[caption id="attachment_303546" align="aligncenter" width="300" caption="sumber : https://www.facebook.com/JukiHoki/photos/a.613070092063812.1073741834.332016033502554/661865737184247/?type=1"][/caption]
Pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMU/SMK yang berdekatan dengan pelaksanaan Pemilihan anggota legeslatif menghasilkan berita yang sama, yaitu adanya temuan kecurangan yang dilakukan oleh peserta UN maupun para Caleg.
Semalam saya menyaksikan Indonesia Lawyer Club (ILC) yang membahas kecurangan yang terjadi pada pemilihan anggota legestatif tanggal 9 April 2014 lalu, dan tadi pagi saya melihat berita peserta UN yang tertangkap kamera sedang mencontek saat ujian.
Dari dua fakta diatas, saya tergelitik untuk membahas, mengapa orang melakukan kecurangan-kecurangan tersebut.
Hal pertama yang membuat orang melakukan kecurangan adalah tidak percaya diri dan tidak siap menghadapi kegagalan.
Tujuan sesorang mengajukan diri menjadi seorang calon legeslatif tentu bermacam-macam, ada yang benar-benar ingin menjadi wakil rakyat dan bekerja untuk rakyat yang diwakilinya, tapi tidak sedikit yang memiliki tujuan lain, seperti mencari kehormatan/gengsi duduk di kursi dewan yang terhormat, mencari kesempatan untuk mendapatkan keuntungan (baca : proyek yang menghasilkan banyak uang) atau hanya untuk mendapatkan status pekerjaan dengan harapan mendapatkan penghasilan yang lebih baik.
Caleg yang memiliki tujuan baik, yaitu yang benar-benar ingin mewakili rakyat tentu tidak akan berambisi bahwa dirinya harus lolos menjadi anggota dewan, sehingga biasanya mereka tidak ‘ngotot’ dalam berkampanye dan cukup percaya diri bahwa rakyat sudah mengenalnya dengan baik karena prestasi dan hasil kerja yang bermanfaat untuk masyarakat sekitar. Sehingga dengan kata lain, para caleg ini akan siap lahir batin bila tidak terpilih karena merasa bahwa dirinya belum dipercaya rakyatnya untuk mewakili.
Caleg yang memiliki tujuan kepentingan pribadi inilah yang biasanya berusaha keras agar dirinya terpilih, sehingga ada banyak caleg yang rela mengeluarkan uang ratusan juta hingga milyaran rupiah untuk membeli suara atau membayar ‘oknum’ yang sekiranya dapat membantu meloloskannya menjadi anggota dewan. Biasanya caleg seperti ini sadar bahwa dirinya tidak dikenal oleh pemilihnya, karena tidak ada prestasi yang pernah ditunjukkan kepada masyarakat, tetapi karena memaksakan diri harus terpilih maka mereka menggunakan cara-cara curang untuk mendapatkan suara.
Bila pada akhirnya caleg gagal lolos menjadi anggota dewan, maka otomatis tujuannya tidak tercapai, akibatnya menjadi stress dan depresi karena tidak siap harus kehilangan seluruh harta yang sudah dikeluarkan guna mencapai tujuan jadi anggota dewan, merasa malu karena tadinya sudah terlanjur menyombongkan diri bahwa dirinya akan menjadi anggota dewan.
Karena UN menjadi salah satu syarat kelulusan siswa, maka tentu semua siswa berusaha medapatkan nilai yang baik untuk dapat lulus sekolah. Berbagai usaha dilakukan, dari mengikuti bimbingan belajar sampai menghentikan semua kegiatan hanya untuk belajar mempersiapkan UN.
Meskipun sudah melakukan segala persiapan, namun tidak semua siswa merasa benar-benar siap menghadapi untuk mengerjakan soal-soal UN, terutama siswa yang kerap mendapat nilai jelek saat tryout. Belum juga menghadapi UN mereka sudah membayangkan bagaimana bila tidak lulus, orang tua akan marah dan merasa malu dengan teman-teman bahkan takut mempermalukan nama sekolah. Tekanan-tekanan seperti inilah yang akhirnya membuat mereka mencontek atau berusaha mencari dan membeli kunci jawaban soal.
Hal kedua yang membuat orang melakukan kecurangan adalah adanya kesempatan dan lemahnya pengawasan.
Niat seseorang melakukan kejahatan/kecurangan tidak akan terlaksana bila tidak ada kesempatan dan ketatnya pengawasan.
Banyaknya kecurangan yang dilakukan oleh para caleg ini karena lemahnya pengawasan dan tidak tegasnya aturan mengenai sanksi bagi para caleg yang melakukan kecurangan.
Beberapa minggu sebelum dilakukan pemilihan umum sudah banyak temuan caleg yang membagi-bagikan uang, bahkan beberapa hari sebelum pileg digelar, banyak status di media dan berita yang menyebutkan bahwa banyak caleg yang membagi-bagikan uang maupun barang di daerah pemilihannya, namun apakah masyarakat tersebut melaporkan ke Bawaslu? Rasanya lebih banyak yang diam dan menerima ‘bantuan’ dari para caleg ini dengan senang hati.Walaupun dilaporkan ke Bawaslu, tidak ada aturan yang langsung dapat mendiskualifikasi caleg tesebut. Bawaslu hanya merekomendasikan pelanggaran tersebut ke KPU. Selain itu, tidak ada satupun partai yang memberikan sanksi tegas kepada calegnya yang diketahui melakukan kecurangan, semua diserahkan kepada KPU. Padahal seharusnya partai yang baik adalah partai yang dapat menerapkan aturan tegas yang berlaku dari pimpinan partai hingga ke bawah.
Keterbatasan-keterbatasan yang ada pada penyelenggaraan pileg membuka kesempatan untuk para oknum melakukan kecurangan. Salah satu contoh adalah tidak beresnya data calon pemilih yang ada di daerah saya, ada yang sudah pindah bertahun-tahun tetapi undangan tetap ada di rumah yang lama, sehingga besar kemungkinan surat suara ‘nganggur’ tersebut bisa dimanfaatkan oleh oknum tertentu. Belum lagi kecurangan pada penghitungan suara dan lain sebagainya.
Mengenai adanya kecurangan UN sepertinya sudah ada sejak dulu. Jaman saya dulu disebut EBTA/EBTANAS dan rasanya tidak seheboh sekarang. Sekolah juga tidak ‘selebay’ sekolah sekarang yang mengharuskan muridnya menginap beberapa hari untuk belajar dan berdoa bersama. Semua dipersiapkan biasa saja, murid-murid hanya diberi pelajaran tambahan dan latihan soal. Karena tidak ditakut-takuti, murid pun lebih tenang saat menghadapinya.
Mencontek saat ujian, pengawas yang sengaja memberi kunci jawaban atau membantu murid menjawab soal, sampai bocoran soal kunci jawaban pun sudah ada pada saat itu. Semua terjadi karena lemahnya pengawasan dari pelaksanaan ujian tersebut dan hal ini tidak diperbaiki dari tahun ke tahun. Selalu ada celah bocornya soal ujian, hingga tidak tegasnya pengawas UN.
Tayangan yang saya lihat tadi pagi, yaitu siswa yang tertangkap kamera sedang membuka contekan di bawah meja dan saya lihat contekan tersebut bukanlah kertas kecil tetapi berupa lembaran bahkan cukup tebal. Seharusnya, dilakukan pemeriksaan sebelum masuk kelas secara ketat, dan disediakan tempat khusus menaruh tas sehingga siswa hanya membawa pensil dan penghapus ke dalam kelas.
Selain itu, harus ada efek jera bagi siswa yang ketahuan mencontek yaitu mendiskualifikasi hasil ujiannya dan sanksi tidak dapat mengikuti UN selanjutnya dan tidak ada Ujian Ulang sehingga otamatis tidak lulus, sehingga siswa akan berpikir seribu kali sebelum melakukan kecurangan dan akan mengikuti ujian secara jujur karena masih ada kesempatan untuk ujian ulang atau mengikuti ujian paket C, bila hasil UN dibawah nilai standart kelulusan.
Semoga temuan-temuan kecurangan pada penyelenggaran Pileg maupun UN dapat dijadikan pembelajaran dan segera diambil langkah-langkah tegas untuk memperbaikinya dan tidak terjadi lagi pada penyelenggaran pemilu/pilkada berikutnya maupun UN mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H