Lihat ke Halaman Asli

Ariya Hadi Paula

Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora

Penjara Rindu Maratua

Diperbarui: 5 September 2024   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penjara Rindu Maratua

By AriyaSkylover

Langit di atas Maratua tampak cerah dihiasi awan-awan tipis yang bergerak pelan.  Angin pagi bertiup lembut meneduhkan setiap mahluk yang bertebaran di sepanjang pesisir pulau kecil di seberang Borneo.  Riak ombak terdengar pelan karena matahari pagi baru saja beranjak menuju puncaknya,  membuat  laut dalam membiru tenang.

Berpijak di ujung dermaga yang dibangun dari kayu besi, tampak seorang remaja perempuan berkerudung  menantang lautan luas dimana nun di seberangnya terlihat seonggok lempengan hitam tipis mengapung di atas permukaan. Gadis berparas jelita itu nanar menatap onggokan nan jauh yang tiada lain adalah pulau Borneo atau kadang disebut juga sebagai Kalimantan oleh para pendatang dari Tanah Jawa.

Pemandangan alam  mempesona, langit cerah ditingkahi hembusan lembut angin laut, nyatanya  belum mampu menghadirkan suasana ceria di relung hati dara gadis jelita. Sebaliknya air mata kesedihan malah meleleh melintasi kedua pipinya yang  putih bening. Tatapan matanya sendu menerawang.

"Beranikanlah diri Kau Noor.  Semua orang sudah carikan tempat yang baik dan aman buat Kau,"  tergiang ucapan ayahanda dari dara jelita itu ketika  melepas keberangkatannya menuju Pulau Maratua.

Masih tergambar jelas dalam pandangannya, ayah bersama beberapa  pendekar istana  mengantarnya  melalui jalur darat dari Kerajaan Sarawak menuju dermaga Berau.  Mereka hanya mengantar sampai situ karena harus segera kembali ke Tanah Melayu  yang  meghadapi penjajahan bangsa Inggris.   Selanjutnya perjalanan laut menyeberang ke Pulau Maratua ditemani oleh sang pakcik (paman) yang juga petarung silat handal di Sarawak.

Penyerbuan tentara kerajaan Inggris dan sekutu telah membuat ayahanda raja khawatir atas keselamatan  anak perempuan satu-satunya.  Ayahanda telah mendengar kabar bila didapati raja atau sultan yang menolak bergabung sebagai jajahan koloni Britania Raya, maka negeri dan penduduknya akan diluluh-lantakan. Sementara ayahanda bersama para datuk telah sepakat  untuk mempertahankan tanah Melayu sebagai negeri mahardhika. Kegentingan di istana telah mengirim dara jelita itu ke Maratua.

"Kau dah lebih aman di sini.  Ayahanda dan ibunda Kau pun akan merasa tentram juga di sana, ujar Pakcik  ketika  perahu dayung  yang membawa mereka dari Berau merapat di ujung dermaga Maratua.

Saat itu Pakcik menasihati dirinya supaya menguatkan hati dan belajar menjadi pemberani di tempat tinggal yang baru. Karena meski Pakcik akan sering mengunjungi dan dirinya ditemani seorang Mamak Inang,  pada kesehariaannya  akan lebih banyak mengurus dirinya sendiri.  Pakcik hanya akan membawakan bahan pangan dan sandang beberapa  pekan rutin, sementara Mamak Inang hanya memasak seadanya sambil sesekali benahi rumah tinggal. Sementara sisanya seperti mencuci pakaian, mencari ranting sampai menyalakan pelita (lampu minyak kecil) harus dilakukan sendiri olehnya.

Sayup-sayup gemuruh  yang berasal dari sekumpulan awan gelap tipis telah membuyarkan lamunannya.  Beberapa awan mendung di kejauhan seakan berlomba melayang ke arah pulau tempat sang dara berdiri.  Suasana pagi jelang siang yang tadi cerah dan panas terik, kini perlahan redup dan hangat. Begitu pun riak ombak yang menuju pantai mulai menunjukkan gelombang meninggi, kacau dan cepat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline