Lihat ke Halaman Asli

"Pela Gandong Lebe Bae"

Diperbarui: 14 September 2016   09:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Tragedi di Kota Ambon... sampe ka kampong - kampong... tangis balumur darah... sio inga Pela Gandong..."
"Tabakar ujung ka ujung... basarong asap api... tangis balumur darah... sio inga Pela Gandong..."
"Sio... Sio sayang orang Maluku eee... dari dolo hidup su bae - bae jangang biking rusak lai eee..."
"Sio... Sio adat orang Maluku eee... Ale rasa sio beta rasa... susah sanang sama - sama.."
"La cuma tagal beda suku deng agama... katong jadi bakalai eee..."
"Sama - sama angka sumpah hidup bae - bae, PELA GANDONG LEBE BAE EEE..."

Masih lupa - lupa ingat mengenai lirik lagu diatas yang artinya kurang lebih mengenai Tragedi di Maluku 17 tahun silam yaitu pada tahun 1999. Berikut saya artikan biar semua pada ngerti :

"Tragedi di Kota Ambon, sampai ke kampung - kampung, tangis berlumuran darah, yang diingat hanya Pela dan Gandong..
 Kebakaran dimana - mana, Kota Ambon penuh dengan asap dan api, tangis berlumuran darah dan yang diingat hanya Pela dan Gandong..
 Kasihan, Kasihan Rakyat Maluku, dari dulu hidup rukun susah senang bersama - sama..
 Kasihan, Kasian Adat Rakyat Maluku, Apa yang kalian rasa kami juga merasakannya, susah senang tetap bersama..
 Lantaran karena beda suku dan agama, kita semua jadi berkelahi..
 Mari sama - sama bersumpah bahwa kita semua akan hidup Damai, Pela Gandong lebih baik"

Begitulah arti penggalan lagu diatas.

Saat menulis ini, saya sempat haru sampai menitikkan air mata mengingat betapa Kami Orang Ambon, Rakyat Maluku sangat luar biasa, bangkit dan maju kembali bersama - sama seakan tidak pernah ada tragedi diatas. Sebenarnya kami tidak pernah lupa, karena kami selalu mengenangnya tiap tahun di Gong Perdamaian yang ada di Pusat Kota Ambon. Mengenangnya bersama - sama, Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, orang Saparua, Batumerah, suku jawa, Bugis, Buton, Manado, semua suku, semua kalangan, semua agama kami melakukannya secara bersama - sama. 

Bagi kami tidak perlu berdarah Ambon untuk menjadi orang Ambon, siapapun yang pernah menginjakkan kakinya di Tanah Ambon, pasti mau mengaku sebagai orang Ambon. karena Ambon itu manis, Ambon Manise. Saya sendiri lahir dari ibu yang asli berdarah Bugis, Sulawesi Tengah dan Bapak yang berdarah Muna, Sulawesi Tenggara. 

Setelah menikah orang tua saya merantau ke Ambon, dan kami semua 5 bersaudara lahir dan dibesarkan disini, di Ambon. Jangan ditanya betapa kami sangat mencintai tanah ini, karena sungguh Tanah tumpah darah ini lah yang sudah memberikan penghidupan dan kehidupan bagi kami.

Bicara soal kerukunan antar umat beragama, mungkin di Ambonlah yang sangat tinggi kerukunan antar umat beragamanya. Kenapa saya bisa katakan seperti itu? karena kami pernah merasakan dampak dari tidak adanya kerukunan antar umat beragama walaupun begitu, pasca kerusuhan kami semua semakin erat. buktinya Idul Adha kemaren, Gereja Protestan Maluku turut berkurban Sapi juga lho.

Menyinggung sedikit mengenai "PELA dan GANDONG" itu sebenarnya apa siih?
 Jadi, Pela Gandong adalah ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang berlangsung untuk selamanya karena diikat denan sumpah darah. umumnya Pela Gandong ini berlangsung antara kampung - kampung Islam dengan Kampung Kristen. contohnya seperti Negeri Batumerah (Islam) punya hubungan pela gandong dengan Negeri Passo dan Ema (Kristen).

Hubungan persaudaraan ini sungguh kuat sehingga tak ada angin yang mampu menggoyahkannya, ciyeee... Sejak zaman dahulu kami sangat menjunjung tinggi hubungan Pela Gandong kami, bahkan di zaman yang modern sekalipun kami tak akan mudah goyah. Padahal di zaman yang serba canggih ini banyak yang mudah terprovokasi, mulai antar geng, antar sekolah, antar suku, antar agama, bahkan negara. Zaman semakin modern namun pola tingkah laku semakin jahiliyah saja. 

Media Sosial yang bisa digunakan untuk mendatangkan banyak manfaat malah mendatangkan mudharat. Saling caci, Saling Maki, Saling menjatuhkan satu dan yang lain dinampakkan dalam media sosial ini. Menggunakan media sosial ini sebenarnya bagai memakan buah simalakama, makan bapak mati, tidak makan ibu mati, atau kalo tidak bermedia sosial akan ketinggalan jauh dengan perubahan zaman, namun menggunakan media sosial akan banyak terprovokasi oleh hasutan - hasutan dan informasi - informasi yang tidak jelas dan tak tertanggungjawabkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline