Lihat ke Halaman Asli

Mengejar Ekstase

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dimalam yang larut membelah jalan Jogja yang (katanya) eksotis sepulang dari menghadiri pameran di Taman Budaya Yogyakarta, karya perempuan-perempuan ISI Yogyakarta yang estetikanya beragam mulai dari menunjukkan feminisme, Androgyny, Promiskuitas, sebab inti dari pameran malam itu adalah "Hegemoni Kemaluan: Menolak Malu." Maka kemaluan dan seksualitas perempuan (atau laki yang merasa perempuan) harus terekspos dalam banyak karya. Kebetulan Saya membonceng teman Saya, lalu di lokasi teman-teman melakukan eksperimen kecil-kecilan (baca: meminum beberapa minuman yang tidak empuk alias keras) untuk meniti puncak tertinggi alam bawah sadar. Dan teman yang motornya Saya bonceng rupanya berhasil tiba pada titik tertinggi itu hingga Saya harus bonceng Dia pulang, dan kala itulah teman Saya ini yang biasanya pendiam jadi bicara banyak. Apa saja yang dibicarakannya, banyak hal. Namun kurang lebih ini beberapa Kalimatnya yang Saya ingat:

"Kamu Tahu apa handphone ini? Handphone hanyalah alat, sebab sebelumnya Kita berkomunikasi tanpanya."

Ya, handphone hanya alat. Jadi jangan terlalu dijadikan standarisasi strata dalam masyarakat. Menggelikan kala Kita sadari tiap sore Trending topic twitter tiba-tiba diserbu oleh para remaja Indonesia yang bersenjatakan Blackberry kesayangannya. Alexander Graham Bell dulu pasti berpikir menciptakan telepon sebagai alat komunikasi, bukan sebagai simbolisasi gaya hidup bahwa untuk jadi orang masa Kini harus memiliki handphone. Dan dalam kasus dimana tiap ada model handphone terbaru maka yang lama harus diganti, inilah yang disebut Dromologi Komoditi. Proses percepatan yang ada untuk mempercepat siklus dari sebuah komoditas agar segera terganti komoditas yang baru, maka Handphone yang baru harus dimiliki segera meski yang lama masih bagus. Telepon seluler ini adalah salah satu bentuk aplikasi nyata dari apa yang disebut Yasraf Amir Piliang sebagai "Dunia Yang Dilipat." Dunia kita sudah dilipat hingga dalam segala aspek segalanya menjadi cepat, termasuk dalam komunikasi. Walau dalam dunia yang dilipat tentu ada pula kekurangannya. Poinnya adalah, Handphone hanya alat. Jadi janganlah terlalu mengkonsumsi tanda bahwa Kita memiliki handphone tertentu, namun gunakan handphone itu sebagai fitrahnya: alat komunikasi.

Lalu teman Saya menunjuk teman Perempuan yang merias wajah sambil berkata "Kamu kenapa harus merias Wajah? Tidakkah Kamu bangga dengan wajahmu sendiri?"

Sebuah pertanyaan yang meninju telak para perempuan yang merasa kurang cantik lalu menghabiskan waktu dan uangnya demi perawatan kecantikan tubuh. Memang apa itu cantik? Cantik itu relatif, bukan tentang wajah lebih putih atau tubuh seksi atau kaki jenjang. Yang seperti itu hanya produk pencucian otak yang dibuat para penguasaha agar produk kecantikan yang Mereka jual laku. Lantas timbul teori Perempuan yang tidak cantik jodohnya jauh maka berusahalah cantik (dengan memakai produk kecantikan kami) sudahlah, tinggalkan kebiasaan mematut diri berlebih demi cantik semu yang lahir dari komodifikasi kecantikan itu. Dan percantik dirimu wahai perempuan dengan apa yang sudah ada dalam dirimu, gali tiap potensi dalam diri, bukan memolesnya dengan bedak dan salon kecantikan.

"Kamu tahu, Aku sudah tahu Tuhanku, Dia adalah Ugo Untoro (seorang pelukis dan seniman terkenal Indonesia), sebab Tuhan yang itu (Tuhan yang transenden) tidak menunjukkan hidup padaku, tapi Ugo yang memberi hidup."

Tentu konsep diatas yang diucapkan teman Saya yang dialam bawah sadar akan membuat perdebatan panjang. Sebab sepanjang sejarah peradaban manusia Kita sanggup berperang atau berkarya demi satu Entitas yang luar biasa: Tuhan. Teman Saya bisa jadi benar dalam hal mendefinisikan apa itu Tuhan, Tuhan adalah Dia yang menunjukkan apa itu hidup pada Kita. Teman Saya ini hidup demi mengagumi karya-karya Ugo Untoro, hidupnya berporos pada karya seni yang seniman. Itulah hidup yang benar-benar hidup menurutnya. Jadi tak usahlah diperdebatkan Tuhan Saya paling benar Tuhanmu sesat atau ada komentar pedas "Seniman kok dijadikan Tuhan." Enjoy saja Tuhan yang Kamu percaya dengan cara yang menurutmu paling bisa membawa pada pemahaman akan entitas maha Transendensi bernama Tuhan.

Ekstase, Serotonin, Psikotropika, Sembahyang.

Jadi teman Saya berada dalam kondisi ekstase setelah dipicu zat adiktif. Hingga berhasil meniti alam bawah sadarnya. Dia sendiri menolak disebut tidak sadar dan gila kala itu. Sebab menurutnya hari-hari biasa kala dia pendiam itulah saat dia sedang gila karena tak mampu berbicara banyak, sedang kala dalam kondisi tidak sober ini Dia merasa sangat waras karena mampu berbicara banyak hal yang ketika sober atau tidak mabuk tak bisa dikatakan. Teman Saya sedang melihat clarity kala mabuk ini, kejernihan. Kejelasan. Ekstase adalah perasaan dimana kejernihan melingkupi diri. Bahasa gampangnya serasa bertemu Tuhan. Siapa yang bertanggung jawab dalam mendapatkan perasaan ekstase? Salahkan serotonin, zat dalam otak yang berfungsi menimbulkan rasa senang dan bahagia. Psikotropika dan zat adiktif lain (termasuk alkohol) memicu dan memaksa produksi serotonin ini meningkat. Maka tubuh akan ekstase dan tiba dalam clarity. Sedang beberapa orang lebih suka cara yang alami tanpa pemicu untuk mendapat ekstase ini, dengan sembahyang misalnya. Dalam kultus keagamaan (Agama apapun itu) pasti selalu ada sebuah ritual monoton yang panjang dan lama. Dzikir dengan ucapan ribuan kata misalnya, atau alat musik "kethuk" yang dibunyikan secara konstan "tuk, tuk, tuk, tuk" selama berjam-jam. Sebab monoton dan stagnasi dari ritual itu akan menimbulkan trance dan ekstase yang akhirnya membawa seseorang itu dalam titik tertinggi yang dipercaya jadi lebih mudah untuk memahami dan bertemu Tuhannya. Ekstase ini adalah rekreasi alam bawah sadar yang meski dengan berbagai cara yang berbeda dikejar para manusia untuk memahami hidup. Apapun cara yang digunakan itu tergantung manusia masing-masing. Jadi nikmatilah ekstase itu dengan cara yang Kita percaya. Seperti teman Saya yang menggunakan cara pemicu ala meminum eksperimen ilmiah tadi, atau seperti para agamawan yang berdzikir panjang, atau para Biksu yang sembahyang lama, atau dengan mendengar musik yang menurutmu bagus, atau dengan memandangi mata indah pacarmu lama-lama. Mari mengejar ekstase, dengan cara masing-masing.

ARIS SETYAWAN

Yogyakarta, 11 April 2011

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline