Lihat ke Halaman Asli

Ketika Waktu Menangisku Tiba

Diperbarui: 2 Desember 2016   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa kali aku harus mengusap airmataku yang turun satu-satu. Tangisku tidak sepecah saat Arini, ibuku, meninggal 2 bulan yang lalu. Namun, berada di sisi pembaringan terahkir ibuku, walau sudah ratusan kali tetap saja mengundang pilu. Ditemani Gustaf, sepupuku, aku menyiramkan air yang ditempatkan pada botol bekas minuman mineral seukuran 1500 ml, satu plastik kecil bunga melati tergenggam erat di tangan kiriku. Keduanya kini telah membaur di pusara ibu. 

Aroma semerbak lembutnya melati menguap tipis di udara. Aku terpekur dalam doaku yang terbata-bata. Kubiarkan saja airmataku luruh tanpa rasa malu. Doa-doa berkumandang syahdu di angkasa, aku berusaha sangat khusyuk membaca buku Yasin yang kubawa. Harapanku, doa yang bergema di angkasa bisa segera sampai pada Tuhan, dan mengatakan pada ibuku, bahwa aku sudah tunaikan kewajibanku padanya. Seiring burung elang yang melayang-layang di sekitar pusara ibu, ingatanku pun terbang menemui kenangan masa kecilku.

***

Beberapa teman sekelasku asik bermain-main di halaman sekolah. Sebagai anak yang masih bersekolah di taman kanak-kanak, bermain adalah kebutuhan utama kami, seutama orang Indonesia menyantap nasi. Kulihat, sepupuku Gustaf yang kebetulan satu sekolah dengaku tengah asik bermain ayunan dengan Nazwa di sampingnya. Sementara aku, Toriq, Baim dan beberapa teman lagi, memilih untuk bermain sepak bola. Sesekali bola yang kami tendang mengenai beberapa teman perempuanku yang asik bermain seluncuran. Suara mereka melengking saat melihat sebuah bola mengarah pada mereka.

“Aw..aw..aw” jerit mereka sambil menutup kepalanya dengan kedua telapak tangan, melindungi kepalanya dari benturan bola. Aku bermain begitu riang, tak ada sedih ataupun gundah. Padahal saat itu, Ibu dan Ayah baru saja bercerai. Setelah menikah selama 7 tahun. Namun menurut penuturan Ibu dan Ayah, bercerai merupakan jalan terbaik bagi kami, -eh bukan...bukan bagi kami-. Tapi terbaik bagi mereka. Karena sebagai seorang anak, jalan terbaik bagiku adalah memiliki orangtua yang lengkap. Orangtua yang hidup bersama bukan terpisah. Walaupun berpisah, ayah adalah sosok yang bertanggungjawab, segala kebutuhanku dan ibu sangat tercukupi, bahkan seluruh isi rumah termasuk dua mobil di garasi diberikan semuanya padaku dan ibu. Ayah lebih memilih tinggal di rumah kakek dan membeli sebuah sepeda motor sebagai alat transportasi ke kantor.

Tiba-tiba aku melihat sosok ibuku keluar dari mobil, yang diparkirnya sekitar 10 meter dari pintu gerbang sekolah. Dan aku menjadi kesal. Aku tidak suka jika ibu menjemputku terlalu cepat. Karena sebagai anak tunggal, aku kerap kesepian walau ibu sering membawaku berjalan-jalan.Namun aku butuh teman yang usianya sebaya denganku.

“Desta!!!” Kulihat langkah ibu makin mendekat, sambil melambaikan tangannya, ibu memanggilku. Senyumnya yang khas mengembang di wajahnya. Kerudungnya yang berwarna tosca melambai-lambai tertiup angin. Akupun berlari, menghampiri ibuku. Ku dengar teriakan teman-teman yang tidak suka, karena aku meninggalkan permainan sebelum waktunya usai. “Yahh, Desta curang. Belum selesai, udah pulang” gerutu Toriq. Dengan peluh yang membasahi hampir seluruh wajahku, aku mengambil tas dalam kelas. Berpamitan pada bu Anik, wali kelasku sembari mencium tangannya “Hati-hati ya, Desta” pesannya.

Ibu meraihku dalam pelukannya “Baunya anak ibu ini” katanya gemas sambil mengusap keringat di wajahku.

Wajahku masam. “Huuhh, Ibu, kenapa udah datang?! Kan aku masih ingin bermain bola dengan teman-teman,” kataku merajuk sambil mengekor ibu masuk kedalam mobil.

“Ta, ini kan hari Jumat. Sebentar siang kamu harus Jumatan, pulang jumatan maem, bobo bentar terus jam setengah lima sekolah bola, jadi kalau lama-lama di sekolah nanti capek terus malas jumatan” Ibu membujukku dengan lembut, dengan pandangan tetap ke kemudi mobil. Aku diam. Tak ingin membantahnya. Karena seperti kata Ayahku, ibu adalah wanita kepala batu.

Aku ingin menangis, namun Ibuku selalu mengatakan bahwa sebagai seorang lelaki, jangan terlalu sering menangis, seorang laki-laki hanya boleh menangis dalam 4 hal. Pertama, saat berdoa, kedua saat membaca ijab kabul, ketiga saat melihat anaknya lahir dan yang keempat saat orangtuannya meninggal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline