Lihat ke Halaman Asli

Arisya Nabillah

Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dialektika Minoritas Jemaat Ahmadiyah dalam Harmonisasi Keberagaman Indonesia

Diperbarui: 1 Juli 2022   00:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto : Shutterstock 

Setiap warga negara memiliki hak untuk mengekspresikan diri di ruang publik, bebas berpendapat, dan kebebasan beragama. Atas hal ini, Indonesia sebagai negara yang mengusung prinsip demokrasi dalam dasar sistem negara seharusnya dapat dilihat sebagai rumah bersama yang mendamaikan. Sayangnya, tak dapat dipungkiri bahwa masih ada problematika muram yang turut mewarnai perjalanan bangsa Indonesia sampai detik ini, yakni diskriminasi terkait kelompok minoritas.

Persoalan identitas agama rupanya masih relevan untuk  dikaji hingga hari ini.  Bak mata pisau, ia memiliki dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi identitas dapat berfungsi menjadi penanda baik secara pribadi maupun suatu kelompok dalam masyarakat. Namun, di sisi lain identitas tersebut berpeluang memicu konflik. 

Semakin maraknya fenomena sosial yang terjadi di akhir-akhir ini berupa konflik etnis dan agama dapat mengindikasi bahwa identitas agama merupakan salah satu aspek yang kadar sensistivitasnya sangat tinggi serta memiliki pengaruh yang besar untuk menarik orang terjebak dalam aksi kekerasan dan anarkis. sejarah konflik antar umat beragama di Indonesia sebenarnya telah ada sejak lama. Konflik ini tidak hanya terjadi antar umat agama yang berbeda, akan tetapi juga antar umat dalam agama yang sama. 

Di zaman dengan kebijakan dan pola pikir yang semakin maju seperti saat ini, data menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dua dekade, identitas agama masih menjadi pemicu konflik ataupun tindakan kekerasan yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.

Dalam unggahan ini saya ingin menonjolkan perihal diskriminasi identitas terhadap kelompok minoritas dalam keberagaman multikultural, yakni Jemaat Ahmadiyah. Hal ini terjadi seiring dengan keluarnya Fatwa sesat terhadap Ahmadiyah oleh Rabithah Alam Islami, sebuah organisasi yang beranggotakan wakil-wakil dari negara Muslim (biasanya terdiri dari tokoh atau pemimpin organisasi Islam) di Makkah, Arab Saudi pada tahun 1973.

Tak lama setelah itu, Organisasi Konferensi Islam atau yang biasa dikenal OKI, pada 1974 mengusungkan keputusan :

(1) Setiap lembaga Islam harus melokalisir kegiatan Ahmadiyah dalam tempat ibadah, sekolah, panti dan semua tempat kegiatan mereka yang destruktif

(2) Menyatakan Ahmadiyah sebagai kafir dan keluar dari Islam

(3) memutuskan segala hubungan bisnis dengan Ahmadiyah

(4) Mendesak pemerintah-pemerintah Islam untuk melarang setiap kegiatan pengikut Mirza Ghulam Ahmad dan menganggap mereka sebagai minoritas non-Islam.

Terhitung sejak ultimatum itu dikeluarkan, mulai bermunculan berbagai fatwa yang serupa di negara-negara Muslim lainnya seperti di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Pakistan. Bahkan di Pakistan, sejak 1984 Ahmadiyah telah dikategorikan sebagai agama tersendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline