Lihat ke Halaman Asli

Jangan Biarkan Anak Dibodohi Seks

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya baru saja membunyikan bel tanda dimulainya les pelajaran ke dua, saat seorang remaja dengan seragam SMU mendatangi meja piket. Setelah menyapa, ia lalu bertanya tentang adik perempuannya. Sudah tiga hari ini adiknya itu tidak masuk ke sekolah, dan sudah tiga hari ini juga adiknya itu tidak pulang ke rumah. Menurut teman-teman "si adik", ia di jemput oleh pacarnya sepulang sekolah tiga hari lalu.

Si remaja bercelana abu-abu itu terus saja meremas-remas topinya saat teman-teman si adik bercerita. Beberapa hari sebelum si adik “menghilang”, si adik terlihat begitu sedih. Dalam cerita si adik, ibunya tidak menyetujui dirinya berpacaran. Si adik juga bercerita tentang cita-citanya membina rumah tangga bersama pujaan hatinya itu yang ditanggapi dengan gurauan oleh teman-teman si adik, karena beberapa bulan lagi si adik harus menebus ijazah SMP-nya melalui Ujian Nasional.

Itu adalah kejadian tiga bulan lalu, sejak saat itu, si adik tidak pernah kembali ke sekolah. Dan teman-teman si adik juga tidak pernah lagi bertemu dengan si adik, mereka hanya mendengar kabar tentang pernikahan si adik yang akhirnya telah meluluskan cita-citanya.

Entah kenapa saya jadi teringat dengan sebuah artikel yang diedarkan oleh Kompas beberapa waktu lalu, terdapat sebuah paragrap yang cukup membuat saya miris “BKKBN mencatat hasil survei pada 2010 menunjukkan, 51 persen di Jabodetabek dan 52 persen remaja di Medan telah melakukan seks pranikah” (Link) Sungguh angka yang fantastis. Namun angka-angka tersebut boleh jadi cuma puncak gunung es, di mana hanya bagian kecil yang terlihat. Kenyataan yang ada mungkin saja lebih menakutkan.

Dalam rentang waktu saya menghabiskan masa kuliah, beberapa kali saya jumpai teman-teman saya memakai kamar kost-nya untuk berdua-duaan dengan pacarnya. Pada waktu itu saya tidak begitu perduli, toh apa yang mereka perbuat, mereka juga yang menuai hasilnya. Begitulah kira-kira yang saya dan sebagian besar “Anak Medan” yang saya kenal berfikir. Aksi “Ketidakperdulian” ini menurut saya menjadi salah satu pupuk bagi suburnya perilaku nyeleneh tersebut di kota Medan.

Lain lagi dengan cerita tentang seorang anak perempuan yang saya kenal. Saat ini ia tinggal bersama neneknya, sejak kecil dirinya tak diizinkan untuk mencari keberadaan Ibunya, dan hal itu terjadi akibat konspirasi ayah dan neneknya. Ayahnya sendiri kini tinggal dengan istri mudanya di bagian lain kota Medan. Dari yang saya tahu, ayahnya sedang mengenyam bangku SMU saat menikahi ibunya yang waktu itu duduk di SMP, empat belas tahun yang lalu. Setiap hari gadis kecil itu harus bersabar dengan kata-kata “anak haram” dari neneknya, tidak jarang saya temui ia sedang berjalan-jalan dengan cowok-nya di jam-jam sekolah. Dirinya merupakan salah satu produk seks bebas yang ditelantarkan, kemudian menemui pembinaan yang kurang baik. Hakikatnya semua anak yang lahir di dunia itu adalah suci, namun hanya sedikit orang di sekitarnya yang mengerti tentang hal itu.

Itu sebagian kecil cerita yang saya sendiri alami. Bukan kapabilitas saya berbicara tentang seks dan psikologi anak secara panjang lebar,tanpa didasarkan pada ilmu yang benar. Saya hanya menuliskan apa yang saya ketahui dan saya rasakan.

Bagi saya, selain peran serta orang tua, institusi pendidikan harus bisa menjadi benteng dalam hal seks, khususnya pada anak-anak, jangan menjadi tabu untuk membicarakan seks karena lebih baik mereka mendapatkan pengetahuan lebih dini dari sumber yang benar daripada mendapatkan informasi kabur entah dari mana. Sekolah digagas untuk menjadi wadah bagi pengetahuan, dan harusnya dapat menjadi penghubung bagi pengetahuan khusunya informasi seks kepada anak-anak remaja. Sangat dimungkinkan untuk memasukkan pelajaran tentang seks pada beberapa mata pelajaran seperti Agama, Biologi atau Teknologi Informasi dan Komunikasi, hanya dibutuhkan sedikti kreasi untuk menyelamatkan generasi bangsa ini.

Bagi saya, Seks bebas bukan berarti tidak dapat dihentikan.

Medan, 6 Februari 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline