Lihat ke Halaman Asli

Saat Proses Melahirkan, Menunggu Garis Takdir

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam proses melahirkan, seorang ibu disebutkan berada dalam rentang kematian yang sangat dekat. Proses yang sangat sulit itu, sama saja dengan menyongsong maut. Itulah jihat terbesar kaum perempuan selain berbakti sepenuh hati pada suaminya. Itulah mungkin alasan Nabi tidak mewajibkan perempuan bertarung dimedan perang; melahawan penentang dan musuh-musuh Islam.

Dalam bahasa madura, orang hamil disebut Babherra’ (memanggul sesuatu yang berat/berbahaya). Ini bukan tanpa alasan, selama sembilan bulan mereka aghendu’ bheji’ (mengandung janin) yang itu bukan urusan mudah. Tidak nyaman tidur, duduk tak enak, berjalan pun susah, makan tak leluasa, terkadang ia “terpaksa” muntah-muntah karena makanan yang ia telan tidak diterima sang janin.

Sejalan dengan itu, tingat kematian ibu dan anak di negeri ini pun masih tinggi. Meski dalam perkembangan tahun ke tahun menunjukkan angka penurunan signifikan. Hal ini bisa kita lihat dari data yang dirilis oleh Kompas pada tahun 2008, menyatakan  bahwa Tingkat kemarian anak dan Indonesia berjumlah 307 per 100 ribu kelahiran dari rata-rata kelahiran sekitar 3-4 juta setiap tahun. Sementara data yang dihimpun SDKI pada tahun 2003, menunjukkan sekitar 15 ribu ibu meninggal karena melahirkan setiap tahun atau 1.279 setiap bulan, atau 172 setiap pekan atau 43 ibu setiap hari, atau hampir dua ibu meninggal setiap jam. Sumber:Kompas

Sementara data SDKI tahun 2012 Jumlah angka kematian ibu dan anak tercatat mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Rata-rata kematian ini jauh melonjak dibanding hasil SDKI 2007 yang mencapai 228 per 100 ribu. Sumber: Liputan6

Itulah sebabnya bagi masyarakat madura, orang hamil “dituntut” melalui berbagai ritual yang dilakukan demi keselamatan proses kelahirannya. Misalnya selametan 4 bulanan, dan mandi tujuh bulan. Selain itu, masih banyak pantangan-pantangan yang secara “lahir” tanpak tak masuk akan, namun bila kita telusuri filosofinya sangat tepat. Misalnya, orang hamil tidak boleh duduk santai di pintu, karena secara adat dianggap akan menghambat proses persalinan.

Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk menekan tingkat kematian ibu dan anak. Namun ternyata itu bukan persoalan mudah, masih sering kita temukan seorang ibu dan keluarganya enggan mengikuti itruksi atau petunjuk tenaga kesehatan (Nakes). Adanya kepercayaan masyarakat pada dukun anak dan tingkat kepasrahan mereka pada takdir Tuhan menjadi salah satu pemicunya. Misalnya, ketika tenaga medis (bidan/dokter anak) menyatakan bahwa usia kehamilannya telah melampui ambang batas (post date) dan harus dilakukan tindakan bedah, banyak ibu hamil menolaknya. Mereka seringkali berkilah pada kisah imam malik yang yang diriwayatkan 3 tahun ada dalam kandungan. (sumber), dan Imam syafi’i yang hidup dalam kandungan selama 4 tahun (sumber)

Inilah salah satu tantangan bagi tenaga medis saat memberikan bimbingan bagi masyarakat dalam mengupayakan proses persalinan yang sehat. Masyarakat bukanlah tong kosong yang bisa kita isi dengan air bersih, mereka juga punya pengetahuan dan keyakinan mengenai hidup yang dijalaninya. Kemampuan mereka berkomunikasi, dengan tidak memosisikan sebagai pribadi superior: paling tahu, paling berhak, dalam melakukan tindakan tersebut adalah satu cara efektif agar saran mereka bisa diterima oleh masyarakat. Jangan sampai tujuan baik, justru menjadi bumerang dalam kehidupan mereka.

Setidaknya, ada beberapa hal yang menyebabkan masyarakat “masih” enggan bermitra dengan bidan (sebagai ujung tombak proses persalinan sehat) di masyarakat. Pertama, Dukun Beranak. Dukun beranak adalah mitra tertua dalam perkembangan masyarakat, sebelum ada “bidan” merekalah tumpuan masyarakat ketika konsultasi tentang kehamilannya. Ia ibarat mitos, yang tidak serma merta bisa dikalahkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Sebab, apa yang ia (dukun) jalankan adalah berdasarkan pada pengalaman hidupnya, yang itu merupakan bukti empiris yang tidak terbantahkan.

Kedua, Ajaran Agama. Tidak ada ajaran agama yang keliru, tapi tidak sedikit yang kurang benar memahaminya. Misalnya tenang post date, adanya riwayat imam malik dan imam syafi’ie yang betahun-tahun ada dalam kandungan ternyata cukup mempengaruhi masyarakat. Selain itu pula, adanya beberapa kasus kehamilan yang melebihi ambang batas, namun mereka tetap melahirkan dengan normal dan sehat, juga menjadi “pegangan” mereka dalam menunggu detik-detik persalinan.

Untuk menyiasati kondisi itu, keahalian nakes dalam berkomunikasi dengan masyarakat untuk menyampaikan perubahan menuju kehidupan sehat di tengah-tengah masyarakat menjadi kunci utama. Tanpa  jalinan komunikasi yang baik, tentunya tujuan baik yang awalnya menjadi komitmen mereka justru tertolak di masyarakat.

Dalam hal ini, ada dua tokoh kunci yang perlu dilakukan pendekatan. Pertama, Dukun Beranak. Tampa bermaksud menjenalisir, saya mengamati banyak nakes yang “memusuhi” para dukun itu. Padahal, mereka memiliki kedekatan yang intens dengan masyarakat. Memusuhi mereka, sama saja dengan membenturkan kepala ke tembok yang keras. Semestinya, Dukun beranak itu ia jadikan sebagai patner dan bekerjasama melakukan pendampingan terhadap ibu hamil. Memang akan ada banyak pertentangan, karena keahlian (ilmu) mereka tanpak bersebrangan. Misanya, dukun beranak akan langsung memandikan bayi setelah lahir, sementara nakes masih menunggu beberapa jam pasca kelahiran.

Namun, dengan pendekatan dan komunikasi yang baik tentunya mereka akan menerimanya dengan baik. Sebab pada dasarnya setiap manusia hanya butuh penghargaan. Kalau kita menghargai peran dan eksistensi mereka, tentu mereka juga akan bersedia bekerjasama. Memang itu bukan urusan mudah, mendiskusikan terapi dampingan bagi ibu hamil dan bayi merupakan persoalan yang seringkali menimbulkan pertentangan. Dukun beranak tidak jarang beranggapan bahwa nakes telah “merenggut” wilayah kerja mereka, sementara Nakes tidak sedikit yang meyakini bahwa dialah yang berhak melaksanakan itu karena sudah melalui pelatihan formal dan berkeahlian.

Kedua, tokoh masyarakat atau kiai. Diakui atau tidak, sampai saat ini tokoh masyarakat tetap menjadi salah satu central kekuatan masyarakat. Dalam menghadapi persoalan pelik, sumbangsih pemikitan mereka tetap menjadi acuan tindakan masyarakat. Ketika keberadaan diri kita ditengah-tengah masyarakat mendapat pengakuan para tokoh tersebut, tentunya akan mudah bagi kita untuk menjalin komunikasi di tengah-tengah masyarakat, dan kita pun akan sedikit mudah “mendengungkan” perubahan bagi mereka.

Mengentaskan persoalan sosial kemasarakat memang butuh kerja ekstra, membangun komunikasi dan melibatkan semua golongan merupakan tahapan penting untuk dilakukan. Disinilah pentingnya melupakan ego pribadi dan tidak memosisikan orang diluar kita sebagai pihak yang tidak kompeten dan berkeahlian. Masyarakat bukanlah tong kosong yang “buta” dalam menjalani kehidupannya. Mereka juga punya pegangan dan dasar dalam beraktivitas. Hanya saja, seringkali pedoman dan dasar itu berbeda dengan yang selama ini kita pelajari.

Kota Batu, 21 Mei 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline