Lihat ke Halaman Asli

Kepolisian dalam Kuasa Pemilik Modal

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Seorang mantan “Pemain” IMF, Jhon Perkins, dalam bukunya Confussion Of an Economic Hit Man, pernah berkisah, tentang bagaimana caranya sebuah korporasi atau sekelompok pemilik modal masuk dan menguasai sebuah wilayah yang melimpah potensi sumber daya alamnya. Jhon perkins menjelaskan, sebuah korporasi tidak akan bisa menguasai sebuah lahan pertambangan, industry, perkebunan jika tidak ada kerjasama atau izin dari pemerintah atau stack holder (Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat atau kepala desa) setempat.

Kerjasama yang di maksudkan oleh Jhon Perkins, adalah sebuah bentuk kerjasama transaksional, yang berujung pada keuntungan Pemodal dan penguasa, sedangkan masyarakat hanya mendapatkan sisa-sisa keuntungan, tidak berbanding lurus dengan limbah penyakit  yang mereka peroleh dari sebuah eksploitasi lahan yang dilakukan oleh perusahaan.

Diagram share revenue yang tidak adil tersebut, adalah satu bentuk kompromitas kezaliman yang disebut sebagai corporatocracy – kerjasama antara Penguasa dengan Pengusaha (Kaum Pemodal) sehingga melahirkan tirani kekuasaan.

Dalam alam demokrasi, harusnya keseimbangan piramida antara Pemerintah, rakyat dan swasta menjadi kerangka utama dalam setiap pengambilan kebijakan. Pemerintah idealnya, harus bertindak sebagai mediator yang adil untuk mempertemukan kepentingan rakyat dan swasta, yang sering kali berbeda dalam memandang, bagaimana seharusnya mengelola kepemilikan kekayaan alamnya. Karena Logika kepemilikan rakyat adalah logika kolektif,  berbeda dengan logika pasar - pemodal yang berbasis pada kepemilikian privat. Dua logika inilah yang sering kali bertabrakan, jika Perusahaan memaksakan kehendak untuk menguasai tanah milik rakyat.

Egoisitas perusahan mendapatkan momentum, jika pemerintah yang harusnya bertindak adil untuk rakyatnya, memberikan Hak Guna Usaha kepada perusahaan, tanpa memperdulikan kepentingan masyarakat setempat (UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal asing). Disinilah kuasa rakyat akan tercerabut, sehingga praksis hanya perlawanan yang bisa mereka lakukan.

Setelah pemerintah menjadi Partner Kaum pemodal, maka kekuatan berikutnya yang harus di kuasai oleh mereka (Pemilik Modal) adalah instrument keamanan Negara, yaitu Kepolisian dan Militer. Dua alat Negara ini menjadi mainstream yang penting untuk di kuasai, mengingat kekuatan Komando, fisik, dan senjata aparat adalah alat yang ampuh untuk mendiamkan masyarakat, jika terjadi treble perebutan lahan di lapangan. Dalam berbagai kasus, hal ini terbukti betapa masyarakat harus vis a vis dengan Polisi atau tentara saat berjuang menuntut hak kepemilikan tanah.

Reformasi setengah hati

Penjelasan Jhon Perkins di atas, saat ini menjadi fenomena  besar yang sedang menghantui rasa aman masyarakat. Betapa tidak, gerak konflik yang menjadi tren saat ini adalah konflik Bottom Up antara Perusahaan, yang didukung oleh pemerintah dan Kepolisian melawan masyarakat pada setiap wilayah yang menjadi sengketa lahan pertambangan. masyarakat selalu dalam posisi tersudut, ketika dihadapakan dengan kekuatan-kekuatan Negara yang merestui kehadiran perusahaan.

Yang menyedihkan adalah, jika alat keamanan Negara seperti kepolisian, hadir dalam ruang dan kesadaran tugas yang berpihak kepada pemilik modal (dengan dalih menjaga ketertiban). Berbagai kasus yang terjadi dalam tahun 2011, hampir selalu melibatkan kekuatan polisi sebagai tameng perusahaan atau pemilik modal untuk mengamankan setiap aksi yang di lakukan masyarakat.

Setidaknya ada empat kasus besar yang menunjukan arogansi kepolisian terhadap warga sipil. Pertama, kasus pembubaran kongres di Papua, dan keterlibatan kepolisian dalam menyisir setiap aktifitas demonstrasi Pegawai PT Freeport, yang terindikasi telah dibiayai oleh PT Freeport Indonesia. Kedua, Penembakan Guru ngaji di Sidoarjo, Jawa Timur. Ketiga, pembantaian sadis tiga Warga Mesuji di Sumatera Selatan. Keempat, kasus pembubaran paksa dengan cara menembak para aktifis dan masyarakat  yang melakukan demosntrasi di kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (Sabtu, 24/12).

Keterlibatan aparat kepolisian sebagai penjaga kepentingan perusahaan dan pembunuh produktif masyarakat merupakan fakta distortif, bahwa nilai reformasi kepolisian tak mampu di implementasikan secara baik. Idiom dan doktrin tribarta kepolisian, sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat telah berubah, sebagai pembunuh, penjilat, penghamba kekuasaan modal.

Sejarah membuktikan, semenjak Kepolisian hindia-belanda, posisi kepolisian selalu di jadikan sebagai alat untuk berhadap-hadapan secara fisik dengan masyarakat pribumi. Mayoritas pribumi yang menjadi anggota kepolisian sebanyak 70%, membuat belanda dengan leluasa menerapkan devide at empiera political. Membenturkan masyrakat sipil pribumi dengan polisi pribumi.

Itulah mengapa, dari zaman orde baru, ketika kungkungan tentara begitu kuat dalam lebelitas ABRI (TNI AD, AU, AL, POLRI), hingga pemisahan kepolisian dengan Tentara Nasional Indonesia lewat payung UU No 2 tahun 2002, doktirn lama tentang superioritas kepolisian di atas masyarakat sipil seakan sulit tergantikan. Polisi  sulit untuk mensejajarkan diri dengan masyarakat, sulit pula menjadi Mitra masyarakat sebagaimana cita-cita reformasi kepolisian.

Beban tugas kepolisian kedepannya akan semakin berat. Citra kepolisian sebagai lembaga yang lambat menyelesaiakn masalah-masalah besar dalam masyarakat membuat public semakin pesimis. Nampaknya, reformasi kepolisian yang sementara berjalan mundur harus secepat mungkin di evaluasi secara komprehensif.

Terutama evaluasi pada sisi strategi perkerutan anggota kepolisian yang tidak memperhatikan kualitas sumber daya manusia (cultural evaluation).  Evaluasi pada System promosi pejabat Polri yang tidak memenuhi standar merit system (instrument institutional evalulation). Dan evaluasi pada seluruh jajaran Pimpinan Polri, terutama Kapolri dan Kapolda yang gagal menjalankan amanah reformasi kepolisian (structural evaluation). Harapannya evaluasi komprehensif bisa menciptakan Polisi sipil yang professional, kapabel dan berpihak untuk masyarakat sipil demi ketertiban, kedamaian, keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Pengurus Besar HMI

Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA)

Sedang menempuh Studi Pasca Sarjana Jurusan Corporate Social Responsibility (CSR)

Universitas Indonesia




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline