Lihat ke Halaman Asli

Review: "Kekerasan Budaya Pasca 1965"

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gambar dari boemipoetra.wordpress.com Jika disuruh memilih hidup tenang namun dengan segala kepalsuan, atau hidup dengan kegelisahan karena mengetahui adanya kepalsuan yang mengatur hidup kita. Mana yang akan kita pilih? Saya otomatis memilih yang kedua setelah membaca buku karya Wijaya Herlambang berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965. Diterbitkan oleh penerbit Marjin Kiri pada bulan November 2013, buku yang pernah diterbitkan di Jerman pada tahun 2011 dengan judul Cultural Violence: Its Practice and Challenge in Indonesia ini langsung menjadi pembicaraan. Ini karena isi buku setebal 333 halaman ini yang cukup bernas membicarakan sesuatu yang entah kenapa menjadi momok mengerikan bagi bangsa ini: komunisme dan sesuatu yang ke-kiri-kiri-an. Ia bukanlah semacam ajakan romantisme mengintip sedikit-sedikit komunisme dan peristiwa 1965 ala novel laris Pulang atau Amba. Ia adalah sebuah buku dengan basis teori rigid dan data yang begitu kaya yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Wajar mengingat buku ini sebelumnya adalah disertasi doktoral sang penulis. Dasar pemikiran yang ditawarkan Wijaya Herlambang cukup menarik: kekerasan fisik bisa mendapatkan pembenaran selama ada kekerasan budaya mengikutinya. Ia menggunakan teori “kekerasan struktural” Johan Galtung untuk menjabarkan bahwa kekerasan adalah satu kesatuan yang terdiri dari 3 poin, yakni kekerasan langsung (fisik), kekerasan struktural, dan kekerasan kultural (budaya). Kemudian Herlambang menggunakan model pemikiran Galtung itu untuk mencoba mengurai sejarah kelam negeri ini: kenapa bisa terjadi pembunuhan terhadap jutaan manusia Indonesia yang menganut paham komunisme (atau tertuduh komunis) pada tahun 1965-1966, dan kenapa sampai sekarang seolah masyarakat Indonesia membenarkan terjadinya pembunuhan massal tersebut. Lalu berusaha melupakan sejarah kelam itu. Peristiwa 1965 eksis karena adanya perebutan kekuasaan. Paduka raja cendana (Soeharto) yang saat itu berada di militer Indonesia berusaha menggulingkan pemerintahan yang sah (Soekarno) dengan melakukan kudeta. Yang menyedihkan adalah, PKI kemudian dijadikan kambing hitam atas terjadinya kudeta tersebut. Hal yang menjadi pembenaran untuk kemudian pemusnahan pada PKI dan segala yang kekiri-kirian harus dilakukan. Ketika sang paduka raja cendana telah memegang tampuk kekuasaan, mulailah diterapkan kekerasan langsung dengan menggerakkan militer dan organisasi fundamentalis untuk mengganyang habis semua simpatisan PKI. Pembunuhan demi pembunuhan terjadi di seluruh Indonesia. Kemudian untuk membenarkan kekerasan langsung itu, dibuatlah propaganda dan pencucian otak melalui sastra dan film untuk meligitimasi anti-komunisme di tengah masyarakat. Inilah kekerasan budaya, saat budaya digunakan untuk mendukung kekerasan langsung yang ada. Produk kekerasan budaya yang digunakan sang raja cendana dan rezimnya orde baru berupa bentuk karya sastra dan film. Wijaya Herlambang membedah berbagai produk cuci otak orba, misalnya film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI (yang kemudian diadaptasikan ke novel oleh Arswendo Atmowiloto), dan cerpen-cerpen bertema anti-komunisme dalam terbitan majalah Horison. Dalam karya sastra dan film itulah orba berusaha melegitimasi kekerasan langsung kepada kaum komunis, dengan mencitrakan komunis sebagai ideologi sesat tak bertuhan yang berkhianat dan akan menghancurkan Negara. Lalu timbul pertanyaan: mengapa komunisme dan kiri harus dibasmi dari ibu pertiwi? Ini terkait dengan liberalisasi ekonomi. Komunisme dan kiri dianggap sebagai duri dalam daging bagi rezim orba, yang saat itu sedang menjalin hubungan manis dengan kapitalisme dan pasar bebas (atau kita bisa menyebut spesifik Negara Amerika Serikat sebagai penggerak kapitalisme). Maka orba (dengan dukungan Amerika) harus memusnahkan komunisme dari nusantara, agar modal asing dan liberalisasi ekonomi dapat masuk dengan lancar. Pemusnahan itu tidak tanggung-tanggung, menghabisi jutaan nyawa simpatisan komunis (atau yang sekadar tertuduh) melalui tangan militer (atau kita bisa sebut mertua presiden kita sekarang yang saat itu menjadi punggawa militer. April nanti maju sebagai capres). Kemudian kekerasan budaya diterapkan agar masyarakat memaklumi pembantaian itu dengan keyakinan komunisme itu jahat dan tak bertuhan, harus dimusnahkan dari Indonesia yang beradat ketimuran. Herlambang menjabarkan fakta menarik yang akhirnya menjadi perdebatan seru belakangan ini: adanya peran Amerika (melalui CCF atau Congress for Cultural Freedom, lini dari CIA) dalam menyetir bagaimana seharusnya budaya Indonesia berjalan. Ia menyebut ada hubungan baik CCF dengan para intelektual Indonesia yang bertujuan menyelipkan liberalisasi barat ke Indonesia. Salah satunya adalah saat para intelektual seperti Goenawan Mohamad, HB. Jassin, Taufiq Ismail, Arief Budiman, dan Wiratmo Soekito mendeklarasikan pernyataan anti-komunis bernama manifes kebudayaan (manikebu). Untuk menentang komunisme. Fakta ini jadi perdebatan seru salah satunya adalah dengan disebutnya nama GM, sebagai seseorang yang sekarang dianggap sebagai Begawan yang melakukan kanonisasi kebudayaan Indonesia dengan organisasi kebudayaan yang dimilikinya. Martin Suryajaya pernah membedah buku Wijaya Herlambang ini di situs indoprogress dan mencecar habis GM. Yang segera dijawab oleh sang Begawan dalam tulisan 3 seri di situs pribadinya. Seharusnya Kekerasan Budaya Pasca 1965 dapat menyadarkan kita, kondisi Negara kita sekarang yang gini-gini aja dan makin menyedihkan sebenarnya adalah efek dari peristiwa 1965. Akibat dari dilarangnya kita menoleh ke kiri, dan dipaksa untuk selalu menoleh ke kanan. Liberalisasi terjadi di segala sektor perekonomian, impunitas bagi para pelaku pembunuhan besar-besaran (bahkan maju menjadi capres pemilu april besok), berbagai tindakan kekerasan sektarian dan kesukuan di berbagai daerah. Dengan semua permasalahan yang ada, kita malah menyibukkan diri berjoged dangdut di YKS dan menyatakan anti pada kiri karena dianggap tak sesuai jati diri bangsa. Jati diri bangsa yang mana yang dimaksud? Yang bernama humanisme universal ala para pemikir manikebu? Yang menerapkan liberalisme dalam budaya untuk membenarkan liberalisme dalam ekonomi? Semua pilihan ada konsekuensinya, termasuk pilihan mengetahui kebenaran. Membaca buku ini menimbulkan kegelisahan dalam diri saya: mana lagi yang harus saya yakini sebagai kebenaran di negeri ini, saat kehidupan saya sekarang ternyata adalah hasil cuci-otak rezim selama 32 tahun berkuasa. Kegelisahan yang lain adalah saat menemukan intelektual idola saya Arief Budiman dan adiknya Soe Hok Gie adalah simpatisan PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang saat itu ikut menggulingkan Soekarno, praktis mereka ikut bertanggungjawab menaikkan Soeharto dan orba ke tampuk kekuasaan. (Saya membayangkan betapa kecewa Gie ketika tahu pilihannya menjatuhkan Soekarno malah menyerahkan Indonesia pada diktator yang berkuasa selama 32 tahun). Buku yang wajib dibaca semua orang. Lebih spesifik lagi bagi para peminat kajian seni, budaya dan sastra. (Termasuk para mahasiswa dan dosen di kampus saya ISI Yogyakarta). Agar lebih mengetahui bahwa seni dan budaya bukan melulu mengenai estetika dan keindahan. Ada yang politis didalamnya. Jadi, setelah mengetahuinya lantas menggunakan seni dan budaya untuk membicarakan kondisi karut-marut negeri, bukan melulu membahas estetika atau apalah yang tinggi-tinggi mengawang di ruang imajinasi. Saya jadi teringat bang Saut Situmorang, penyair yang sejak dulu begitu gencar mencerca GM dan kroninya dengan bahasa yang sarkas dan kalau boleh dibilang kasar (menjurus ad hominem). Atau The Act of Killing, film besutan Joshua Oppenheimer yang sekarang masuk daftar nominasi piala Oscar untuk dokumenter terbaik. Barangkali ucapan bang Saut (atau terbitannya Boemipoetra) bisa saja dianggap angin lalu oleh GM, atau siapapun yang mengidolakannya. Mungkin The Act of Killing sekalipun menghadirkan fakta tetap saja dapat kita tuding bertendensi tertentu terkait sutradaranya yang bukan orang Indonesia, dan sekarang tak berani datang kemari karena saat merekam film ini ia mengatakan motif yang berbeda pada Anwar Congo dan rekan. Ia seperti menipu tokoh-tokoh yang direkam.Kekerasan Budaya Pasca 1965 adalah pendukung dari segala cecaran bang Saut pada GM, dan fakta dalam The Act of Killing, apapun motif Joshua sang sutradara. Karena buku ini adalah kajian dengan riset mendalam dan data-data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Maka sudah seharusnya GM dan kroninya segera menjelaskan pada masyarakat Indonesia: benarkah semua yang dikatakan Wijaya Herlambang dalam bukunya? Mereka harus menjawab, tak hanya mengambil sikap diam persis GM yang selalu diam saat bang Saut mencecarnya, bahkan seolah acuh tak acuh berkata: Kritikmu ora penting babar blas. Yogyakarta, 6 januari 2014 Aris Setyawan: Mahasiswa jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta yang bosan dengan setiap hari perkuliahan, Ketua KKM Keilmuan Etnomusikologi, penulis lepas di beberapa media, bermain drum di band folk Aurette and The Polska Seeking Carnival, inisiator gerakan peduli anak jalanan Save Street Child Jogja. Penggila baca, pemuja kucing, berharap semoga suatu hari Radiohead konser di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline