Mudik
By Ariya Skylover
Hujan rintik disertai tiupan angin dingin menerpa kawasan Bogor Raya sejak tadi siang. Langit gelap dan suasana jalan yang lenggang membuat waktu serasa telah larut malam, padahal adzan maghrib baru saja selesai berkumandang dan sisa-sisa bias mentari senja masih terlihat samar.
Sepi mencekam kian terasa setelah derik jangkrik dan denging serangga malam muncul bergemuruh dari semak dan pohon-pohon besar di sepanjang sisi jalan.
Begitu juga pijaran nyala aurora borealis di selatan langit membangkitkan rasa ngeri karena sulit dibedakan dengan kilatan petir yang biasanya diiringi gelegar suara yang memekakan telinga.
Gelap, dingin dan mencekam adalah alasan kuat bagi siapapun untuk keluar rumah lalu memilih naik ke atas kasur dan menyelimuti diri rapat-rapat. Namun rasa malas disertai kantuk tersebut, nyatanya tidak mampu menyentuh jiwa seorang lelaki tua usia tujuh puluhan yang baru saja turun dari sebuah bus antar kota.
Sepertinya dia turun bukan pada lokasi yang dituju. Lelaki tua dengan ransel lusuh di pundaknya malah berjalan melawan arah datangnya bus yang tadi ditumpanginya.
Setelah berjalan hampir seratus meter, lelaki itu masuk ke sebuah gang yang lebarnya hanya cukup satu unit mobil jenis minibus.
Kondisi jalannya menurun dengan aspal yang sebagian rusak. Lubang-lubang kecil maupun sedang menciptakan genangan di sepanjang jalan sementara gompalan semen dan kerikil menjadi penghambat perjalanan pejalan kaki.
"Astagfirullah al adziim," ucap lelaki tua itu manakala berkelebat seekor ular sungai di hadapannnya.
Jalan menurun yang dilaluinya memang berujung pada sebuah sebuah sungai kecil sehingga sangat mungkin hewan-hewan penghuninya naik ke darat. Semak belukar dan rerimbunan pohon bambu yang tumbuh liar di kiri kanan jalan adalah rumah bagi reptil dan serangga yang kian sulit ditemui di zaman sekarang.