Pembelajaran jarak jauh memang telah berlangsung sejak beberapa waktu yang lalu, sejak ada himbauan untuk belajar dirumah, namun dampak-dampak dari pembelajaran jarak jauh ini belum juga terpecahkan.
Dampak yang dirasakan seperti, tidak semua murid sanggup untuk belajar daring dengan keterbatasan fasilitas, tidak semua orang tua sanggup untuk menemani anaknya belajar, baik dari sisi waktu maupun pemahaman, dan secara sosiologis hilangnya peran lingkungan pendidikan dalam membentuk karakter anak terutama untuk anak yang masih awal-awal di sekolah dasar.
Pembelajaran jarak jauh memang merupakan sebuah solusi yang dilakukan agar sekolah tetap bisa berlangsung ditengah pandemi COVID 19. Beberapa pihak memang telah melakukan sebuah inovasi untuk bisa mempermudah proses pembelajaran jarak jauh ini seperti, memberikan wifi dengan iuran warga maupun gratis, guru yang jemput bola menuju rumah anak-anak didiknya, hingga meminjamkan ponsel kepada anak yang memiliki kekurangan secara fasilitas. Namun satu hal yang luput dari kita adalah "menghadirkan sekolah" kepada anak secara daring.
"Menghadirkan sekolah" dalam pandangan saya adalah tentang menghadirkan suasana sekolah dengan berbagai aturan main yang berlaku di sekolah dalam upaya membentuk karakter. Dalam sekolah normal kita dibiasakan untuk disiplin terhadap waktu, mandiri dan bertanggung jawab karena si anak jauh dari rumah atau orang tuanya, berinteraksi dengan kawan sebaya, berinteraksi dengan guru, dan berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekolah.
Mengapa saya mempermasalahkan hal-hal yang demikian? Ada beberapa alasan yang mendasari saya. Pertama karena basic keilmuan saya adalah orang sosial. Kedua saat anak baru memasuki sekolah, usia nya tentu masih di kisaran 6-8 tahu. Usia tersebut adalah usia yang cukup penting bagi pembentukan pola sosialisasi bagi si anak dengan orang lain selain keluarga inti, dan sekolah adalah tempatnya. Usia inilah karakteristik si anak mulai dikokohkan melalui pertemuan nilai-nilai yang ada di keluarga dengan lingkungan luarnya.
Ketiga dari sisi guru tentu juga akan merasa sedikit ganjil bila tidak bertemu secara langsung dengan muridnya, karena ya guru adalah orang tua bagi siswa di lingkungan sekolah.
Dan selayaknya perasaan orang tua yang tidak bertemu dengan anaknya secara langsung, seperti itulah perasaan guru juga. Keempat saya memiliki pemahaman bahwa sekolah bukan hanya sebatas mencari nilai dengan ujian, namun sekolah adalah sebuah proses pembentukan pola berfikir dan karakter bagi manusia.
Dalam tulisan ini saya mungkin tidak dapat memberikan saran yang kongkrit hingga ke teknisnya seperti apa dalam upaya menghadirkan sekolah. Saya berharap ada orang yang memang telah berkecimpung dalam proses ini namun kebetulan lupa dan tersadarkan dengan tulisan ini hehehe.
Dengan begitu beliau dapat memberikan sebuah ide dalam menanggulangi masalah ini. Akhir kata saya berharap bahwa semoga pandemi ini segera berakhir agar kita bisa melakukan aktivitas seperti sedia kala, atau jika tidak semoga kita terus berinovasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H