Dampaknya persaingan bisnis penyiaran swasta semakin sengit dengan bermunculannya sejumlah stasiun TV dan radio. Melihat kondisi tersebut maka pemerintah menerbitkan UU. No. 32/2002 tentang penyiaran. Semangat UU. No. 32/2002 ini adalah untuk mengatur frekuensi radio yang jumlah terbatasnya itu agar tidak didominasi, dimonopoli dan dikuasai oleh satu pihak demi keuntungan ekonomi bisnis semata. Berdasarkan alasan tersebut maka pemerintah menetapkan dalam pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Penyiaran tersebut bahwasanya negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam UU. No. 32/2002 ini juga mengamanahkan dibentuknya suatu lembaga independen yang mengatur masalah penyiaran di tingkat pusat dan daerah yaitu KPI dan KPID.
Sayangnya pembentukan KPI dan KPID di daerag banyak diisi oleh penumpang gelap. Penumpang gelap ini adalah mereka yang tidak memiliki dedikasi dan pengabdian untuk memajukan bidang penyiaran di Indonesia. Penumpang gelap ini menjadikan KPI dan KPID sebagai sarana pekerjaan bukan sarana pengabdian. Banyak dari mereka yang memiliki latar belakang dekat pemilik media atau bahkan pernah bekerja di media tertentu. Selain itu ada juga penumpang gelap yang berasal dari titipan partai politik tertentu.
Pengusaha media dan partai politik sangat menyadari bahwasanya KPI dan KPID memiliki poisisi strategis ditinjau dari sisi kepentingan ekonomi bisnis maupun kepentingan politik. Hal ini bisa kita lihat pada saat Pilpres 2014, dimana KPI Pusat cenderung kepada pasangan Capres/Cawapres Prabowo-Hatta. Pada saat kampanye Pilpres 2014, KPI Pusat sangat tendensius menegur iklan-iklan politik pasangan Jokowi-JK. Dibalik kejadian tersebut akhirnya diketahui bahwasanya ada salah satu komisioner KPI Pusat yang merupakan kader partai PKS yaitu Azimah Subagijo. Kabarnya saat ini Azimah Subagijo sudah loncat pagar ke partai Golkar dan tergabung dalam MKGR yang merupakan salah satu sayap dari partai Golkar. Padahal jelas UU. No. 32/2002 pasal 10 menyatakan bahwasanya syarat menjadi anggota KPI/KPID adalah tidak terkait langsung atau tidak langsung dengan kepemilik-an media massa dan nonpartisan. Faktanya di lapangan aturan ini banyak diabaikan dan dilanggar.
Selain memiliki irisan dengan partai politik, Azimah Subagijo juga dikenal kerap menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Biasanya dengan motif memeras dan mengancam stasiun TV untuk meminta fasilitas atau bahkan sejumlah uang. Azimah Subagijo juga menjalankan praktik makelar perizinan di KPI sehingga stasiun TV yang akan memperpanjang izin siaran akan dipersulit jika tidak memberikan uang setoran. Azimah Subagijo yang telah dua periode menjadi komisioner KPI Pusat ini tidak bisa membedakan antara lapar, kenyang dan kembung. Azimah Subagijo bahkan juga sengaja menempatkan mantan stafnya di KPI Pusat yang juga anaknya di KPID Jakarta.
Pada Tahun 2014 lalu seleksi KPID Jakarta sepi peminat. Hal ini tampak dari sedikitnya jumlah peserta yang mendaftar sebagai calon komisioner. Adil Quarta Anggoro anak kandung Azimah Subagijo sekaligus merangkapnya staf khususnya di KPI Pusat pun ikut mendaftarkan diri. Alhasil dengan pengawalan dan pressure dari Azimah Subagijo yang komisioner KPI Pusat akhirnya Adil Quarta Anggoro lolos seleksi KPID Jakarta dan saat ini menjabat sebagai ketua KPID Jakarta. Kelakuan Adil Quarta Anggoro ini sebelas dua belas dengan Azimah Subagijo. Selain kerap melakukan pemerasan terhadap stasiun-stasiun radio di Jakarta.
Adil Quarta Anggoro juga pernah menjual frekuensi radio seharga Rp. 50 juta. Padahal jelas dan tegas dalam UU. No. 32/2002 bahwasanya frekuensi radio yang jumlah terbatas itu adalah milik negara dan harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Praktik ilegal mengkomodifikasikan frekuensi radio yang seharusnya tidak dijadikan komoditas tentu merupakan suatu tindak pidana. Namun sayangnya penyalahgunaan wewenang para oknum komisioner KPI dan KPID ini kurang mendapat perhatian publik dan tidak adanya pelaporan dari lembaga penyiaran yang telah jadi korban sehingga sulit bagi aparat penegak hukum khususnya KPK untuk mengambil tindakan hukum jika tidak ada aduan dari para korban.
Tanpa memiliki kompetensi dan profesionalisme yang jelas orang-orang seperti Azimah Subagijo dan Adil Quarta Anggoro ini sejatinya telah mencederai independensi dan integritas dari sebuah lembaga publik yang seharusnya menjadi cerminan dari pengawasan dan kontrol civil society terhadap pelaksanaan regulasi penyiaran yang dilakukan oleh pemerintah. Orang-orang yang tidak bermoral sekaligus memiliki motif jahat dan jorok dengan menyalahgunakan arti kata pengabdian menjadi pekerjaan dan pemerasan demi kepentingan perut seperti mereka tentu menjadi preseden buruk bagi supremasi civil society.
Sekali lagi apa yang dipraktikkan oleh Azimah Subagijo dan Adil Quarta Anggoro ini adalah suatu bentuk tindakan menLSMkan lembaga independen publik. Latar belakang mereka yang berasal dari LSM telah turut mewarnai pola tindak-tanduk mereka dalam menjalankan fungsi dan peran sebagai komisioner KPI. Lazimnya kita kita ketahui bahwa LSM-LSM di Indonesia tidak lebih dari sekadar pengamen yang hanya bernyanyi pada saat-saat tertentu dan tidur terdiam tanpa suara setelah diamankan dengan sejumlah nominal uang.
Sungguh-sungguh perbuatan dan pekerjaan yang sangat tidak bermoral. Jika pola-pola demikian diterapkan oleh Azimah Subagijo dan Adil Quarta Anggoro saat memimpin sebuah lembaga publik yang independen dan digaji oleh negara dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat.
Hal-hal semacam ini sungguh memprihatinkan, betapa KPI/KPID sebagai lembaga independen telah dibajak dan diperalat untuk kepentingan politik tertentu dan juga dijadikan lahan pekerjaan melalui praktik-praktif mafia perizinan, pemerasan dan penjualan frekuensi yang seharusnya itu tidak boleh diperjualbelikan.
Parahnya dari sekian banyak kasus kita hanya baru mengetahui pola relasi dan modus operandi dari Azimah Subagijo dan Adil Quarta Anggoro boleh jadi masih banyak komisioner-komisioner lain di KPID-KPID daerah lain yang menjalankan praktik-praktik ilegal serupa. Jangan kita biarkan, awasi, cermati dan laporkan untuk perbaikan kualitas penyiaran di tanah air. Semoga dengan demikian penyiaran kita menjadi bermanfaat, beradab dan bermartabat.