Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam, tibalah disebuah desa yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari ibukota Bandarlampung.
Namun, buruknya infrastruktur membuat medan menuju desa Pesawaran Indah, Way Ratai terasa berat. Bagaimana tidak, perjalanan yang semestinya dapat ditempuh satu jam saja harus menghabiskan waktu selama tiga jam.
Tepat pukul 01.30 wib dini hari, nampak dari kejauhan senyum lelaki paruh baya menyambut kami. Ya, Kiyai Jumal begitu sapaan akrab pemuka agama itu. Batik tua yang setengah lapuk lengkap dengan sarung dan peci yang dipadankan dengan sorban hijau, membuat kiyai Jumal terlihat lebih berwibawa.
”Selamat datang. Mari masuk,” kata Kiyai Jumal, dengan senyumnya yang khas.
Tikar plastik tergelar rapih di ruang tamu rumah sederhana itu. Nampaknya, memang sudah disiapkan untuk menyambut kedatangan kami. Tidak lama kemudian beberapa orang mengendarai sepeda motor pun datang.
Ya, sepertinya Kiyai Jumal memang sengaja diundang beberapa orang koleganya untuk meramaikan sekaligus sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu jauh yang datang.
Suasana kekeluargaan begitu kental terasa, perbincangan pun begitu hangat mengalahkan dinginnya desiran angin malam desa yang asri itu. Beberapa gelas kopi yang disuguhkan Nyai Jumal pun sudah terlihat kosong. Tidak terasa perbincangan yang panjang atau lebih tepatnya curahan hati warga desa yang mayoritas petani itu begitu menyentuh nurani kami, hingga waktu begitu cepat berlalu.
Mulai dari buruknya infrastruktur, tidak adanya program kerakyatan yang berjalan, hingga kurangnya informasi terkait program kerja pemerintah Pesawaran menjadi fokus perbincangan kami malam itu. ”Setelah Pilkada 5 tahun lalu, kami hampir tidak pernah merasakan kehadiran pemimpin. Entah lah apa kami memiliki Bupati atau tidak,” kata salah satu warga yang hadir malam itu, yang salah satunya adalah Pemred www.pembaruan.id
Miris memang, jika Pilkada hanya menjadi ritus lima tahunan guna menghantarkan para cukong untuk mengeruk kekayaan daerah tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakatnya. Atau lebih parahnya lagi, jika Pilkada hanya menjadi komoditi bagi golongan tertentu. Tak heran jika setelah Pilkada tidak ada yang berubah. ”Siapa pun yang menang kami ya begini-begini saja. Jalan tetap jelek, kami tetap kesawah, pupuk mahal, harga jual rendah ketika musim panen,” celetuk Rahmat, salah satu warga ditengah percakapan kami.
Tidak banyak yang dapat kami tanggapi dari keluhan warga tersebut, karena memang kami hadir bersama Calon Bupati Pesawaran H Okta Rijaya Michsan bukan untuk menanggapi keluhan warga, melainkan untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, sosok pemimpin yang bagaimana yang diidamkan masyarakat Pesawaran?
Ya, setidaknya dari keluhan-keluhan tersebut kami tahu bahwa masyarakat sangat mengidamkan pemimpin yang dapat menjadi pengayom, yang memberikan solusi atas masalah yang dialami masyarakat Pesawaran. ”Saya tidak berani dan tidak akan pernah memberikan janji apa pun kepada bapak-bapak. Tapi jika bapak-bapak berkenan memberikan kepercayaan kepada saya untuk memimpin Pesawaran lima tahun kedepan, saya akan kembali kesini dan mengajak bapak-bapak untuk bersama dengan saya membangun Pesawaran,” kata H Okta Rijaya dengan nada lembut, yang diamamini seluruh warga yang hadir di kediaman Kiyai Jumal tersebut.