Lihat ke Halaman Asli

Arkan Alexei Andrei

Pelajar SMA Labschool Jakarta 2021

Ilusi Terbesar Bursa Efek

Diperbarui: 9 September 2020   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gedung Bursa Efek Indonesia di Jl. Jenderal Sudirman/okezone.com

Banyak dari kita berasumsi bahwa indikator ekonomi sebuah negara bisa diuji dari aktivitas bursa efeknya atau dari kecenderungan nilai indeks pasar. Contohnya, jika LQ45 (indeks pasar yang berisi 45 perusahaan "terbaik") secara terus-menerus mengalami penurunan, kita menyimpulkan bahwa resesi atau perlambatan aktivitas ekonomi akan datang. Namun, bisakah kita membenarkan asumsi tersebut?

Pertama-tama, asumsi tersebut merupakan contoh dari The Wealth EffectFenomena ini menyatakan bahwa manusia cenderung mengeluarkan uang lebih banyak seiring dengan naiknya nilai aset mereka. Mereka berharap bahwa aset tersebut akan naik lebih tinggi lagi dengan impian cuan yang lebih tinggi juga. Padahal, pendapatan dan biaya tetap mereka sama seperti sebelumnya.

Mindset seperti inilah yang bisa membuat harga jauh lebih tinggi dari harga aslinya, atau bisa disebut bubble. Ingat Bitcoin? Ya, cryptocurrency satu ini sempat menjadi pembahasan seluruh dunia pada tahun 2018. 

Pada tahun 2017, Bitcoin memiliki apresiasi nilai yang jauh lebih besar dari harga "seharusnya". Intinya, faktor teknologi baru, serta liputan massal dari media membuat banyak orang tertarik untuk berinvestasi dalam Bitcoin. Mengikuti aturan ekonomi sederhana, bahwa saat permintaan naik maka harga naik. Apresiasi berlanjut hingga akhirnya pada awal 2018 dimana harga Bitcoin jatuh sebesar 65%.

Harga Bitcoin yang jatuh bebas/dentresearch.com

Lalu, bagaimana ini berkorelasi dengan aktivitas ekonomi kita?

Contohnya di masa pandemi saja, dimana 27 juta kasus terverifikasi, hampir satu juga meninggal, dan ekonomi dunia mengalami resesi, bursa efek dunia seperti tidak terpengaruh. Mari kita ambil contoh di Amerika Serikat. Indeks pasar S&P 500 sampai sekarang masih memecahkan rekor bahkan di masa resesi. Bagaimana bisa?

Untuk Amerika Serikat, Federal Reserve (bank sentral A.S.) dan Kongres sudah mengambil langkah-langkah luar biasa untuk memompa uang ke dalam perekonomian untuk menopang pasar. Dilaporkan, pemerintah A.S. telah mengeluarkan 1/3 Produk Domestik Bruto mereka yang menenangkan investor.

Ditambah lagi, investor secara umum tidak memiliki tempat lain untuk berinvestasi. Obligasi pemerintah contohnya, menawarkan keuntungan yang rendah, dan beberapa figur Wall Street memiliki sikap FOMO (Fear of Missing Out). Keadaan seperti inilah yang memaksakan investor untuk beroptimis dalam pasar saham walaupun sains dan coronavirus menyarankan sebaliknya.

Intinya, nilai dari sebuah saham bergantung pada cerita-cerita yang mendampinginya. Jika sebuah perusahaan mengeluarkan laporan keuangan yang buruk namun di ubah agar terlihat baik, bisa jadi nilai saham perusahaan tersebut naik. Atau misalnya ada perusahaan yang menerapkan kebijakan buyback dimana perusahaan tersebut membeli saham sendirinya untuk memompa harganya. Dengan taktik tersebut, perusahaan bisa menghabiskan mayoritas labanya hanya untuk membeli saham sendirinya. Hal seperti ini tentunya menggambarkan lukisan yang berbeda dari realita.

Betul, ada saatnya dimana valuasi bursa efek meprediksi ekonomi secara akurat. Namun lebih pentingnya lagi, harga sebuah saham tidak bisa dibandingkan dengan jutaan orang ter-PHK, masa pandemi yang berlangsung, serta strategi ekonomi untuk memompa nilai saham secara artifisial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline