Lihat ke Halaman Asli

Ariya Hadi Paula

Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora

Mami Benci Kemerdekaan

Diperbarui: 5 September 2024   09:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mami Benci Kemerdekaan

By Ariya Skylover

Djati negara, 17 Agustus 1955. Matahari pagi menyengat pusat kota Jakarta tempo dulu. Meskipun berstatus metropolitan, namun masih banyak pepohonan rindang menaungi rumah rumah semi permanen disepanjang jalan Kampung Melayu. Hampir pada setiap pekarangan rumah tertancap tiang bendera dari bambu atau kayu kaso sebagai tempat berkibarnya sang merah putih. Termasuk sebuah rumah kecil sederhana dengan bangunan yang mulai menua diberbagai sudutnya.

"Papi Kamu itu tentara Heiho terbaik. Dai Nippon dan tentara Asia Raya yang sudah membantu bangsa ini mempersiapkan kemerdekaannya.  Bukan para pengecut yang ngaku-ngaku pejuang  lalu  menyerang  markas Papi yang memang sudah meletakan senjata!"  ujar seorang perempuan tua sambil  melepaskan sebuah bendera merah putih ukuran 30 x 50 centimeter dari dinding.  Dilepasnya paku-paku kecil pada setiap sudut bendera dengan perlahan serta hati-hati.

Dinding rumah perempuan itu terbuat dari papan-papan yang mulai lapuk, karenanya dia harus ekstra hati-hati supaya  tak gompal.  Bersamaan itu  membayang sosok suaminya yang disebut Papi tengah  mengenakan seragam Heiho lengkap dengan senjata laras panjang dengan bayonet di ujungnya.  Papi adalah pemuda kelahiran Manado yang bergabung dengan pasukan Dai Nippon di bawah pimpinan Jenderal Hitoshi pada tahun 1942.

"Jadi Kamu harus ingat Djoni, Dai Nippon  bukan penjajah!  Mereka yang mengajarkan  anak-anak  supaya  dapat angkat senjata. Mereka juga yang bangkitkan semangat  dan harga diri  sebagai manusia merdeka! Tegas  perempuan berambut panjang yang sepertiganya mulai memutih.  Bendera yang tadi dilepas dari dinding kemudian diikatkan pada  sebatang tongkat kayu setinggi  satu setengah meter lalu diserahkan kepada  anak lelaki kecil yang hanya mengenakan celana pendek.

Mami. Kalau Papi dan  tentara Heiho  baik, kenapa  mereka diusir?" tanya Djoni kecil sambil menegakkan tongkat beserta bendera yang diberikan ibunya.

"Bukan diusir wahai Djoni  Junior.  Satu hari setelah Hiroshima dan Nagasaki  dijatuhkan bom oleh sekutu, Kaisar Jepang memerintahkan semua pasukannya di Asia segera pulang dan menyerahkan  kepemimpinan kepada rakyat setempat," tegas  Mami.

Tapi Mi, teman-teman bilang para pejuang itu merebut kemerdekaan dari Nippon," jawab Djoni kecil sambil mengusap cairan hijau yang mulai keluar dari lubang hidungnya.

"Betul itu. Mereka merebut kemerdekaan yang emang sudah disiapkan Dai Nippon bersama pemuda republik," jawab Mami sambil menuju sebuah bangku kayu kecil dekat pintu masuk.  Walau masih banyak terdapat pohon rindang di sekitar rumah, serta lantai rumah masih tanah merah yang keras dan diratakan, namun suasana hati yang emosional membuat Mami merasa kegerahan.

"Mereka hanya bisa merebut. Mereka tidak sehebat Papi dan Heiho yang baku hantam menghajar kolonial dan mengusir sekutu dari negeri ini!"  sungut Mami setelah duduk di kursi kecil yang mulai reyot.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline