Lihat ke Halaman Asli

Terlalu Lama Tak Sekolah, Pelajar Memilih Menikah

Diperbarui: 17 Juli 2021   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pandemi Covid-19 telah mengubah pola hidup masyarakat. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menekan angka penularan virus, termasuk menerapkan berbagai kebijakan baru yang berdampak pada penurunan mobilitas serta aktivitas masyarakat Indonesia. Kebijakan tersebut juga mempengaruhi berbagai sektor, terutama sektor pendidikan. Salah satunya adalah penutupan sekolah yang berdampak pada berubahnya sistem pembelajaran menjadi pembelajaran daring yang nyatanya masih sulit dilaksanakan secara maksimal. 

Baik siswa maupun orang tua siswa jadi tak siap dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Selama ini para orang tua siswa beranggapan bahwa dengan memberikan pendidikan dengan bersekolah, maka semua tanggung jawab mendidik serta membentuk perilaku dan karakter anak diserahkan kepada sekolah. Sehingga ketika sekolah ditutup, para orang tua dibuat bingung untuk mengatasi situasi yang terjadi. Hal tersebut membuat para orang tua acuh tak acuh dan sering hilang pengawasan atas aktivitas anak. 

Hal ini dapat menimbulkan permasalahan. Anak yang lemah pengawasan orang tua, otomatis memiliki keleluasaan bergaul di lingkungan sekitar, termasuk untuk berpacaran. Meskipun berpacaran tak melulu soal berhubungan seks, namun tak sedikit orangtua yang takut apabila anak berpacaran melampaui batas, dan memilih untuk segera menikahkan anaknya dengan dalih takut sang anak terjerumus pada perzinaan. dan tak jarang juga, orang tua mau tak mau menikahkan anak karena hilangnya pengawasan yang menyebabkan anak melakukan seks bebas dan berujung pada kehamilan diluar nikah. 

Tak hanya itu, perkawinan anak kerap disebabkan oleh himpitan ekonomi. Orang tua dengan pendapatan ekonomi rendah cenderung akan menikahkan anaknya karena dianggap akan meringankan beban mereka sebagai orang tua. Para orang tua beranggapan bahwa menikahkan sang anak akan melepaskan tanggung jawab menafkahi anaknya, karena nantinya akan ada yang menggantikannya untuk memenuhi semua keperluan sang anak, tanpa memikirkan hal yang terjadi pada anak kedepannya.

Perkawinan anak tak hanya disebabkan oleh paksaan orang tua, tetapi juga disebabkan oleh permintaan anak itu sendiri. Salah seorang siswi sekolah menengah atas (SMA) di Lombok Timur memilih untuk menikah dini karena suka sama suka, tanpa ada paksaan. Ia juga menambahkan bahwa ia memilih menikah karena bosan dan tak ada pekerjaan selama pembelajaran daring dilakukan. 

Hal ini berdampak pada naiknya angka perkawinan anak pada masa pandemi. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat 34 ribu permohonan dispensasi kawin sepanjang Januari-Juni 2020. Dari jumlah tersebut, 97% dikabulkan dan 60% yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun. Sedangkan Usia ideal menikah menurut BKKBN yaitu 21 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria. Umur tersebut merupakan umur yang ideal, karena dinilai telah matang dari segi reproduksi maupun segi emosional.

 Pernikahan dibawah umur tersebut rentan mengalami berbagai masalah. Remaja yang menikah tentunya akan kehilangan akses pendidikan, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mencari pekerjaan. Sehingga dikhawatirkan pasangan remaja yang menikah akan mengalami masalah ekonomi. Tak hanya itu, perkawinan usia dini juga mempengaruhi masalah kesehatan reproduksi.

Tubuh remaja belum siap secara fisik untuk hamil dan melahirkan, hal ini dapat meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi pada saat melahirkan. Kondisi anak yang lahir juga dikhawatirkan mengalami kekurangan gizi akibat pola asuh yang salah. Hal ini terjadi karena usia remaja belum siap untuk merawat dan mengasuh anak. Belum adanya kesiapan mental dan emosional remaja dalam menjalani hubungan rumah tangga kerap menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi. Selain istri, anak dalam pernikahan dini juga berisiko menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini meningkatkan risiko perceraian, dan dapat mempengaruhi kondisi psikologis sang anak.

 Untuk mengatasi hal ini, berbagai strategi telah dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menekan angka perkawinan anak di Indonesia. BKKBN hadir untuk mengedukasi masyarakat melalui program Generasi Berencana (GenRe), yang dikembangkan untuk mempersiapkan kehidupan berkeluarga bagi remaja dengan menyiapkan jenjang pendidikan yang terencana, berkarir dalam pekerjaan yang terencana, serta menikah dengan penuh perencanaan sesuai dengan siklus kesehatan reproduksi. Melalui program ini remaja diharapkan memiliki perencanaan kehidupan yang baik sesuai dengan 5 transisi kehidupan, yaitu melanjutkan pendidikan, mencari pekerjaan, memulai kehidupan berkeluarga, menjadi anggota masyarakat, dan mempraktekkan pola hidup bersih dan sehat. Edukasi tak hanya menyasar pada remaja, para orang tua yang memiliki anak berusia remaja (10-24 tahun) yang belum menikah juga diberi edukasi melalui program Bina Keluarga Remaja (BKR). Program ini hadir sebagai wadah komunikasi, interaksi, dan bertukar pengalaman serta pemikiran antara keluarga yang sedang atau akan menghadapi masalah remaja, sehingga bisa memberikan pandangan untuk memecahkan masalah secara bersama.

 Tentunya hal ini tak hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi peran setiap orang dibutuhkan untuk mencegah hal ini kian terjadi. Pemikiran bahwa pernikahan merupakan jalan keluar dari kemiskinan adalah salah besar, apalagi melakukan pernikahan untuk menghindari zina, sama sekali bukanlah solusi yang tepat, karena untuk menghindari zina adalah tidak berzina, bukan menikah. Remaja harus mengerti konsekuensi dari segala perbuatannya, mengerti atas dirinya dan apa yang menjadi prioritasnya. Remaja juga harus paham bahwa pernikahan seharusnya dilakukan pada usia yang tepat, bukan sebuah paksaan. Orang tua harus bisa memberikan edukasi mengenai seksualitas dan pernikahan yang baik bagi anak.

 Bagian yang terpenting, ditutupnya sekolah bukan berarti pendidikan juga berhenti begitu saja. Pendidikan harus tetap berlangsung di mana pun, terutama pada lingkungan keluarga. Pendidikan tak hanya bertujuan agar anak pintar dalam menghitung atau pandai berbahasa asing. Melalui pendidikan anak dapat mengetahui tentang kesehatan tubuh dan juga reproduksinya. Pendidikan juga berperan penting dalam memberikan wawasan pada anak tentang pentingnya terampil dalam hidup, juga mengembangkan dirinya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline