Lihat ke Halaman Asli

Menghapal Al Quran dengan Segala Likunya Manifestasi Sayang Orang Tua

Diperbarui: 19 Februari 2016   16:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Alhamdulillah.. di penghujung 2015 kemarin saya dipertemukan dengan para hafidzah Quran. Sebenarnya di tahun sebelumnya juga dipertemukan, namun dengan kondisi tidak mengenal mereka secara pasti. Tepatnya saat dengan muka tebal saya ikut lomba tahfidz juz 1 dan 30. Niatnya sih mau menguji seberapa kuat hapalan dan muraja’ah QS Al Baqoroh dan juz 30 yang pernah dihapal jaman di Mu’allimaat dulu.. dan surely gagal dengan mulusnya wkw. Bagaimana tidak, pertama kali apalan gitu di depan panggung, pakai mic, dan wo.o laki dan wanita tidak dipisah.

Gimana gak grogi total cobaa. Kalau lomba tahfidz di sekolah kan yang diliat ya ustadzah sebagai penguji dan teman-teman sendiri, tanpa mic dan panggung dan yang jelas tanpa ‘adam’, jadi groginya ya gitu-gitu aja. Ditambah saya nekat ikut lomba itu sendirian (tanpa teman), baru di tkp dapat kenalan. So, gak ada yang nge-pukpuk, ngasih motivasi. Oke, kenalannya baik tapi kan kita rival, jadi ya beda rasa. Kalau ada teman, meski rival kan dukungan itu terasa lebih menenangkan dan menghangatkan. Dan suaranya para pseserta lomba... adeeemmm. Merdu-merdu. Saya mah apa atuh. Dan saking malunya atas gatot dari hasil lomba, saya pulang duluan, melupakan jatah makan siang hingga sertifikat.

Sudah terlalu kecewa pada diri sendiri, mungkin efek terlalu memaksakan diri dan bisa jadi hapalannya adalah hasil prokrastinasi. Astaghfirullah. Tapi saya gak menyesal pernah ikut lomba itu sih setidaknya pernah ada pengalaman, pernah merasakan. Toh itu juga baru pertama kali seumur-seumur lomba ikut MHQ (Musabaqoh Hifdzil Quran), jaman SD lebih sering ikut MTQ (dengan catatan suara pas-pasan jadi mentok sampai kecamatan aja setelah bertanding di gugus-maklum sekolah desa, karena yang bisa ke kabupaten cuma yang juara I aja, itupun sertifikat juara sudah lapuk jaman gempa. Haha).
Oke balik ke ketemu hafidzah.. kalau yang ini saya mengenal mereka. Jadi saya gak malu nyeletuk ke mereka, “kalian gimana sih cara njaga hapalannya? Kok ana lupaan terus ya? Bagilah tipsnyaa.”

Hafidzah 1

“Ya dibaca-baca terus saja.”

“Apa apalannya biasa dibaca pas solat?”

“Emm.. nda juga. Sering dibaca aja.”

“Eh ya, anti gak pernah dengerin musik ya?” (biasanya memang para hafidzah meninggalkan kesenangan dunia)

“Alhamdulillah ana sih nda suka musik. Dulu di pondok diijinkan sih dengerin seminggu sekali. Biasanya pas hari Jumat.”

Duh jaman di boarding school dulu ane dan temen-temen meski sebenere peraturan gitu yaa mbangkang. Neglobi ustadzah dengan segala cara buat muterin musik (speaker sentral asrama) meski ya nasyid-nasyid atau lagu islami gitu. Atau nek gak puas yang nangkring di warnet.

“Emm.. berati musik memang yang bikin gak apal-apal ya?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline