Lihat ke Halaman Asli

[Fik-Jam GEN Three] Not About Texas

Diperbarui: 18 Mei 2016   22:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: news.okezone.com

“Berangkat lagi, Mas?”

“Kamu sudah tanya itu berkali-kali! Jangan munafik! Jaman sekarang udah nggak penting halal haram. Yang penting kita bisa makan dan Dimas sekolah sampai selesai.”

Terdengar hela napas perempuan, terabaikan seiring suara pintu tertutup.

Lelaki itu melangkah dalam gelap dini hari, tangannya mempersiapkan sebuah sarung kain untuk wajah, juga badik bergerigi yang terselip mantap di pinggang. Itu mata pencahariannya, beberapa bulan ini.

***

“Bapak berangkat lagi ya, Bu?” lelaki  muda dengan seragam putih abu tengah sibuk mengaitkan tali sepatu.

“Iya. Sudah, jangan difikirkan. Kamu harus fokus, minggu depan ujian nasional.”

Setelah cium punggung tangan, si muda jangkung berlalu bersama sepeda motor baru. Sekolah.

Tinggallah perempuan itu di rumah sendirian. Tidak, berdua dengan seorang bayi mungil yang lelap pulas dalam ayunan kain. Mati-matian ia mengatur laju denyut jantung yang tak pernah teratur beberapa bulan terakhir ini. Bukan karena kemiskinan yang berkali-kali menjerat leher mereka hingga ke depan pintu rumah rentenir. Bukan juga rasa malu yang teramat kecut menenggelamkan mereka dari keluarga besar nan gemar menyindir dalam setiap momen temu keluarga.  Tapi pada lelaki itu, suami yang dibaktinya hingga rela meninggalkan hidup mewah bersama orangtua.

Sejak awal ide itu muncul, ia tak pernah setuju. Bagaimana mungkin merelakan suami tercinta mencari nafkah dalam bahaya? Tapi adakah pilihan lain? Ketika pekerjaan halal seperti kuli serabutan atau buruh tak kunjung cukup menutup kebutuhan hidup mereka. Meski dengan pekerjaan sekarang ia tak lagi yakin do’a dapat menjaga suaminya agar baik-baik saja, apatah lagi memberi kepantasan atas  berkah rezki yang halal. Ia malu sesungguhnya, malu pada Tuhan.

Si sulung lelaki tak pernah tahu. Yang ia tahu bapaknya adalah seorang buruh perkebunan sawit dengan jam kerja tak tentu. Kadang berangkat pagi sekali sebelum subuh. Kadang sore mejelang maghrib, atau dinihari saat tak ada lagi orang yang bangun. Setiap kali ia bertanya pada sang ibu, jawaban yang didapat hanyalah sama, agar ia fokus sekolah dan ujian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline