Memasuki pendaftaran presiden bulan oktober mendatang, masing-masing partai politik giat membangun koalisi untuk meloloskan bakal calon presiden serta bakal calon presidennya. Oleh karena itu bersiap-siaplah kita disuguhkan dengan berbagai manuver-manuver politik dari partai pengusung supaya mereka mampu meningkatkan elektabilitas bakal calon yang diusungnya. Untuk saat ini setidaknya public telah melihat tiga (3) bakal calon presiden yang bakal menjadi pilihan rakyat. Para tokoh ini diusung dengan berbagai cara yang berbeda-beda.
Pertama, bagaimana seorang calon yang memiliki elektabilitas tinggi namun tidak memiliki relasi sebagai kader pada partai politik tertentu. Sebut saja dalam hal ini adalah seorang anis baswedan yang notabene bukanlah kader dari salah satu partai politik. Kedua, seorang calon dengan elektabilitas tinggi sekaligus sebagai kader partai. Sebut saja yang mewakili kondisi ini ialah ganjar pranowo, Prabowo subianto. Lalu bagaimana mereka memainkan peran untuk memperoleh dukungan dari kekuatan mesin partai?.
Fenomena pertama, seorang anis baswedan dengan berbekal elektabilitas rata-rata diangka 20 % berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia, tentulah menjadi nilai tawar yang tidak main-main. Elektabilitas calon yang tinggi dipercaya akan mampu meningkatkan atau sebagai daya dongkrak bagi partai pengusungnya. Partai-partai berharap terjadi efek ekor jas (coat tail effect) dimana calon presiden memberikan efek electoral bagi partai pengusungnya.
Pertimbangan inilah yang kemudian pada oktober 2022 partai nasdem dengan lantang menyampaikan deklarasi dukungan terhadap calon presiden yang diusungnya yaitu anis baswedan. Sementara itu di kubu yang berbeda seorang ganjar pranowo yang memiliki elektabilitas rata-rata 30% telah dideklarasikan oleh partai yang menaunginya yaitu PDI Perjuangan di bulan April 2023 dan Prabowo subianto dengan elektabilitas yang hampir sama dengan ganjar pranowo terus memantapkan diri untuk diterima oleh partai koalisi maju sebagai bakal calon presiden.
Deklarasi dukungan dari partai politik terhadap calon tentu membawa konsekuensi yang tidaklah kecil. Sesaat setelah menyampaikan deklarasi tanggung jawab partai kemudian harus menyiapkan mesin partai di seluruh wilayah mulai dari tingkat ranting, cabang, wilayah hingga pusat.
Mesin-mesin perang ini sudah harus mulai dipanaskan untuk meningkatkan elektabilitas calon melalui jualan (selling) program maupun mengcounter isu-isu miring terhadap kinerja sebelumnya dari calon.
Sedangkan calon sendiri dituntut untuk bergerak membangun koalisi dukungan sehingga terjadi koalisi untuk memenuhi syarat pencapresan sebesar 20%. penetapan calon presiden sesungguhnya adalah momentum penting dengan perhitungan yang sangat matang.
Ketika salah perhitungan mencari momentum penetapan bisa-bisa strategi politik yang telah dirancang tidak akan efektif. Partai politik tentu akan menggunakan berbagai macam indicator untuk penetapan tersebut.
Manusia Unggul Sebagai Solusi
Sebelum mengurai lebih jauh problematika pencapresan tersebut, mari sejenak mengingat kembali sebuah pemikiran dari seorang filsuf prancis yang lahir pada 1905 Jean Paul Sartre. Ia merupakan seorang filsuf ternama yang dianggap sebagai seorang murid dari tokoh filsafat fenomenologi Husserl. Seorang Sartre menuliskan karya besarnya ditahun 1946 yang berjudul exsistensialisme est un humanisme.
Terdapat tiga (3) hal penting dibuku karya Sartre ini. Pertama: eksistensialisme sebagai suatu ajaran yang menyebabkan hidup manusia menjadi mungkin, dua: eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap tindakan itu mengandung didalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia, tiga: bahwa eksistensialisme manusia mendahului essensinya.