Lihat ke Halaman Asli

Suatu Tulisan tentang Putusan Hakim (Part I)

Diperbarui: 9 September 2024   15:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

senator.id

PENGANTAR

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-IX/2011 memberikan pandangan dan perspektif baru terhadap kehidupan sosial masyarakat, khususnya dalam hal perceraian. Hukum dan keputusan hakim telah memunculkan berbagai persepsi dan paradigma di ranah sosial, terutama terkait alasan perceraian dalam Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974. 

Putusan ini kemudian dianalisis dengan pendekatan ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, yang tidak hanya melihat realitas sosial berdasarkan fakta empiris, tetapi juga mengaitkannya dengan makna transendensi (Ketuhanan). 

Hasilnya menunjukkan adanya kesulitan bagi individu dalam rumah tangga untuk menanamkan nilai-nilai Ke-Islaman dalam pernikahan mereka, sehingga peningkatan kasus cerai gugat menjadi perhatian serius dan mengganggu tatanan sosial. 

Penelitian ini menganalisis putusan tersebut menggunakan pendekatan ilmu sosial profetik dan dilakukan melalui metode studi literatur, dengan menelaah teori-teori yang relevan.

PENDAHULUAN

Putusan yang berkualitas mencerminkan keahlian dan kemampuan Hakim dalam menyelesaikan suatu perkara. Putusan yang berkualitas adalah putusan yang mencerminkan rasa keadilan, dapat dilaksanakan, dan diterima oleh masyarakat. Hakim memiliki wewenang untuk memutus perkara sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang kemerdekaannya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Lembaga peradilan dan kehakiman adalah institusi yang melegalkan putusan Hakim. Namun, terkadang ada kesenjangan antara putusan dan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat, terutama dalam perkara perkawinan, perceraian, dan warisan.

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yudikatif yang berfungsi sebagai otoritas terakhir dalam menafsirkan konstitusi. Kewenangan ini diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang memberikan kewenangan untuk memutus pengujian undang-undang terhadap UUD pada tingkat pertama dan terakhir dengan putusan yang bersifat final, termasuk mengenai frasa, ayat, pasal, dan undang-undang yang multitafsir.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-IX/2011, yang menolak permohonan pengujian Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 terkait alasan perceraian, memberikan interpretasi baru dalam kehidupan sosial, khususnya dalam perceraian. Pemohon merasa bahwa aturan tersebut merugikan hak konstitusionalnya, terutama dalam hal kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, yang menjamin perlakuan adil dan kesempatan yang sama. Pemerintah dalam penjelasannya menyatakan bahwa perkawinan adalah perjanjian suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang utuh dan harmonis berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, perkawinan juga merupakan bentuk perwujudan hak-hak konstitusional warga negara yang harus dihormati dan dilindungi demi kesinambungan generasi.

Menurut pendekatan ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, realitas sosial tidak hanya didasarkan pada fakta empiris, tetapi juga memiliki makna transendensi (Ketuhanan), di mana makna ini penting untuk kesejahteraan individu dalam rumah tangga. Perkawinan yang sah dan diakui secara hukum tidak hanya memiliki legitimasi legal, tetapi juga mengandung nilai-nilai transenden yang penting untuk diteliti dalam kehidupan sosial. Di sisi lain, peningkatan kasus perceraian yang diputus oleh lembaga peradilan agama di Indonesia telah mengganggu tatanan sosial, sehingga perlu diambil langkah-langkah untuk menekan angka tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline