SEBAGAI Wakil Presiden terpilih yang mendampingi Prabowo Subianto pada Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka saat ini menghadapi ujian berat yang dapat mengancam kelangsungan karier politiknya. Salah satu isu yang paling mendesak adalah keterlibatan namanya dalam akun fufufafa, sebuah akun anonim di forum Kaskus yang dikenal memposting komentar-komentar negatif. Kasus ini menjadi bahan perbincangan publik setelah terungkap bahwa akun tersebut diduga menghina Prabowo dan juga menuliskan komentar bernuansa pelecehan seksual terhadap sejumlah perempuan, termasuk selebriti wanita. Meskipun Gibran dan Menkominfo telah membantah keterlibatan langsung, dampak dari tuduhan ini tetap menghantui karier politiknya.
Dalam dunia politik, kredibilitas adalah salah satu aset paling berharga. Ketika seorang politisi terlibat dalam skandal, terutama yang melibatkan penghinaan atau pelecehan, kepercayaan publik dapat dengan cepat memudar. Dalam konteks kasus fufufafa, terlepas dari kebenaran keterlibatan Gibran, persepsi publik telah terbentuk. Publik mulai meragukan kemampuan dan integritas Gibran sebagai seorang pemimpin yang pantas menjadi Wakil Presiden.
Kasus serupa di luar negeri menunjukkan betapa seriusnya dampak skandal digital terhadap karier politik. Ambil contoh Anthony Weiner, mantan politisi AS yang kariernya hancur setelah terlibat dalam skandal media sosial yang bersifat seksual. Meskipun Weiner akhirnya mengakui kesalahannya, reputasinya sudah terlalu rusak untuk dipulihkan. Di Indonesia, kasus Gibran mungkin akan berakhir dengan nasib serupa, terutama jika tuduhan pelecehan seksual dalam komentar fufufafa terus mendapat sorotan dan berkembang di mata publik.
Salah satu aspek utama dari kasus ini adalah bahwa fufufafa bukan hanya terkait dengan penghinaan terhadap Prabowo Subianto, tetapi juga dugaan komentar tidak senonoh yang menyasar perempuan. Meskipun mungkin Prabowo sebagai presiden terpilih bisa bersikap legowo terhadap hinaan yang ditujukan kepadanya secara pribadi, isu pelecehan seksual terhadap perempuan membawa dimensi yang berbeda dan jauh lebih serius.
Di tengah era #MeToo dan kesadaran publik yang semakin meningkat terhadap pelecehan seksual, isu ini tidak bisa dianggap sepele. Gibran yang dikaitkan dengan akun yang membuat komentar-komentar bernuansa misoginis akan menghadapi penilaian moral yang keras dari publik. Ini bukan hanya tentang Prabowo memaafkan atau tidak; ini tentang bagaimana masyarakat dan basis pemilih melihat nilai-nilai yang dipegang oleh seorang calon pemimpin. Mengabaikan isu ini bisa merusak dukungan tidak hanya dari kalangan perempuan, tetapi juga kelompok progresif dan gerakan yang mendukung kesetaraan gender.
Jika Gibran tetap dilantik, ada kemungkinan kuat bahwa skandal ini dapat menjadi dasar impeachment. Dalam sistem politik Indonesia, meskipun impeachment bukan hal yang mudah, preseden menunjukkan bahwa dengan adanya tekanan politik yang cukup kuat, hal ini bisa terjadi. Dalam kasus ini, oposisi akan dengan mudah memanfaatkan skandal ini untuk menekan pemerintahan yang baru terbentuk. Mengingat bahwa komentar-komentar fufufafa menyangkut isu pelecehan seksual, ini bisa menjadi senjata ampuh untuk menggoyang posisi Gibran di pemerintahan.
Mereka yang berada di parlemen bisa mulai mempertanyakan kelayakan Gibran dalam menjalankan tugasnya sebagai Wakil Presiden. Moralitas dan etika publik seorang pemimpin akan menjadi titik tekan dalam diskusi politik yang berkepanjangan. Jika impeachment diajukan, ini akan membuka jalan bagi kekosongan posisi Wakil Presiden.
Jika Gibran benar-benar tersingkir, siapa yang akan menjadi pendamping Prabowo? Ada spekulasi bahwa Puan Maharani akan menjadi pilihan pengganti. Sebagai tokoh politik senior dari PDIP dan Ketua DPR RI, Puan memiliki pengalaman yang signifikan dalam pemerintahan. Namun, secara elektoral, Puan bukanlah sosok yang menarik simpati luas seperti yang diharapkan dari seorang wakil presiden. Popularitasnya, menurut beberapa survei, masih jauh dari ideal untuk menjadi pasangan Prabowo.
Di sisi lain, nama lain yang bisa muncul adalah Sandiaga Uno, yang pernah menjadi pasangan Prabowo pada Pilpres 2019. Sandiaga memiliki hubungan baik dengan Prabowo dan mampu merangkul kalangan pengusaha serta kelompok milenial. Pilihan ini juga akan membawa stabilitas bagi koalisi Prabowo karena Sandiaga adalah sosok yang sudah dikenal dan memiliki rekam jejak yang positif. Dengan demikian, jika Gibran gagal bertahan, Sandiaga adalah salah satu nama kuat yang mungkin akan menggantikannya.
Dengan mempertimbangkan semua faktor ini, sangat mungkin bahwa karier politik Gibran bisa berakhir lebih cepat dari yang dibayangkan. Meskipun masih ada peluang untuk membersihkan namanya, kasus fufufafa memiliki dampak jangka panjang terhadap reputasinya. Kontroversi mengenai pelecehan seksual dan penghinaan kepada Prabowo hanya akan memperparah citranya di mata publik, terutama di kalangan pendukung Prabowo dan kelompok progresif yang mendukung isu-isu kesetaraan gender.
Politik adalah permainan persepsi, dan jika persepsi publik terhadap Gibran sudah tercemar oleh skandal ini, sulit untuk melihat bagaimana ia bisa terus bertahan dalam kancah politik. Apalagi, dengan potensi impeachment yang mengintai, masa depan Gibran sebagai Wakil Presiden terpilih tampak semakin suram. Skandal ini bisa menjadi titik akhir dari ambisinya di politik nasional, terutama jika kekuatan politik dan masyarakat terus menekan agar ia mundur dari posisinya. (*)