Lihat ke Halaman Asli

Delusif Jalanku Mengais Motivasi

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ibaratanya kamu itu berjalan tegap lurus dengan pandangan fokus ke depan dan dengan langkah yang cepat lagi pasti. Sedangkan aku hanya berjalan dengan langkah seadanya, tergopoh hendak mengikutimu. Terkatung-katung dalam ketidakberdayaanku dan hasilnya cukup buruk, terlalu jauh rentang jarak kita. Similenya, dirimu berjalan di atas aspal dan aku di atas gronjalan kerikil yang tak layak jika pun disebut trotoar...dan ketika kamu berjalan orang-orang di sekitar menyapamu dikarenakan silau auramu. Kamu cukup mengangguk santun itu sudah sangat cukup bagi mereka untuk memberi tambahan nilai + (plus) dalam dirimu. Sedangkan aku dengan ayunan langkah kaki kecilku yang serasa tak mampu menapaki bumi terlau cukup untuk dihina-dina, tidak diacuhkan dan dipandang sebelah mata. Bahkan senyumku pun tidak mampu melunturkan pandangan mereka. Aku terlalu sepele untuk disapa ataupun dijawab sapaannya. Lantas aku hanya bisa garuk-garuk kepala, ngurek upil seraya menghela napas : fiuh

Tapi apapun kata mereka aku tak akan menyurutkan langkahku. Sepeduli gila pabila mereka mencemoohku, biar mereka puas dengan perangkap hitam hatinya. Aku tak akan gentar, yeah meski tertatih, meski terseok aku tak mau jika hanya berjalan di belakangmu dan tertinggal cukup jauh pula. Aku tidak suka menyerah, aku sedih jika aku kalah! Aku tak ingin jika hanya bisa menatap punggungmu saja. Maka aku pun akan mempercepat langkahku, menegaskannya sehingga aku tak jauh tertinggal. Jikalau langkahku bisa melampui dirimu adalah sebuah ketidakmungkinan maka harapku aku bisa menyamai langkahmu. Apalagi jika aku bisa berjalan bersisian denganmu itu adalah impian! Ya, impian yang mendekati khayalan! Walau aku tahu andai itu terjadi (Toh, siapa tahu takdirNya) aku pasti ngos-ngosan, mengorbankan jantungku dan aku harus menutupinya~tidak boleh sampai terlihat dan tak boleh memperlihatkannya padamu. Tapi lagi-lagi itu adalah sebuah ambang khayalan. Bagian ilusi yang memenuhi rongga otak kepala. Mungkin jalan satu-satunya adalah aku lebih baik pindah haluan dan pindah jalan. Aku tak sanggup jika menapaki jalan yang sama sepertimu. Jika diibaratkan kendaraan, persediaan bensinku dan bensinmu terlampau berbeda. Belum lagi mesinnya. Punyamu terlalalu canggih dan yeah, punyaku terlalu butut. Bukannya aku pesimis. Tapi aku tahu diri. Kemampuanku memang tak seberapa, jauh di bawah jika dibandingkan denganmu. Kamu sang penulis hebat, aku hanya kuli tinta biasa yang seberapa tekun aku menulis hanya dipakai untuk event-event yang bukannya apa tapi tak terlalu berarti. Tak terlalu dianggap. Kamu?? Ohh bahkan penulis senior mengagumi karyamu! Berapa medali kelas internasional pernah dikalungkan di lehermu berapa piala yang pernah kamu sabet, pujian yang mengalir membanjirimu... sedang aku? Hanya anak ingusan biasa, yang kalaupun aku menang lomba itu mungkin hanya peruntungan saja. Bagian dari hoki karena kemurahanNya... karena aku berdoa... karena aku percaya padaNya Dia Maha Penyayang kepada hamba-hambaNya yang berusaha. Betapa banyak orang-orang membutuhkanmu, mendengarkan petuah-petuahmu, menduplikasi tapak kakimu menuju anak bangsa yang berarti bagi negri! Dan aku... tak lebih dari seseorang yang tengah belajar dan terus belajar mencoba menjadi yang terbaik dan berusaha untuk selalu bisa membuat bahagia orang lain, minimal membuat orang tersenyum. Jasa yang terlalu kecil dan layak untuk diremehkan. Ahaa miris sekali memang.

Ya, aku memilih untuk menyeberang! Terus setelah aku berada di sisi jalan yang berbeda dengannmu aku akan mempercepat langkahku dan menyamaimu, lumayan tergopoh dan tergesa. Aku menata dan memperbaiki diri bahkan dengan merantau menjadi pilihanku. Demi menjadi lintang yang cemerlang. Kau tahu, kita sama-sama di tepi jalan. Terpisah oleh jalan yang membentang itu sendiri. Ya mungkin kenekadanku mengambil sisi jalan yang berbeda itu berarti aku semakin membuang rentang jarak kita makin melebar. Aku tak peduli. Setidaknya dengan begini aku tak hanya memandang punggungmu saja tapi juga melihatmu dari arah samping, seutuhnya. Aku juga tidak peduli jikapula di sisi separuh darimu yang tak mampu kulihat berdiri, berjajar seorang yang mampu menyamai, berjalan di sisimu. Sungguh bukan hakku mencampurimu. Itu urusanmu. Kita toh bahkan tak saling mengenal. Hanya saja kau bagiku kau adalah motivatorku, kau penahanku. Kau jd barometerku dalam melangkah. Di dalam atom ibaratnya kau adalah intinya dan aku adalah ionnya. Ibarat kau matahari aku planetnya. Bagiku itulah simile kita. Tak perlu kenal pun kupikir aku bisa menguntai sendiri motivasi demi motivasi yang kupungut dari perjalananmu. Mempelajari tapak kakimu.

Apalah maksud dari tulisan ini pun aku tak tahu... yang kutahu aku cukup lega setelah mampu menuliskannya. Aku tak perlu lagi bermimpi dapat berjalan berdampingan dengannya—ah maksudku mengenalnya saja kurasa itu cukup, biar semua menjadi bagian dari seni delusi. Dia yang jago nulis, dia yang cukup dihormati dan disegani bahkan di golongan kaum intelek sekalipun karena memang itu jenisnya, dia yang sudah banyak mengoleksi medali dari perunggu, perak, bahkan emas juga tak absen untuk dimiliki. Ah yaaa labirin ini terlalu tebal untuk mampu aku sobek........... Tapi aku sudah cukup bahagia setidaknya Dia mengijinkanku untuk bertemu dengannya dengan cara yang tak terduga... hingga akhirnya dapat mengabadikannya di tutselku dalam bentuk 2 photo yang akan kukenang selalu, wahai pemuda Teknik Elektro U** generasi Habibie-Habibie selanjutnya--- ^^

Indonesia bangga memilikimu dan kawan-kawan seperjuanganmu yang telah mendedikasikan ilmumu untuk negeri tercinta dan mengharumkan nama bangsa................ Aku pun ingin sepertimu, meski dengan cara yang berbeda! Meski tidak dengan jalan yang sama.... tapi aku bertekad jika kamu bisa, why not with me??!!:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline