Mami Benci Kemerdekaan
By Ariya Skylover
Djati negara, 17 Agustus 1955. Matahari pagi menyengat pusat kota Jakarta tempo dulu. Meskipun berstatus metropolitan, namun masih banyak pepohonan rindang menaungi rumah rumah semi permanen disepanjang jalan Kampung Melayu. Hampir pada setiap pekarangan rumah tertancap tiang bendera dari bambu atau kayu kaso sebagai tempat berkibarnya sang merah putih. Termasuk sebuah rumah kecil sederhana dengan bangunan yang mulai menua diberbagai sudutnya.
"Papi Kamu itu tentara Heiho terbaik. Dai Nippon dan tentara Asia Raya yang sudah membantu bangsa ini mempersiapkan kemerdekaannya. Bukan para pengecut yang ngaku-ngaku pejuang lalu menyerang markas Papi yang memang sudah meletakan senjata!" ujar seorang perempuan tua sambil melepaskan sebuah bendera merah putih ukuran 30 x 50 centimeter dari dinding. Dilepasnya paku-paku kecil pada setiap sudut bendera dengan perlahan serta hati-hati.
Dinding rumah perempuan itu terbuat dari papan-papan yang mulai lapuk, karenanya dia harus ekstra hati-hati supaya tak gompal. Bersamaan itu membayang sosok suaminya yang disebut Papi tengah mengenakan seragam Heiho lengkap dengan senjata laras panjang dengan bayonet di ujungnya. Papi adalah pemuda kelahiran Manado yang bergabung dengan pasukan Dai Nippon di bawah pimpinan Jenderal Hitoshi pada tahun 1942.
"Jadi Kamu harus ingat Djoni, Dai Nippon bukan penjajah! Mereka yang mengajarkan anak-anak supaya dapat angkat senjata. Mereka juga yang bangkitkan semangat dan harga diri sebagai manusia merdeka! Tegas perempuan berambut panjang yang sepertiganya mulai memutih. Bendera yang tadi dilepas dari dinding kemudian diikatkan pada sebatang tongkat kayu setinggi satu setengah meter lalu diserahkan kepada anak lelaki kecil yang hanya mengenakan celana pendek.
Mami. Kalau Papi dan tentara Heiho baik, kenapa mereka diusir?" tanya Djoni kecil sambil menegakkan tongkat beserta bendera yang diberikan ibunya.
"Bukan diusir wahai Djoni Junior. Satu hari setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhkan bom oleh sekutu, Kaisar Jepang memerintahkan semua pasukannya di Asia segera pulang dan menyerahkan kepemimpinan kepada rakyat setempat," tegas Mami.
Tapi Mi, teman-teman bilang para pejuang itu merebut kemerdekaan dari Nippon," jawab Djoni kecil sambil mengusap cairan hijau yang mulai keluar dari lubang hidungnya.
"Betul itu. Mereka merebut kemerdekaan yang emang sudah disiapkan Dai Nippon bersama pemuda republik," jawab Mami sambil menuju sebuah bangku kayu kecil dekat pintu masuk. Walau masih banyak terdapat pohon rindang di sekitar rumah, serta lantai rumah masih tanah merah yang keras dan diratakan, namun suasana hati yang emosional membuat Mami merasa kegerahan.
"Mereka hanya bisa merebut. Mereka tidak sehebat Papi dan Heiho yang baku hantam menghajar kolonial dan mengusir sekutu dari negeri ini!" sungut Mami setelah duduk di kursi kecil yang mulai reyot.