Di sebuah desa di Manggarai, di kaki gunung Ranaka, yang dihiasi hijaunya sawah dan kebun kopi, tinggal seorang perempuan bernama Wita. Wita adalah seorang gadis yang terkenal dengan kecantikannya, baik hati, dan pandai menenun. Setiap hari, ia menghabiskan waktu di pondok kecilnya, menenun kain songke dengan motif-motif indah yang diwariskan dari nenek moyangnya.
Suatu hari, desa tersebut mengadakan sebuah festival besar, sebuah tradisi yang dilakukan setiap tahun untuk merayakan panen yang melimpah. Festival ini dikenal dengan tarian caci, sebuah tarian perang yang menggambarkan keberanian dan ketangkasan para pemuda Manggarai.
Tarian ini selalu menarik perhatian banyak orang, baik dari dalam maupun luar desa. Wita telah mendengar banyak cerita tentang tarian caci, namun ia belum pernah melihatnya secara langsung. Dengan hati yang berdebar, ia bergabung dengan kerumunan penduduk desa di lapangan terbuka, tempat tarian tersebut akan dilangsungkan. Gendang mulai ditabuh, dan para pemuda dengan pakaian tradisional mereka mulai memasuki arena, memegang perisai dan cambuk yang siap digunakan dalam tarian.
Di antara para pemuda itu, mata Wita tertuju pada satu sosok yang gagah. Pemuda itu bernama Abraham, seorang pendatang yang baru beberapa bulan menetap di desa tersebut. Tubuhnya tegap, matanya memancarkan keberanian, dan senyum kecilnya menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi. Saat Abraham melangkah ke tengah arena, Wita merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya.
Tarian dimulai dengan gemuruh semangat. Abraham menunjukkan kelincahannya dalam menghindari cambuk lawan dan menyerang dengan tepat. Gerakannya begitu anggun namun penuh tenaga, seolah-olah ia menari dengan angin. Setiap kali cambuknya melayang, suara keras terdengar, membuat jantung Wita berdetak lebih kencang.
Di tengah-tengah tarian, mata Abraham bertemu dengan mata Wita. Ada kilatan hangat yang tidak bisa disembunyikan. Sesuatu yang tidak terucapkan, namun sangat nyata. Mereka berdua tahu bahwa ada ikatan yang terjalin di antara mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar pandangan mata. Setelah tarian usai, Wita memberanikan diri mendekati Abraham yang sedang beristirahat di bawah pohon besar. Dengan wajah sedikit memerah, ia memperkenalkan dirinya. Abraham menyambutnya dengan senyum lebar.
"Namaku Abraham," katanya dengan suara yang dalam namun lembut. "Senang bertemu denganmu, Wita." Percakapan mereka mengalir dengan mudah, seolah-olah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Abraham menceritakan tentang perjalanannya ke desa itu, tentang kecintaannya pada budaya Manggarai, dan keinginannya untuk menetap di sana. Sementara itu, Wita berbagi cerita tentang keluarganya, tentang keindahan menenun, dan mimpinya untuk membuat kain songke yang paling indah di seluruh desa.
Hari-hari berikutnya, Wita dan Abraham semakin sering menghabiskan waktu bersama. Mereka berjalan-jalan di kebun kopi, menonton matahari terbenam di balik bukit, dan Abraham sering membantu Wita mengumpulkan bahan-bahan untuk menenun. Keduanya saling mengagumi bakat dan keberanian masing-masing. Tanpa mereka sadari, cinta mulai tumbuh di antara mereka.
Desa Manggarai menjadi saksi bisu dari kisah cinta yang sederhana namun mendalam antara Wita dan Abraham. Sebuah cinta yang dimulai dari pandangan mata di tengah tarian caci, dan berkembang menjadi hubungan yang kokoh seperti kain songke yang ditenun dengan hati-hati.
Pada suatu malam, di bawah sinar bulan purnama, Abraham mengungkapkan perasaannya kepada Wita. Dengan lembut, ia memegang tangan Wita dan berkata, "Aku mencintaimu, Wita. Mau kah kau menjadi bagian dari hidupku selamanya?" Wita tersenyum, matanya bersinar dengan kebahagiaan. "Aku juga mencintaimu, Abraham. Aku akan selalu bersamamu."