Banyak orang di kedai kopi kerap membicarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait persoalan-persoalan korupsi di tanah air. Bicara Pemilu dan Pilkada tidak lepas dari yang namanya Komisi Pemilihan Umum (KPU). Biarlah dua lembaga negara itu kerap dibicarakan orang dari pedesaan sampai masyarakat perkotaan. Namun, saya pribadi sangat tertarik dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
KPK dan KPU yang kerap dibahas orang pun banyak dapat sorotan negatif, misalnya KPK kadang dituduh tebang pilih, agak segan menangkap koruptor yang berada di sekitar pusat kekuasaan (istana). KPU pun demikian kerap dianggap tidak netral dalam Pemilu maupun Pemilukada, makanya ada juga komisioner KPUD yang dipecat diberhentikan tidak hormat oleh DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Nah, bagaimana dengan kinerja KPI yang jarang disorot publik?
Publik pun umumnya hanya tahu KPI bertugas memberi teguran dan sanksi atas isi siaran radio dan isi tayangan TV. Itu pun kerap diabaikan oleh pihak radio atau TV. Apakah disitu ada indikasi suap-menyuap dalam uang damai atau bahkan lebih jauh lagi ada celah permainan yang dapat menghasilkan uang besar. Berikutnya akan saya uraikan modus-modus permainan jahat KPI dalam mengkapitalisasi lembaga penyiaran baik itu radio dan TV.
KPI punya wewenang luar biasa dalam dunia penyiaran baik itu radio maupun TV. KPI memiliki wewenang memberikan pertimbangan dalam hal izin penyiaran bagi radio dan TV. Untuk mengurus izin atau memperpanjang izin biasa digelar melalui Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) antara KPI, lembaga penyiaran (radio dan TV) dan melibatkan pemerintah, akademisi dan tokoh masyarakat. Budaya dan praktik mengurus perizinan di Indonesia selalu menjadi lahan yang basah tak terkecuali dalam pengurusan/perpanjangan izin penyiaran melalui KPI.
Gilanya, menjelang EDP ini tak segan-segan kadang komisioner KPI atau pun KPID dengan terang-terangan meminta sejumlah uang yang besarannya cukup fantastis, mulai dari 50 – 250 juta tergantung besar kecilnya lembaga penyiaran yang bersangkutan.
EDP adalah forum yang mempertemukan para pemohon izin dengan KPI atau pun KPID dan unsur-unsur lainnya seperti pemerintah, akademisi, dan tokoh masyarakat setempat. Di forum inilah setiap lembaga penyiaran dinilai kelayakannya dalam memperoleh izin siaran. Jumlah lembaga penyiaran yang mengikuti tiap penyelenggaraannya tak tentu. Kadang 5 – 6 lembaga penyiaran, tapi bisa juga 10 – 20 lembaga sekaligus.
Dalam teknis pelaksanaan EDP ini dengan dalih untuk mempermudah proses perizinan lembaga penyiaran baik itu radio dan TV dimintai kontribusi dalam bentuk uang tunai. Padahal KPI maupun KPID telah diberi anggaran dari APBN atau pun APBD. Jelas permintaan dana penyelenggaraan EDP oleh KPI atau pun KPID adalah praktik illegal. Dapat masuk kategori pungli, dan jika dilakukan cenderung membuat komisioner KPI atau pun KPID tidak independen karena pungli tersebut sangat mempengaruhi keputusan lolos atau tidaknya lembaga penyiaran dalam EDP.
Kejahatan oknum komisioner KPI atau pun KPID rupanya sudah dimulai sejak tahap awal proses perizinan, yakni penyerahan proposal. Sudah kasih proposal, tapi pemohon izin tidak tahu kapan persisnya EDP akan terlaksana. Yang tahu hanya antara mereka dan Tuhan. Kabar soal pelaksanaan EDP baru tiba dua-tiga hari sebelum pelaksanaan. Pemohon izin dibuat kalang kabut supaya ada permohonan agar oknum komisioner KPI atau KPID bisa membantu mempermudah proses. Tentu, bantuan itu tidaklah gratis.
Biaya penyelenggaraan EDP menjadi semakin mahal karena diselenggarakan di hotel mewah. Padahal biaya penyelenggaraan EDP tidak harus mahal karena bisa digelar di kantor KPI/KPID atau kantor perusahaan lembaga penyiaran yang bersangkutan. Honor bagi komisioner KPI/KPID juga tidak wajib karena mereka sudah digaji negara dari APBN/APBD. Memang kebiasan dan budaya feodal kolonial menerima atau menyerahkan upeti untuk kelancaran mengurus/memperpanjang izin pun menjangkiti para oknum komisioner mulai dari KPI sampai pada tingkat KPID di dearah.
Sejumlah kritik terhadap praktik-praktik ini kerap dilontarkan oleh para penggiat dan pemerhati penyiaran namun praktik pungli ini berjalan terus. Tidak heran jika banyak mantan komisioner yang masih ikut cawe-cawe dalam pengurusan izin penyiaran di KPI. Paling tidak saat menjelang pergantian komisioner baru mereka akan mendaftarkan diri lagi atau meminta kawan dan keluarganya untuk ikut seleksi pemilihan komisioner KPI atau KPID.
Kita lihat saja misalnya, Ade Armando pernah jadi komisioner KPI periode 2003 – 2007 kemudian istrinya jadi komisioner KPI periode 2010 – 2013. Gilanya lagi, saat Ade Armando masih jadi komisioner KPI, istrinya diangkat jadi anggota Tim Panel Pemantauan dan Analisis Siaran TV mulai tahun 2007 sampai 2010. Ada lagi Azimah Subagijo yang identik dengan PKS, malah dua periode jadi komisioner KPI periode 2010 – 2013 dan 2013 – 2016. Tiga serangkai ini merupakan pemain lama dalam hal pungli, suap-menyuap dalam urusan perizinan. Ada dugaan mereka pun kerap mengancam TV dengan teguran dan sanksi sekadar untuk mendapatkan uang damai. Dugaan ini diperkuat dengan sejumlah fakta atas beberapa tayangan yang terus berjalan atau berganti nama program siaran tanpa merubah isi siaran setelah mendapat teguran/sanksi dari KPI. Saya memberi gelar sebagai Trio Mafia Penyiaran.