Lihat ke Halaman Asli

Kaki

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="" align="aligncenter" width="604" caption="Sketsa "][/caption]

Ada sebuah gambar kaki terpajang pada dinding ruangan 3x4 m bertembok tebal dan bercat warna kuning keemasan itu. Gambar kaki yang disketsakan pembikinnya pada selembar kertas yang lebarnya tidak lebih besar dari nampan pembawa gelas piring untuk menyuguhkan minuman-makanan ke tamu. Gambar ini digores dengan tinta hitam amorf, sehitam bayangan kelam, namun bukan berarti kisah pembuat gambar ini kelam toh? Siapapun yang menatap gambar sepasang kaki ini pasti akan terbingung-bingung dibuatnya. Serta bertanya-tanya bukan tentang “apa itu kaki yang untuk berjalan?” karena Kita semua sudah tahu bahwa kaki memang untuk berjalan. Yang pertama jadi pertanyaan tiap orang yang masuk ke ruangan ini lantas melihat gambar kaki adalah “Kaki siapa ya ini?” sebab bila yang ada sebentuk gambar wajah, mungkin Kita agak bisa saja mengacuhkannya oleh karena Kita telah begitu terbiasa memandangi wajah tiap hari dijalan atau diluar rumah bahkan wajah orang yang tak Kita kenal, Kita memandang wajah tentu karena apabila Kita memelototi kaki seseorang maka orang yang Kita pandangi akan membuat justifikasi. Kalau yang dipandang cewek Kita dicap kurang ajar dan harus ditampar, bila lelaki Kita dituduh suka sesama jenis. Makanya sesungguhnya Kita acuhkan wajah dan lebih gemar pada kaki. Ada gregetnya kaki ini, penasaran dan ketertarikan siapapun segera timbul pasca melihatnya.

Jadi kira-kira kaki siapakah ini? Apa istimewanya kaki ini sampai diabadikan dalam goresan sketsa yang lalu ditempel pada dinding ruangan kecil tanpa ventilasi. Melihat dari kontur dan gesturnya dapat dipastikan ini ialah kaki perempuan, lalu siapa gerangan sang perempuan? Rupanya pertanyaan demi pertanyaan memang terus meluncur dalam benak selama Kita memandangi gambar kaki misterius ini. Toh andai sudah ketemu jawaban dari siapa sang perempuan lalu akan timbul tanya lain. Kenapa yang digambar kaki, bukan wajah saja seperti Monalisa. Separuh tubuh atas kaki itu bagaimana ya, mungkin pemilik kaki tengah tiduran diatas pantai pasir putih, dengan nyaman menyilangkan kedua kakinya, sorot matanya ke cakrawala melirik genit tiap awan putih yang beterbangan bebas layaknya kapuk randu kering pada musik panen tertiup angin itu. Berimajinasi sebentuk awan disebelah kiri itu mirip wajah seorang yang dikenalnya, yang sebelah kanan ada awan berbentuk kepala Puk Puk anjing kesayangannya. Pemilik kaki tersenyum menatap indahnya dunia dan bahagia. Tapi bagaimana kalau ternyata misinterpretasi terjadi dan ceritanya jadi lain. Rupanya separuh tubuh bagian atas kaki itu memang tertidur, namun bukan diatas pasir putih pantai nan mempesona. Alih-alih pemilik kaki malah tiduran di ranjang pesakitan dalam kamar gelapnya dengan mata sayu sembab terlalu banyak menangis. Kakinya disilangkan agar posisinya agak nyaman, pemilik kaki ini terpekur meratapi nasib malang yang dianggapnya paling malang diantara semua malang termasuk nama kota penghasil apel di timur pulau jawa. Pemilik kaki tak mampu bangun dari ranjang untuk jalan melihat dunia, karena tiap usaha yang dilakukannya untuk bangkit dari tiduran berkepanjangan ditolak oleh tubuh yang minta terus tidur, istirahat, tanpa mau usaha. Kakinya terus menerus diistirahatkan dan disilangkan sedemikian rupa sepanjang waktu semenjak bertahun lampau. Maka suram adalah nama tengah keseluruhan tubuh pemilik kaki ini. Oh, tiba-tiba ada tafsir baru akan gambar kaki ini, agak sadomasokis tapi manis. Bagaimana kalau ternyata ini hanya gambar sepasang kaki tanpa adanya tubuh bagian atas? Ini adalah sepasang kaki perempuan korban mutilasi yang sudah 3 hari teronggok di atas tumpukan sampah pasar kota yang tanpa sengaja ditemukan pemulung ketika pencari harta sampah itu mencai botol bekas air mineral. Bila memang demikian pertanyaan demi pertanyaan akan kian menjadi atas perihal kaki itu. Tentu saja, sebab sang kaki terbujur kaku itu sudah dibumbui kisah kengerian dan tragedi, suatu hal yang Kita hindari realitanya namun kita kejar-kejar fiksinya. Karena Kita manusia suka tragedi, makanya Kita yang tak mau kenyataan tentang kengerian dan tragedi membuatnya di televisi. Agar Kita dapat merasakan tertawa diatas tragedi orang lain. Bahkan setelah timbul prasangka itu kaki korban mutilasi, masih saja timbul satu pertanyaan fundamental yang terus dilontarkan: “Kaki siapa ya itu?” kasihan sekali pemiliknya, apa sang pemilik kaki masih hidup saat kakinya digergaji? Apa sudah mati? Mungkin lebih baik Dia mengalami yang kedua, sebab tentu teramat sakit rasanya bila Kaki Kita digergaji dalam kesadaran penuh. Tapi untung ini Cuma fiksi, karena dalam dunia nyatanya tentu tak terjadi. Mana ada perilaku biadab memotong-motong tubuh terjadi dinegeri damai gemah ripah loh jinawi ini. Atau memang ada?

Lalu apa pendapat dan kesimpulan pengamat gambar kaki ini akan berbeda-beda tergantung konteks, suasana hati dan keberpihakan pengamat. Walau kesimpulannya pasti sama bahwa kaki itu indah, namun yang membuatnya jadi berbeda yaitu parameter dari indah itu sendiri. Ukuran indah bagi tiap orang berbeda tergantung keberpihakan. Seorang ibu muda menganggap yang paling indah adalah saat sepasang kaki anaknya tengah berjalan, belajar melangkah untuk pertama kalinya. Jadi sang ibu berpendapat gambar kaki itu biasa saja karena itu kaki dewasa. Sementara tiap lelaki bersiul sembari tersenyum menatap kaki itu. Karena bagi beberapa malah secara tegas berpendapat kaki itu indah. Sedangkan wanita muda yang menatap gambar kaki itu ada yang berpikir “andai saja kakiku sejenjang itu, putih dan seksi.” Tiap-tiap Manusia memang suka berpendapat berbeda, seringnya pendapat muncul secara subyektif sesuai lakon yang dijalaninya. Agamawan akan selalu berbicara agama maka muncullah fatwa vulgar darinya akan kaki itu. Seorang penegak hukum yang tangannya adalah kuasa dalam sistem hukum itu akan selalu bicara hukum maka Ia hanya akan berkata “hai kaki, kalau suatu saat tubuh atasmu mencuri, maka Kamu jangan mau diajak berlari ya. Kamu berjalan saja sesuai kehendakmu sendiri, acuhkan tubuh atasmu yang mengajak lari. Lalu bawalah tubuh itu ke Aku. Biar ku borgol tangannya. Tapi tenang, Kamu tak akan kenapa-kenapa. Karena Aku lebih suka bagian atas yang lebih umum untuk diinterograsi,” pertanyaan demi pertanyaan timbul silih berganti seiring bergantinya orang-orang yang melihat gambar kaki diruangan 3x4 bercat tembok kuning keemasan tersebut. Andai saja sang gambar kaki daat bicara ia akan bilang dirinya sangat bosan diperdebatkan sedemikian rupa, karena ia sudah sangat puas jadi sebentuk gambar kaki. Tanpa peduli apapun, juga pada UU pornografi pornoaksi yang kehilangan taji dan jadi wacana basi. Sebab harusnya gambar kaki ini ditahan karena dalam pasal karetnya UU itu dapat menganggap gambar kaki ini vulgar dan harus diberantas. ah karena ia hanya gambar kaki maka untuk apa peduli.

***

Nadya sudah terdiam beberapa menit diruangan itu, ruangan yang terasa asing walau itu adalah kamarnya yang ditempatinya tiap tidur malam hari. menatap sebuah gambar kaki, yang menimbulkan kembali kenangan akan pembuat gambar itu yang hilang seolah ditelan bumi. Sketsa kaki itu dibuat kekasihnya dulu, sang pelukis yang dicintainya. Saat sketsa ini dipajang pada sebuah galeri kota, kontroversi langsung melingkupinya. Tiap orang mulai dari media, agamawan, penegak hukum, ibu-ibu rumah tangga, pecinta seni, mahasiswa luar kota, siapapun mulai membuat interpretasi masing-masing akan sketsa kaki itu. Sesuai kepentingan masing-masing. Beberapa lama berselang setelah kontroversi mulai mereda dan terganti kontroversi lain, sketsa kaki itu dibawa pulang sang pelukisnya. Lalu diserahkan pada Nadya, sang kekasih hati. Lalu hilanglah sang pelukis entah kemana. Meinggalkan Nadya pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih penting ketimbang pertanyaan para manusia lain itu yang terus bertanya “kaki siapa ya ini?” maka Nadya lebih suka bertanya “dimana Kamu wahai sang pelukis kaki?” tak mau Nadya mempertanyakan banyak-banyak tentang kaki itu, karena bagi Nadya kaki itu terkesan biasa saja. Tentu saja demikian karena kaki itu adalah kakinya, gambar kaki itu adalah gambar kaki Nadya. Dan Kita terbiasa menganggap biasa apapun yang sudah jadi milik Kita, dan luar biasa apapun yang jadi milik orang lain. Maka Nadya anggap kaki itu biasa, karena itu adalah gambar kakinya.

SELESAI

( sketsa kaki berjudul dibuat oleh Raisa Kamila. Ini hanya interpretasi Saya akan gambar sepasang kaki disilangkan itu. Tentu interpretasi tiap orang akan segera berbeda bukan? Maka tatap gambar kaki itu, resapi. Lalu buatlah sendiri penafsiran Anda akan sepasang kaki yang dicoretkan pena diatas kertas itu. )

ARIS SETYAWAN

Yogyakarta, 17 Februari 2011

( created and sent from my Campus Library’s computer. For more word and shit log on to http://www.arisgrungies.multiply.com )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline