Lihat ke Halaman Asli

Analisis Penolakan Masyarakat terhadap Pembaruan (Part 2)

Diperbarui: 24 September 2024   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Kedua, terkait masalah warisan yang diatur dalam fiqh mawarits. Fiqh mawaris dianggap sebagai separuh dari ilmu pengetahuan karena berkaitan langsung dengan urusan setelah kematian, terutama dalam pembagian harta yang ditinggalkan oleh pewaris. Persoalan harta sering kali menjadi sumber konflik, baik dalam keluarga maupun di tingkat masyarakat dan negara, karena pembagian warisan yang tidak adil. Oleh karena itu, aturan mengenai warisan sangat penting. Hasil dari konsep ini, yang melahirkan fiqh dan fatwa, merupakan hasil ijtihad para ulama yang tak diragukan, karena didasarkan pada proses panjang dalam memahami dan menafsirkan nash Al-Qur'an dan hadis. Proses ini memerlukan pemikiran yang mendalam.

Namun, kedua konsep tersebut tidak selalu menjadi sumber hukum materiil di setiap negara Muslim, karena keberagaman dalam masyarakat yang kadang membatasi penerapan hukum Islam secara menyeluruh. Meskipun begitu, penerapan hukum keluarga Islam sebagai peraturan perundang-undangan dalam negara Muslim, khususnya untuk kaum Muslimin, bisa terwujud jika ada upaya yang kuat dari negara-negara tersebut.

Perjuangan untuk memperbarui hukum Islam di berbagai negara Muslim terus dilakukan oleh para tokoh hukum keluarga Islam kontemporer. Kompleksitas masalah yang muncul mendorong perlunya pembaruan agar hukum keluarga Islam dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman saat ini. Pembaruan hukum Islam ini telah dibahas dalam berbagai karya ilmiah, yang mencatat sejarah pembaruan hukum keluarga Islam di banyak negara Muslim. Menurut Jasser Auda, sejarah pemikiran hukum Islam terbagi dalam tiga tahap: Islamic Traditionalism, Islamic Modernism, dan Postmodernisme.

Kitab-kitab fiqh klasik yang kita kenal saat ini adalah hasil dari pemikiran dan ijtihad ulama terdahulu, berdasarkan penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Ada dua karakteristik dalam penyusunan pemikiran ini. Pertama, penafsiran hukum keluarga banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti latar belakang budaya atau tradisi masyarakat setempat. Kedua, tujuan Al-Qur'an untuk menjaga hak-hak kaum wanita sering dianggap sebagai kewajiban moral, bukan sebagai tanggung jawab negara dalam bentuk undang-undang.

Dengan perkembangan pemikiran di era kontemporer, muncul tokoh-tokoh Muslim modern yang memberikan kritik tajam terhadap hukum keluarga Islam, terutama terhadap budaya patriarki yang masih mendominasi, sehingga tidak ada keseimbangan antara hak laki-laki dan perempuan. Inilah yang terus memicu kontroversi dan kebutuhan untuk melakukan penafsiran baru terhadap hukum keluarga Islam, agar lebih relevan dengan kondisi dan karakteristik zaman sekarang, sehingga hukum keluarga bisa terus berkembang dan up-to-date.

Sejarah dinamika pembaruan hukum keluarga Islam di negara-negara Muslim dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Turki
Turki tercatat sebagai negara Muslim pelopor dalam pembaruan hukum keluarga Islam. Setelah melalui proses panjang, Turki akhirnya menghasilkan *Ottoman Law of Family Rights* (*Qnn Qarr al-Huqq al-''ilah al-'Usmniyyah*) pada tahun 1917. Pembaruan ini berlanjut dengan adopsi Hukum Sipil Swiss, yang kemudian dijadikan sebagai *Turkish Civil Code* pada tahun 1926.

2. Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Mesir
Mesir menjadi negara kedua setelah Turki dan negara Arab pertama yang melakukan pembaruan hukum keluarga (Nasution, 2002: 94). Sejarah pembaruan di Mesir dimulai pada tahun 1920 dengan lahirnya dua undang-undang keluarga, yaitu *Law No. 25* tahun 1920 dan *Law No. 20* tahun 1929. Kedua undang-undang ini diperbarui pada tahun 1979 dengan lahirnya undang-undang yang dikenal sebagai *Hukum Jihan Sadat No. 44* tahun 1979, yang kemudian diperbarui lagi dengan *Personal Status (Amendment) Law No. 100* tahun 1985.

3. Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia melalui proses panjang hingga akhirnya melahirkan *Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974* dan *Kompilasi Hukum Islam* yang didasarkan pada *Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991*.

4. Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Sudan
Sudan, sebagai negara Muslim lainnya, belum memiliki undang-undang keluarga yang terkodifikasi. Peraturan terkait perkawinan dan perceraian di negara ini diatur melalui ketetapan-ketetapan hakim (*Manshrt al-Qai al-Qua*) yang tersebar dan tidak terintegrasi dalam satu undang-undang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline