Lihat ke Halaman Asli

Ariyani Na

TERVERIFIKASI

ibu rumah tangga

Ahok Independen, Parpol Galau?

Diperbarui: 14 Maret 2016   09:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keputusan Ahok untuk maju sebagai calon gubernur melalui jalur independen, menuai banyak opini di berbagai kalangan, ada yang menyambut positif, ada yang menyayangkan, ada pula yang berkomentar negatif. Isu deparpolisasi pun akhirnya dikumandangkan, seolah keputusan Ahok untuk mengikuti keinginan anak-anak muda yang tergabung di Teman Ahok menjadi sebuah ancaman bagi kelangsungan kegiatan partai politik.

Isu deparpolisasi seharusnya tidak perlu digaungkan karena keberadaan partai politik mutlak ada di negara kita mengingat lembaga legeslatif diisi oleh perwakilan partai politik yang sekaligus disebut sebagai wakil rakyat, sehingga meskipun pemilihan kepala daerah dimenangkan oleh calon independen, tidak akan mengurangi peran partai politik untuk menjadi wakil rakyat di lembaga legeslatif dan bertugas mengawasi jalannya pemerintahan.

Pencalonan Ahok dan Heru sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI 2017 secara independen mengingatkan saya pada Aceng Fikri dan Diky Chandra saat pemilihan Bupati Garut yang bisa mengantongi 57 persen suara, mengalahkan calon pasangan yang berasal dari partai politik, dan ini mungkin juga terjadi pada Pilkada DKI 2017.

Terlepas dari penilaian pribadi Ahok, posisinya sebagai gubernur yang dinilai berhasil membuat Jakarta sedikit lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya tentu menjadi poin tersendiri yang akan dijadikan pertimbangan masyarakat Jakarta untuk memilihnya kembali menjadi gubernur dengan harapan Jakarta akan lebih baik untuk lima tahun yang akan datang, dan ini menjadi PR berat partai politik yang akan mengajukan pasangan calonnya.

Pilkada DKI dan Pileg 2019

Masih teringat jelas, saat Pileg 2014 dimana PDIP berhasil meraih suara terbanyak karena saat itu jumlah suara di pemilihan legeslatif menentukan apakah partai bisa mencalonkan pasangan Presiden dan wakil Presiden, dan masyarakat diluar simpatisan PDIP yang menginginkan Jokowi menjadi presiden mau tidak mau ikut memilih PDIP pada saat Pileg.

Kondisi diatas tentu tidak akan berlaku lagi untuk tahun 2019 mengingat akan diberlakukannya pemilu serentak, sehingga suara yang diperoleh partai untuk kursi legeslatif tidak dipengaruhi oleh pasangan capres dan cawapres yang diusung. Dengan demikian, sikap partai politik saat ini akan menjadi poin penting penilaian masyarakat untuk Pileg 2019 yang akan datang, termasuk sikap partai politik dalam Pilkada DKI 2017.

Diakui atau tidak, Pilkada DKI 2017 sudah menjadi perhatian masyarakat banyak, bukan hanya warga Jakarta saja, karena media dan sosial media kerap membahasnya, baik dengan berita positif maupun negatif. Pemberitaan Pilkada DKI ini juga hampir menutupi kegiatan persiapan Pilkada daerah lain yang akan diberlakukan bersamaan di tahun 2017.

Setiap kebijakan yang disampaikan dan diputuskan sebuah partai terkait Pilkada DKI 2017 akan menjadi penilaian masyarakat dan akan berdampak pada perolehan suara di pileg 2019 terutama untuk wilayah DKI Jakarta. Keputusan Nasdem mendukung Ahok pun sepertinya tidak terlepas dari upaya menarik simpati masyarakat agar memilih partai tersebut pada pileg 2019.

Media Sosial vs Mesin Partai

Di daerah yang belum terjangkau teknologi, dengan masyarakat yang juga belum melek teknologi, mesin partai memegang peranan penting untuk kampanye politik, namun tidak demikian halnya untuk kota-kota besar, dimana akses internet mudah dan murah, ditambah dengan masyarakat sudah banyak yang melek teknologi, keberadaan media sosial memegang peranan penting untuk kampanye politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline