Sejak duduk di bangku sekolah dasar dan menengah kita selalu mendengar bahwa Indonesia telah dijajah oleh Belanda selama tiga setengah abad. Mendengar penjelasan yang demikian, biasanya sebagian orang akan diam dan menerima segala ujaran sebagai ilmu pengetahuan. Namun belakangan juga banyak ilmuan yang membantah mitos angka 350 tahun itu. Salah satunya adalah seorang Eropa bernama J.G. Resink. Dia mengatakan bahwa sebenarnya Indonesia dijajah kurang dari 20 tahun.
Arti penjajahan bagi buyut kita memang menyakitkan. Di balik peristiwa itu, pasti masih ada luka yang menganga dan sulit untuk ditutup begitu saja. Sudah saatnya kita sebagai generasi pewaris mulai memikirkan kontribusi positif yang telah diberikan oleh bangsa penjajah. Seandainya tidak ada mereka, barangkali bangunan monumental dari masa Klasik yang sekarang banyak dijadikan objek edukasi dan pariwisata belum karuan ada wujudnya.
Akibat penjajahan, banyak warisan budaya bangsa yang dijarah, dibagi-bagi ke kolega, dan dibawa pulang sebagai cendera mata. Dari mereka bangsa ini dapat belajar bagaimana bersikap hormat kepada masa lalu yang ikut melahirkan Nusantara hingga bisa seperti sekarang. Meski warisan budaya kita banyak yang dijarah tetapi saya rasa bangsa penjajah tetap konsekuen dengan apa yang mereka perbuat.
Mereka tanpa merasa lelah tetap menjaga artefak bangsa kita. Mulai suhu ruangan hingga tata pencahayaan diperhitungkan dengan matang. Tidak hanya manusia saja yang membutuhkan obat-obatan namun warisan budaya pun juga demikian. Sejumlah formulasi bahan kimia maupun tradisional dipersiapkan untuk memastikan agar arca, inskripsi tua, dan artefak lainnya bisa berumur panjang.
Belajar Menerima
Beberapa tahun silam di sebuah lorong Prima Medika, Denpasar saya pernah berbincang dengan kakak tingkat soal warisan bangsa yang ada di luar negara. Bisa saja warisan-warisan itu diminta dan dibawa pulang. Tapi pertanyaannya kemudian, sudah siapkah bangsa kita menerima mereka kembali ke pangkuan? Simpulan dari percakapan kami adalah Indonesia belum benar-benar siap!.
Dilihat dari SDM, tentu untuk saat ini Indonesia sudah memiliki orang-orang mumpuni di bidang konservasi. Mereka hampir setiap tahun mengikuti pelatihan tapi itu masih belum cukup. Kita juga harus memikirkan lokasi penempatannya. Haruskah artefak tersebut disimpan di Museum Nasional atau museum daerah?.
Belajar dari kasus pengembalian arca Prajnaparamita, pemerintah memang harus menempuh proses administrasi yang lumayan panjang. Ya, mereka tidak gampang melepas begitu saja warisan budaya bangsa yang kadhung nangkring di negaranya. Bagi Belanda Prajnaparamita layaknya mutumanikam yang sangat dibanggakan. Sehingga, kepulangan arca dari Singhasari tersebut menimbulkan kesedihan mendalam bagi karyawan Rijksmuseum.
Kita harus belajar menerima kepulangan sekaligus kritikan dari para negara tetangga yang memang ratusan tahun lalu merawat artefak di kala Nusantara masih berjaya. Mereka melontarkan kritikan pedas dan semacamnya hanya karena ingin memastikan warisan itu benar-benar selamat di tanah kelahirannya. Bangsa ini harus lĕgawaada sebagian hartanya masih bersemayam tenang di luar negara.
Membuatnya pulang kampung seperti Prajanaparamita yang kita butuhkan bukan sekadar museum baru, tapi sebuah sikap dan komitmen kuat untuk benar-benar hormat kepada masa lalu. Selama kasus-kasus perusakan, perobohan, dan pencurian bangunan dan artefak lepas masih berkecamuk, jangan harap negara-negara di daratan Inggris dan Eropa percaya dengan kesungguhan rakyat Indonesia meminta agar warisan moyangnya dikembalikan seperti sedia kala.
Petang ini aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama tulisanmu, Rin. Entah apa yang akan kutulis nanti. Aku belum sepenuhnya mengetahui. Dua paragraf belum tentu impas mengenang. Senyum ayu Ibunda Prajnaparamita yang kini ada di Ibukota. Masih banyak warisan yangnangkringdi luar negara. Namun bangsa kita belum karuanbisa merawat, apalagi meruwatnya. Jika kelak mereka pulang, bawakan saja sebaki puisi milik puan swarnabhumi.