Lihat ke Halaman Asli

Ari Triantini

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris di Universitas Airlangga

Benang Merah Bias Gender dengan Fenomena Victim Blaming pada Korban Kekerasan Seksual

Diperbarui: 1 Juni 2023   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sering kali kita menemukan komentar-komentar seperti, "Pantas dilecehkan, pakaiannya saja seperti itu!" pada kolom komentar korban kekerasan seksual saat membuka suara tentang pengalamannya di media sosial. Korban sering disalahkan atas pakaian yang digunakan. Padahal jika diperhatikan, pakaian yang digunakan korban masih terlihat sopan. Tindakan membebankan kesalahan terhadap korban alih-alih kepada pelaku atas sebuah kasus tersebut biasa kita kenal dengan victim blaming. Victim blaming sendiri tidak hanya terjadi pada kasus kekerasan seksual. Namun, kebanyakan victim blaming memang dialami oleh korban kekerasan seksual.

Kekerasan seksual menurut WHO (2002) dapat dimaknai dengan tindakan seksual termasuk segala upaya untuk berkegiatan seksual, komentar bernada seksual yang tidak diinginkan oleh seseorang, hingga usaha memperdagangkan seksualitas seseorang secara paksaan, oleh siapa pun dan dalam setting bagaimanapun. Korban kekerasan seksual sudah sepatutnya mendapat keadilan dan perlindungan. Namun, alih-alih mendapat keadilan, korban kekerasan seksual sering kali disalahkan, dikecam, bahkan mendapat perundungan. Budaya victim blaming ini senantiasa menghantui korban kekerasan seksual sehingga tak banyak dari mereka akhirnya memilih untuk tidak buka suara atas kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Lantas, mengapa fenomena ini bisa terjadi?

Bias gender, yaitu kondisi yang memihak atau merugikan salah satu gender. Merugikan dalam hal ini adalah terhadap perempuan. Konstruksi masyarakat membangun perspektif bahwa perempuan dipandang lebih rendah dari pada laki-laki dan laki-laki dianggap lebih unggul dalam berbagai aspek kehidupan. Perempuan selalu dikaitkan dengan tanggung jawab akan kegiatan reproduksi sehingga dalam realitanya, perempuan hanya dianggap sebagai alat reproduksi dan pemuas nafsu. Karena itu, muncul anggapan bahwa perempuan adalah makhluk penggoda, termasuk dalam cara berpakaian, cara bertingkah laku, dan gaya hidup. Anggapan ini lah yang mendasari terjadinya fenomena victim blaming.

Di sisi lain, laki-laki yang menjadi pelaku dalam pandangan masyarakat yang bias justru tidak disorot karena dianggap wajar bila laki-laki melakukan tindak kekerasan sosial. Pemikiran-pemikiran seperti, "Namanya juga laki-laki, pasti mempunyai hawa nafsu" adalah bentuk seksisme yang dipengaruhi oleh peran gender tradisional. Pernyataan tersebut tentunya mengabaikan fakta bahwa setiap manusia memiliki nafsu baik laki-laki maupun perempuan dan keduanya sama-sama tidak dibenarkan untuk melakukan tindak kekerasan seksual.

Kurangnya empati juga turut menyumbang kontribusi dalam terbentuknya konsep bias gender pada pola pikir masyarakat Indonesia. Perempuan korban kekerasan seksual dianggap terlalu membesar-besarkan klaim kekerasan seksual dan memiliki motif tersembunyi karena korban tidak melawan. Lelaki pelaku kasus kekerasan seksual cenderung tidak peduli akan perasaan perempuan sebagai korban. Korban dianggap pantas menerima kekerasan seksual atas model baju yang dipakainya dan caranya berperilaku. Sebagaimana dalam hal ini menyebabkan bias gender berkembang dan menciptakan pola pikir bahwa hasrat laki-laki adalah tanggung jawab perempuan.

Perempuan yang mengalami kekerasan seksual tidak sepatutnya disalahkan. Sebaliknya, para korban kekerasan seharusnya dilindungi. Budaya victim blaming yang bermula dari bias gender harus segera diatasi dengan menggencarkan edukasi seks kepada masyarakat Indonesia. Konten-konten di media sosial tentang kesetaraan gender juga perlu ditingkatkan agar masyarakat Indonesia tahu bagaimana budaya yang dampaknya buruk bisa dikurangi dengan pola pikir yang baru, dengan menganggap bahwa segala bentuk kekeraasan seksual tetap tidak bisa dibenarkan apapun alasannya. Dengan begitu, budaya victim blaming dapat berkurang dan korban bisa mendapatkan keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline