Lihat ke Halaman Asli

Candi di Banyuwangi dan Sejumlah Persoalannya

Diperbarui: 17 November 2016   13:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ornamen Alamaka pada puncak Prambanan

Pengantar

Ketika Jawa memasuki masa Hindu-Buddha, sejumlah bangunan suci dibangun sebagai wujud penghormatan kepada para dewa maupun leluhur. Konsep ini sebenarnya sudah dikenal sejak masa prasejarah, ketika itu manusia menganggap roh nenek moyang dan sesuatu yang besar wajib dihormati. Agar doa mereka segera terkabul maka manusia purba naik ke tempat yang tinggi atau membangun bangunan suci, seperti punden berundak.

Masa Hindu-Buddha di Indonesia dmulai ketika budaya India masuk ditandai dengan dikenalnya aksara dan bahasa Sanskerta. Selain aksara dan bahasa, juga dikenal konsep-konsep arsitektur khas India yang berpijak kepada Vastu Purusa Mandala. Dilihat dari sisi gaya arsitekturnya, terdapat beberapa gaya yaitu gaya Singhasari, gaya Jago, gaya Brahu, dan gaya punden berundak. Gaya arsitektur yang telah disebutkan mengacu kepada sejumlah candi di Jawa Timur.

Bangunan suci yang telah dibangun pada zaman dahulu sebenarnya memiliki berbagai macam nama disesuaikan dengan fungsi dan kedudukannya. Contohnya pada masa Jawa Kuna ada bangunan suci yang disebut sebagai Prasāda (prasasti Cunggrang, 851 Ś dan Kakawin Ghaṭotkacāśraya), Dharma Kahyangan (prasasti Kanuruhan I dan II). Sedangkan, dalam Kakawin Desawarnana dan Kakawin Arjunawijaya, tempat suci di Jawa Timur ada yang disebut Dharma Dalĕm/Haji (semua bangunan suci untuk keluarga raja), Dharma Lĕpas (tempat suci yang dianugrahkan kepada pendeta dan Rsi), dan Karsyan. Jadi, bangunan suci yang bernuansakan Hindu-Buddha tidak harus disebut candi.

Sementara itu, beberapa tahun belakangan ini di Banyuwangi telah dibangun sejumlah candi. Candi tersebut dibangun oleh masyarakat Hindu dan digunakan sebagai tempat ibadah. Namun, tampak ada sesuatu hal yang merisaukan setelah candi-candi itu berdiri dengan megahnya, hingga kawan saya yang ada di Surabaya pun bertanya soal penamaan bangunan tersebut benar apa tidak?.

Ya, harus diakui bahwa semangat masyarakat Hindu di Jawa Timur untuk membangun dan menggunakan kembali –istilah maupun bentuk bangunan suci masa Jawa Kuna– perlu diapresiasi. Meskipun begitu bukan berarti mereka dapat menyebut semua bangunan suci sebagai candi, padahal bangunan itu adalah Padmasana dan gĕdong pĕnyimpĕnan yang sengaja dibangun menyerupai bentuk candi pada umumnya.

Komponen-komponen Candi

Bangunan-bangunan suci pemujaan di Jawa dibangun berdasarkan konsepsi ajaran agama Hindu, Buddha, atau sinkretisasi keduanya. Perbedaan di antara ketiganya dapat diketahui dari wujud beberapa elemen penting candi yang bersangkutan. Bangunan candi tunggal Hindu contohnya, bisa dikenali dari arca-arca dewa Hindu, serta terdapat ornamen lingga atau ratna pada puncak bangunannya. Sedangkan, candi tunggal Buddha ditandai dengan keberadaan arca Buddha atau sejumlah relief yang bernafaskan agama Buddha seperti Tantri, Jataka Awadana, dan terdapat ornamen stūpika di puncak bangunan.

Pada bagian badan Candi Siwa, Prambanan misalnya terdapat empat buah ruang suci dengan empat buah pintu masuk yang menghadap ke empat arah mata angin dan di ruang-ruang itu ditempatkan sejumlah arca yakni arca Siwa Mahadewa (tengah), Siwa Mahaguru (selatan), Ganesa (utara), dan Durga (barat). Hal yang cukup menarik dari Candi Prambanan adalah memang benar candi ini bernafaskan Hindu-Siwa namun juga terdapat elemen Buddha-nya yaitu berupa amalaka, wujud dasarnya stupa namun pada bagian bulat dilengkapi dengan garis-garis dari atas ke bawah.

Perkembangan selanjutnya, di wilayah Jawa Timur pada masa Majapahit (abad ke-12-15 M) perpaduan antara Hindu-Buddha termaktub di dalam Kakawin Sutasoma: Siwatattwa lawan Buddhatattwa tunggal, bhineka tunggal ika. Tan hana dharma mangrwa (Agama Hindu dan Buddha itu satu, berbeda tapi satu jua, tidak ada ajaran agama mendua). Sementara itu, di dalam Kakawin Kunjarakarna disebutkan: Aku Wairocana yang merupakan Buddha dan Siwa dalam bentuk yang dapat dilihat, adalah guru semesta alam dan oleh karena itu Aku dikenal dengan nama Bhatara Guru, dewa tertinggi yang menembusi semua dunia.

Bangunan candi di Jawa Timur yang mengandung sinkretisme Hindu-Buddha, contohnya adalah Candi Jawi dan Candi Jabung. Bangunan Candi Jawi pada bagian dasar dan tubuhnya bersifat Hindu-Siwa karena dilengkapi dengan yoni yang terletak di bilik candi dan arca Durga (dua arca yang masih tersisa namun cukup untuk membuktikan ada unsur Hindu di candi tersebut). Sedangkan, puncak Candi Jawi berbentuk Stupa yang merupakan simbol agama Buddha.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline