Dalam era modern seperti saat ini, transportasi umum yang layak dan terintegrasi menjadi kebutuhan mendesak bagi setiap kota besar, termasuk Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia. Janji Walikota Surabaya terpilih 2021 Eri Cahyadi untuk meningkatkan kualitas transportasi publik sudah lama dilontarkan, terutama pada masa kampanye Pemilihan umum Walikota tahun 2020 yang lalu. Namun, hingga saat ini, warga Surabaya masih merasakan kekecewaan karena kenyataan yang ada tidak sesuai dengan janji tersebut. Transportasi umum yang tidak terintegrasi dan kondisi infrastruktur yang memprihatinkan menunjukkan bahwa janji politik tersebut masih jauh dari kenyataan.
Transportasi Umum yang Tidak Terintegrasi
Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh warga Surabaya saat ini adalah transportasi umum yang tidak terintegrasi. Angkutan kota, bus, dan kereta api lokal beroperasi secara terpisah tanpa adanya sistem yang menghubungkan satu dengan yang lain. Hal ini mengakibatkan kesulitan bagi warga yang ingin beralih dari satu moda transportasi ke moda lainnya. Apalagi dengan kondisi trotoar yang kadang ada kadang tidak makin menyulitkan warga dalam beraktivitas. Jadwal yang tidak pasti, waktu tunggu yang lama, rute yang tidak menjangkau wilayah penduduk, armada yang kurang dan kondisi halte/bus-stop yang sering kali tidak layak sepertinya sudah menjadi rahasia umum. Hal tersebut menyebabkan warga lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi yang pada akhirnya memperparah kemacetan dan polusi udara di kota ini.
Janji Pembangunan MRT, LRT, hingga Trem pada Pemilihan umum Walikota tahun 2020
Pada Debat Kedua Pemilihan umum Walikota tahun 2020 yang lalu, paslon Walikota dan Wakil Walikota nomor urut 1, Eri Cahyadi-Armuji (Erji) berjanji untuk membangun sistem transportasi massal yang modern dan terintegrasi, seperti MRT, LRT, dan Trem. Janji ini disambut dengan antusiasme oleh masyarakat yang sudah lama mendambakan solusi transportasi yang layak di Surabaya. Namun janji tinggallah janji, hingga saat ini di tahun terakhir kepemimpinan Eri Cahyadi sebagai Walikota Surabaya periode pertama belum menunjukkan perkembangan signifikan atau boleh dibilang 'mangkrak'.
Di lain kesempatan saat ditanya wartawan tentang pembangunan MRT di Surabaya, Eri berkelit bahwa kendalanya ada di ketersediaan lahan dan biaya pembangunannya yang tidak mampu diakomodir oleh APBD Surabaya. Kalau Eri sudah tahu pembangunan transportasi umum di Surabaya itu mahal dan APBD tidak mampu untuk menopang pembangunannya lantas mengapa Eri mengeluarkan janji itu pada saat Pilwakot kemarin? Sampai kapan masyarakat hanya bisa melihat politikus mengucap janji politik seenaknya dan melupakan begitu saja apa yang ia pernah ucapkan?
Sekarang di tahun terakhir kepemimpinannya ia mengucap janji lagi bahwa Surabaya akan dibangun kereta tanpa rel Autonomus Rapid Transit (ART) pada tahun 2027, Eri seperti memberi isyarat politik bahwa ia berharap bisa menjabat lagi di periode kedua untuk merealisasikan janjinya itu. Tentu, warga hanya bisa 'mbatin', entah karena sudah muak dengan janji-janji yang ada atau juga realistis karena sistem ART memerlukan dukungan sarana infrastruktur jalan yang baik sementara kualitas jalan di Surabaya bisa dibilang 'beragam' dalam artian kadang bagus kadang hancur.
Kurangnya Lobi Politik ke Pemerintah Pusat
Salah satu faktor penghambat utama dalam merealisasikan janji-janji transportasi publik ini adalah kurangnya lobi politik yang efektif ke pemerintah pusat. Proyek MRT, LRT, dan trem pasti memerlukan dana yang tidak sedikit serta izin dari berbagai kementerian dan lembaga. Walikota Surabaya seharusnya menunjukkan komitmen yang lebih kuat dalam mengadvokasi dan memperjuangkan proyek ini di tingkat nasional. Tanpa dukungan politik dan finansial dari pemerintah pusat, upaya pembangunan sistem transportasi modern di Surabaya akan terus terhambat.
Hal ini cukup miris, mengingat Surabaya disebut-sebut sebagai 'Kandang Banteng' atau basis dari PDI-P yang partainya selalu menang dalam Pilwakot dari tahun 2005, namun Kota Surabaya tidak menunjukkan perkembangan yang berarti dalam pengembangan Transportasi publik. PDI-P di Surabaya cukup akomodatif dalam merealisasikan aspirasi populis yaitu pelebaran jalan sebagai solusi macet, namun mau sampai kapan pelebaran jalan itu menjadi solusi atas kemacetan di Surabaya?
Padahal dengan PDI-P yang sekarang sedang berkuasa di parlemen dan di pemerintahan kepresidenan Joko Widodo selama 10 tahun terakhir seharusnya tidak ada kendala dalam melakukan lobi politik, Walikota Surabaya beserta jajarannya hanya perlu konsisten memperjuangkan kepentingannya sampai pemerintah pusat memberi lampu hijau pada pembangunan transportasi publik itu.