Lihat ke Halaman Asli

Penanganan Perilaku Menyimpang Pada Remaja

Diperbarui: 21 Oktober 2016   18:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Membahas tema remaja sangatlah luas, masalah yang semakin beragam akibat pergaulan dan pola asuh menjadikan tema ini tidak bosan untuk selalu dipelajari. Mengingat penduduk di Indonesia saat ini sebagian besar diisi oleh remaja maka rasanya perlu untuk mengetahui bagaimana cara penanganan perilaku menyimpang pada remaja itu sendiri.

Menurut Rogers dalam buku Adolescent Life Experiences ada lima ketentuan yang harus dipenuhi untuk membantu remaja bila ia sudah terbukti melakukan penyimpangan dalam berperilaku, diantaranya :

1.Trust (Kepercayan). 

Remaja itu harus percaya kepada orang yang mau membantunya (orang tua, guru, psikolog, ulama, dan sebagainya), ia harus yakin bahwa penolong ini tidak akan membohonginya sehingga kata-kata penolong ini memang benar adanya. Untuk memenuhi ketentuan pertama ini, sering kali tenaga professional (psikolog, konselor) lebih efektif daripada orang tua atau guru sendiri karena remaja yang bersangkutan sudah terlanjur mempunyai penilaian tertentu kepada orang tua dan gurunya sehingga menyebabkan apa pun yang dilakukan orang tua dan guru tidak akan dipercayanya lagi. Di pihak lain, tenaga professional ini tidak dikenal oleh remaja kecuali dalam jam-jam konseling saja. Dengan demikian, kata-kata psikolog atau konselor itu lebih bisa dipercayai karena tidak dibandingkannya dengan tingkah laku sehari-hari dari psikolog atau konselor itu sendiri. Namun perlu diperhatikan tidak semua remaja dengan mudah bisa dibawa kepada psikolog, alasannya tentu karena ia tidak sakit jiwa.

2. Kemurnian hati. 

Remaja harus merasa bahwa penolong memang sungguh-sungguh mau membantunya tanpa syarat. Ia tidak suka kalau orang tua, misalnya mengatakan : “Bener deh, mama sayang sama kamu dan mama bantu kamu, tapi kamu juga mesti ngerti dong”. Remaja lebih memperhatikan mereka yang benar-benar ingin membantu tanpa 'tapi'. Karena itulah, remaja lebih sering minta nasehat teman-temannya sendiri walaupun terkadang teman-teman itu tidak bisa memberi nasihat atau mencarikan jalan keluar yang baik, apalagi bila persoalannya berat dan gawat. Tetapi yang jelas menurutnya teman-teman itu secara murni mau membantu.

3. Kemampuan mengerti dan menghayati (empati) perasaan remaja. 

Seringkali kita perhatikan sulitnya bagi orang dewasa untuk berempati pada remaja karena setiap orang (khususnya yang tidak terlatih) akan cenderung melihat, mereaksi dan menilai segala persoalan dari sudut pandangnya sendiri. Di sisi remaja sendiri ada kecenderungan sulit untuk menerima uluran tangan orang dewasa karena ia tidak terkandung empati di dalam uluran tangan itu.

4. Kejujuran. 

Remaja mengharapkan penolongnya menyampaikan apa adanya saja, termasuk hal-hal yang kurang menyenangkan. Apa yang salah dikatakan salah begitu pula bila benar. Yang tidak bisa diterimanya adalah jika ada hal-hal yang kepadanya disalahkan, tetapi pada orang lain atau pada orang tuanya sendiri dianggap benar. Kebiasaan orang tua atau dewasa lainnya untuk membohongi remaja (walaupun dalam rangka menolongnya) lama kelamaan akan meruntuhkan ketentuan pertama dan utama dalam membantu remaja, yaitu kepercayaan remaja itu sendiri terhadap penolongnya.

5. Mengutamakan persepsi remaja sendiri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline