Lihat ke Halaman Asli

The Final Round Pemilukada Jakarta; Memilih yang Berkualitas

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

20 September 2012 adalah the final round pertarungan pemilukada DKI Jakarta, nasib politik dua kandidat yang lolos putaran kedua, praktis akan ditentukan oleh keinginan politik Masyarakat pemilih. Hasil survey terakhir Lembaga Survey Indonesia (LSI: September 2012) menunjukan bahwa ada pergerakan signifikan Masyarakat Jakarta dalam memilih Fauzi Bowo (Foke). Jika pada putaran Pertama, Fauzi Bowo hanya mampu mendapatkan 34,05% atau sekitar 1.476.648 suara, maka pada putaran kedua, LSI memprediksikan Foke dapat meraup 44,7% suara. Sedangkan Jokowi sebagai Pemenang putaran pertama, hanya mampu menaikan persentasi suara sebanyak kurang dari 3% atau mendapatkan hasil 45,6%, dari 42,59% atau 1.847.157 suara yang didapatkan. Sebanyak 9,7% pemilih menyatakan belum memutuskan, dengan margin eror survey kurang lebih 5%

Progressifitas kenaikan suara Foke, tentu merupakan hal yang wajar, sebab hampir semua pasangan calon Gubernur yang tidak lolos pada putaran pertama, memilih berkoalisi dengan Foke-Nara. Koalisi ini tentu memberikan efek psikologi yang besar terhadap preferensi memilih warga Jakarta untuk memberikan pilihan politiknya kepada Foke-Nara. Apalagi, 508.113% atau 11,72% suara milik Hidayat-Didit diperkirakan merupakan suara ideologis kader dan simpatisan PKS, yang tingkat determinasinya tinggi dalam memenangkan Foke-Nara pada putaran kedua. Itulah sebabnya, suara PKS begitu mahal diperebutkan oleh Jokowi maupun Foke untuk berkoalisi.

Rasionalitas Koalisi Partai

Jika sedikit kita flashback pada proses politik putaran pertama, harusnya Jokowi lebih diuntungkan dari berbagai proses dan dinamisasi politik yang terjadi saat itu. Jokowi diuntungkan karena Foke adalah incumbent yang menjadi pusat kritik, Foke adalah common enemy partai politik besar, karena menolak pinangan duet dengan cawagub mereka. Foke dimata semua kandidat adalah gubernur yang gagal menyelesaiakan persoalan Jakarta. Foke pun dianggap arogan, emosional dan terlampau over confidence untuk mengkampanyekan pemilukada satu putaran yang gagal.

Harusnya Jokowi lebih unggul dimata pemilih dan partai politik, sebab dialah pemenang pada putaran pertama. Jokowi dianggap santun, bersih, rendah hati, dan sukses menjalankan tugas walikota Solo. Saat kampanye pun, Jokowi tidak dianggap rival yang harus dikritik oleh competitor cagub lainnya. Bahkan dengan branding Kotak-kotaknya, Jokowi dianggap figur yang merakyat.

Lantas mengapa, pesona Jokowi gagal meyakinkan partai politik dan kandidat independen untuk menjadi teman koalisi ? padahal, logika pertarungan politik, biasanya menempatkan kecenderungan yang lebih besar dalam koalisi partai atau kandidat ke pemenang politik putaran pertama. Apalagi, jika mereka (baca: Golkar, PPP, PKS) mau menghabiskan keangkuhan Foke di pemilukada Jakarta, maka Jokowi adalah senjata pembunuh yang pas dipakai.

Dari berbagai media, alasan merapatnya koalisi besar ke Foke sudah diutarakan oleh masing-masing partai atau kandidat. Tak sediktpun yang menjadikan keunggulan kwantitatif Jokowi sebagai variabel inti. Bahkan dari segi istigharah politik ala PKS, Jokowi dianggap sebagai figur yang belum layak diberikan amanah kepemimpinan di Jakarta, Jokowi bagi PKS (partai pendukung Jokowi di Solo) adalah figur yang tidak amanah, karena hanya mengejar jabatan yang lebih besar, dan meninggalkan Jabatan walikotannya. Selain itu, PKS menganggap komunikasi politik dengan Jokowi gagal total, karena apa yang dipersyaratakan PKS untuk Jokowi, tak mampu dipenuhi.

Jakarta Butuh Pemimpin “Berisi”

Pendulum politik koalisi yang kesemuanya mengarah pada Fauzi Bowo, adalah konfirmasi rasional partai atau kandidat independen yang tak rela Jakarta dipimpin oleh kandidat yang baru ingin mencoba-coba membangun. Pertimbangan menjatuhkan pilihan politik ke Foke-Nara, adalah sesuatu yang tidak hanya diukur dengan varian politik semata. Mereka sadar, walaupun Fauzi Bowo dianggap sebagai figur yang susah “diatur”, namun intelegensia capacitynya mampu membawa perubahan yang lebih baik untuk Jakarta.

Fauzi bowo dianggap lebih berprestasi, ketimbang Joko widodo, yang faktanya hanya mengandalkan citra kepemimpinan. Apa yang telah ditorehkan oleh Foke selama masa Jabatannya di birokrasi pemerintahan, membuktikan bahwa dia bukanlah tipe pemimpin politik yang abal-abal, kutu loncat, dan pas-pasan cara berfikirnya. Foke adalah seorang doktor arsitektur lulusan Jerman, yang memang paham betul tentang tata kelola perkotaan dan management birokrasi. Dia punya prestasi dibidang Pendidikan dan Kesehatan, menurunkan angka kemiskinan di Masyarakat, mengurangi masalah banjir dan meningkatkan Upah minimum regional (UMP) untuk buruh atau para pekerja yang terbesar di Indonesia.

Jika memang, hingga saat ini kemacetan Jakarta masih menjadi momok yang menakutkan, bukan berarti Foke gagal dalam memimpin. Sebab, kemacetan Jakarta tidak bisa dilihat dari segi ketiadaan pembangunan infrastruktur jalan semata. Ada berbagai faktor yang melatarinya, misalnya, membludaknya kendaraan yang masuk ke Jakarta, ketidaktertibnya pengguna kendaraan, dan aturan yang tidak tegas dan jelas oleh aparat lalu lintas. Agak Wajar, jika ibukota Negara mengalami kemacetan. Sebab, meminjam Istilah Jusuf Kalla, Kemacetan pertanda aktifitas ekonomi sedang berjalan.

Yang tidak wajar, justru kota kecil seperti solo mengalami peningkatan kemacetan. Sebab, jumlah masyarakatnya terhitung sangat kecil dibandingkan Jakarta, rasio pertumbuhan PADnya pun kecil, orang miskin banyak,  pembangunan mall-mall juga jarang, kapasitas kendaraan tak sebanyak Jakarta. Lantas ?

Jika klaim Jokowi adalah berhasil merelokasikan para Pedagang kaki lima (PKL) Solo tanpa kekerasan, maka praktek seperti itu, haqul yakin tak akan mudah berlaku di Jakarta. puluhan etnis, ratusan kelompok, dan ribuan karakter masyarakat yang bergantung hidupnya pada usaha PKL akan menghadang Jokowi.

Kesuksesan pembuatan Mobil Esemka di Solo, nampaknya terlalu naif untuk mengatakan Jokowi berhasil sebagai walikota, sebab anak-anak SMK Jakarta, telah lama mampu membuat pesawat terbang mini, yang tentu lebih rumit dan mahal dari hanya sekedar mobil. Apalagi sudah banyak berita mass media yang menghujat Jokowi, karena menjadikan perakitan mobil Esemka Solo, sebagai jualan politiknya.

Pada titik inilah, saya semakin yakin, satu-satunya hal yang membuat masyarakat Jakarta suka dan memilih Jokowi pada putaran pertama, adalah karena sikap keluguan dan simpatiknya. terlihat bergaya rocker dan tampak pro rakyat, serta rajin berkunjung ke masyarakat. Diluar variabel tersebut, perbandingan keberhasilan memimpin Foke dan Jokowi bagaikan Gajah dan Semut atau Jakarta dan Solo, kontras dari segi apapun.

Dan saya pun yakin, masyarakat pemilih akan menentukan pilihannya yang terbaik. Apakah masa depan lima tahun Jakarta akan diamanahi pada calon Gubernur yang baru belajar tentang Jakarta, ataukah yang telah lama mengabdi dan berbuat untuk Jakarta ? Wallahualam. Selamat Memilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline