan Mapatih Mpu Mada pada 1273 Saka (27 April 1351 Masehi). Tujuan pengeluaran prasasti dalam rangka pendirian sebuah bangunan caitya untuk memperingati gugurnya Paduka Bhatara Sang lumah ri Siwabuddha (Raja Kertanegara) bersama para pendeta dan pejabat tinggi kerajaan pada 1214 Saka (1292 Masehi) (Susantio, 2017).

Begitu pula dengan Majapahit yang katanya berupa kesultanan. Persoalan ini telah dibantah oleh sejumlah arkeolog senior seperti Mundardjito, Agus Aris Munandar, dan Hasan Djafar. Identitas keagamaan Majapahit dapat dilihat dari keberadaan candi, relief, gelar penguasa, hingga arca. misalnya Dyah Tya ketika berkuasa di Majapahit bergelar tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani. Gelar tersebut jelas menunjukkan ciri Hindu dan tercantum dalam prasasti Geneng II bertarik 1251 Saka/1329 Masehi. Berikut ini kutipannya:

sri tribhuwanottunggadewi jayawisnuwarddhani rajabhiseka samjna pinitasajnakrta dyah tya. pinratista ti tiktawilwanagara. Makamanggalyajna bhatara krtarajasapatni sapaksata arddhanareswarimurtimura. bhatara krta rajasamata. (Sri Tribhuwanottunggadewi Jayswisnuwarddhani dengan gelar atau nama julukan Dyah Tya dinobatkan di negara Majapahit, di bawah bimbingan Bhatara Krtarajasapatni yang merupakan sebagian arddhanareswari dari Bhatara Krtarajasa) (Nastiti, 2016: 80).

Perhatikan Data Empirik!

Seorang peneliti dan akademisi seharusnya ketika meneliti atau pun berargumentasi senantiasa memperhatikan data yang sifatnya empirik, artinya  data itu dapat dibuktikan oleh peneliti lain. Bukan bersifat klenik. Mereka harus memperhatikan konteks, bukan asal mengeluarkan argumentasi karena tekanan keadaan. 

Seperti kebiasaan seorang arkeolog yang selalu berpatokan pada keberadaan data arkeologi, yang hakikatnya merupakan hasil aktivitas perilaku manusia dan bersifat kebendaan atau salah satunya lazim dikenal dengan nama artefak.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa keberadaan artefak bersama konteksnya dalam penelitian arkeologi memegang peranan penting. Sebab, melalui artefak yang ada itulah arkeolog akan berusaha mengetahui kebudayaan masa lampau. Sementara itu, dalam meneliti seorang peneliti (arkeolog) harus bersikap hati-hati untuk menentukan apakah ketika saat ditemukan, suatu artefak masih berada pada proses tingkah laku atau sudah mengalami transformasi.

Pada prinsipnya suatu artefak ketika ditemukan oleh peneliti telah membentuk konteks yang tentu saja berbeda satu sama lain. Dengan kata lain, konteks ketika masih dalam tahap buat, dengan tahap pakai, mestinya berbeda. Demikian pula ketika artefak telah mengalami transformasi, terutama sekali harus dibedakan antara transformasi budaya dengan transformasi alam. 

Lumayan cukup panjang namun menentukan yang harus ditempuh agar validasi data dapat benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 

Ya, sebuah artefak tentu saja tidak dapat ditanyai informasi apa yang terkandung di dalamnya jika terlepas dari lingkungannya, terlepas dari konteksnya, baik konteks ruang, waktu, dan bentuk, maupun dengan data lainnya. 

Haruskah Mengorbankan Hewan? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline