Lihat ke Halaman Asli

Nonton Konser Dangdut

Diperbarui: 27 Agustus 2016   04:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar koleksi pribadi

Saya sampai lupa kapan terakhir saya nonton konser dangdut. Tentunya bukan konser 'berkelas' ala orang kekinian yang indoor plus tiket yang harganya saja bisa buat kulakan chiki se-pick up penuh. Walau aslinya saya ini anak metal alias mejeng tak laku, tapi saya sangat suka nonton konser dangdut village to village alias dari kampung ke kampung. Apalagi kalau pas ulang tahunnya republik Indonesia tercinta, banyak kampung di daerah saya yang memeriahkan acara Agustusan dengan konser 'ndangndutan'. Dan di situ pula kadang saya merasa hepi. Hiks.

Kalau konser ndangdutan ala pantura wilayah Brebes-Cirebon sampai Indramayu ada tradisi 'nyawer' berupa hadiah sejumlah uang kepada sang biduan melalui penonton yang joget ataupun yang di bawah panggung, beda dengan tempat saya di mana orang nyawer biasanya mesen lagu untuk dinyanyikan oleh sang biduan. Namun kini tradisi nyawer ala pantura sudah nular sampai tempat saya baik oleh penonton yang njoget naik ke atas panggung maupun penonton yang di bawah panggung. Saya sendiri bukan tukang sawer, artinya tidak setiap nonton ndangdut harus nyawer, hanya ngelempar duit saja kalau kebetulan biduannya semok demplon semplohay. 

Ada seni tersendiri dalam konser ndangdutan di kampung, sensansinya itu sangat susah untuk diungkapkan dengan kata kata puitis. Pokoknya maknyos dah. Apalagi jaman saya masih belum mengenal musik jazz, ndangdut menjadi pelampiasan mejeng karena hasrat untuk nonton konser musisi londo tak pernah tersalurkan karena kendala keuangan. Hiks. Padahal menurut ilmu kejiwaan dokter hewan, bahwa seorang fans berat atau penggemar aliran musik tertentu akan melakukan apa saja asal bisa hadir dalam perhelatan musik yang disukainya. Namun hal tersebut tidak berlaku buat saya, karena saya hanya sekedar pengagum tapi bukan tersangka pelaku. Saya mah apa atuh. Halah.

Sebagai anak metal, dulu kurang afdhol jika rambutnya gak gondrong. Tapi karena sering kepergok nonton konser ndangndut di kampung malah kena stempel sebagai Gondes aka gondrong ndeso dan Gondang aka gondrong ndangndut. Pada akhirnya saya kembali ke ndangndut, yang mana musik ndangndut terutama konser kelas kampungnya begitu membuat diri ini serasa Indonesia banget. Kebayang kalau saya ini gak suka ndangndut, karena ndangndut ada di mana mana. Bagi perantauan luar negeri, musik ndangndut pasti selalu ada dan menjadi sajian utama ketika ada acara kumpul kumpul sesama WNI di luar negeri. Seperti hal nya di KBRI Riyadh yang juga selalu menyajikan konser ndangndut sebagai pelengkap kemeriahan dalam setiap acara baik itu ketika libur hari besar atau seperti Pemilu 2014 kemarin.

Sebagai penutup, saya mau nyanyi sebait saja lagunya bung Rhoma... Kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga. Sungguh berat aku rasa kehilangan dirinya. Sungguh berat aku rasa, hidup tanpa diaaa... #eaaa #eaaa #eaaa..

Salam Kereria...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline