Lihat ke Halaman Asli

Denawa Cakil dan Jurang Grawah

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_124013" align="alignleft" width="215" caption="Jurang Grawah (gambar kependet saking http://www.hadisukirno.com/produk)"][/caption] Terik siang yang panas membakar dedaunan menjadi kuning keemasan. Pohon-pohon terlihat semakin mengeriput karena persediaan air mereka semakin menipis. Sempat terpikir oleh pohon-pohon itu untuk menjadi kaktus saja. Biar berduri dan tidak disukai orang, tapi mampu bertahan di panasnya sengatan mentari. Siang itu, di gunung Argayaksa, tepatnya di hutan Wanadiyu, sayup-sayup terdengar gelak tawa pesta 2 raksasa yang sedang menikmati daging para brahmana di bekas sebuah pertapaan. "Wuahahaha, Kangmas! Ceritamu itu sungguh lucu sekali. Benar-benar membuatku perutku mulas, Kangmas. Tapi apa benar semua yang kau katakan itu? Dan bukan hanya kebohongan saja?" seru Jurang Grawah penasaran. "Weladalah, Adiku Yayi Jurang Grawah, apa-apa yang Kangmasmu ini katakan itu benar adanya. Dan tidak ada satupun tipuan yang aku gunakan. Jadi percayalah." jawab Denawa Cakil dengan tenang. Buta yang termasuk tokoh raksasa bala dan berkarakter galak ini memang sangat sulit percaya. Dengan posisi muka nya yang langak dengan mata dua berbentuk plelengan, berhidung wungkal gerang, Jurang Grawah berjalan mendekati Denawa Cakil yang sedang asyik mengunyah daging seorang brahmana yang malang. Dengan mulut ngablak-nya dan gigi taring yang runcing sambil mengusap darah merah yang mengotori mulutnya, dia duduk di depan Denawa Cakil. Seakan dengan jarak yang lebih dekat maka dia mampu merasakan apakah perkataan Cakil tersebut benar adanya. Bukan hanya alasan 2 buta ini menjadi pekerja freelance dari Bathara Yamadipati. Bagi setiap mahluk yang tinggal  di hutan Wanadiyu, perawakannya yang kasar dan tanpo tedheng aling-aling, benar-benar menjadi momok di seantero gunung Argayaksa. "Jadi menurut Kangmas, posisi kita sebagai Buta, Raksasa, Ashura, mahluk tak berakal yang hanya menomor-satukan nafsu ini, akan tersaingi? Jangan salah Kangmas, apakah itu tidak terlalu berlebihan?" tanya Jurang Grawah sambil menggerak-gerakan rambut geninya yang panjang terurai. "Iyo Yayi Jurang Grawah. Ingatkah kamu, dengan para satria yang dengan kesombongan mereka tanpa melihat situasi dan kondisi diri menyerbu ke wilayah kita, hanya untuk mendapatkan kepala kita? Mereka yang dengan sukarela-nya menyerahkan kemudaan mereka, keperkasaan mereka, kebeliaan mereka, masa depan mereka hanya untuk apa kau tahu? Sebuah pengakuan! HUAHAHAHHAHA!" Jurang Grawah yang berwatak brangasan dan jarang menggunakan otaknya benar-benar bingung. Dia tidak terbiasa dengan pembicaraan-pembicaraan tingkat tinggi seperti yang dipagelarkan oleh Kangmasnya ini. Sambil menjejagkan kakinya ke dalam tanah sampai tajinya pun ikut terkubur, dia berteriak, "HAAAHHHH, Kangmas! Apa maksudmu dengan manusia, satria, sukarela, keremajaan, pengakuan? Apa hubungan itu semua? Kangmas tahu betapa aku, Si Rambut Geni Jurang Grawah sik abang rupane, tidak pernah mengetahui ha-hal lain sekain makan, minum lalu tidur, tapi Kangmas berbicara seolah akalku ini setingkat para brahmana yang menjadi makanan kita? Sambil menghela nafas berat dan tersenyum Denawa Cakil segera menenangkan Si Jurang Grawah. "Wes-wes, uwes Jurang Grawah, janganlah murko , sik sareh yoo, sik sareh. Akan aku jelaskan, maka dari itu dengarkan yo Yayi Jurang Grawah. Rungokno nganggo kupingmu."

***

[caption id="attachment_124015" align="alignright" width="210" caption="Cakil (gambar kapendhet saking http://www.hadisukirno.com/produk)"][/caption] "HUAHAHAHHAHA, Kangmas-Kangmas, kini aku mengerti maksudmu. Ternyata yang kau maksud akan menggantikan posisi kita sebagai buta itu adalah manusia to Kangmas?"

Kembali suara tawa yang menggelegar semakin keras terdengar. Jurang Grawah tampaknya tidak habis pikir bagaimana mungkin mahluk seperti manusia yang merasa derajatnya lebih tinggi bahkan untuk mereka yang  sekelas Sudra sekalipun, mau merendahkan harga dirinya hingga seperti Buta/ Raksasa/ Asura.  Dan semua itu hanyalah demi sebuah pengakuan ?

Pengakuan sebagai yang paling berkuasa, pengakuan sebagai yang paling berjasa, yang mana mereka peroleh dari sesama manusia disekitarnya.

"Memangnya apa yang mereka dapat dari pengakuan itu Kangmas? Kematian di tangan kita? Bukankah itu bodoh namanya? HUAHAHAHHAHA!"

"Ya, Jurang Grawah, itulah manusia. Hanya karena pengakuan sebagai yang terhebat, mereka berbondong-bondong memerangi apa saja yang menghalangi jalan mereka menuju kemari. Sampai-sampai mereka tidak berfikir, bukankah semua itu justru akan menyengsarakan diri mereka sendiri?" kata Denawa Cakil sambil mengusap-usap perutnya yang buncit.

"Seperti kala mereka memerangi kita agar bisa disebut pahlawan, seperti Rama atau para Pandawa? Padahal kemampuan mereka nol! Nol besar! Aku sungguh heran, sebenarnya yang tidak punya akal itu mereka atau kita? HUAHAHAHHAHA" lanjut Denawa Cakil.

"Sudahlah Kangmas, biarkan saja mereka berbuat sesuka hati mereka. Toh pada akhirnya kita juga yang seneng, kalau banyak diantara mereka yang berbondong-bondong menuju ke pedang Sang Yama? Kita bisa pensiun dini toh Kangmas?"

Dan kedua raksasa itupun kembali untuk kesekian kalinya tertawa terbahak-bahak. Menertawakan para manusia lemah yang bodoh menghampiri mautnya tanpa sadar. Para manusia yang hanya berfikir untuk mengejar apa-apa yang mereka sebut nama besar, kekuasaan, kebanggaan? Tanpa sedikitpun melihat jauh kedalam diri dan sekeliling mereka. Sungguh sangat disayangkan.

Mpu Cakil Arkanhendra




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline