Lihat ke Halaman Asli

Kotak Amal

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kotak Amal

Oleh AK Basuki

Ada yang berbeda dengan Marjuki hari ini. Tidak seperti biasanya, jauh sebelum azan salat jumat berkumandang, dia sudah duduk tepekur di shaf paling depan, presis di depan mimbar. Sarungnya wangi, baju kokonya wangi, pecinya juga wangi. Sebelum berangkat ke masjid, kuku-kuku jarinya dipotong, mandi rambutnya dikeramasi, seluruh badannya betul-betul disabuni. Sampai-sampai bagian paling detil seperti sela-sela jari kaki atau lubang udelnya pun tidak luput.

Memang ada sesuatu. Pagi tadi dia menang taruhan bola. Tidak main-main, 500 ribu rupiah tunai langsung dibayarkan lawannya, Dudi, anak Pak RT. Dan sekarang, sesuai tekadnya sebelum bertaruh, bahwa jika dia menang, dia akan menyumbangkan sepersepuluhnya buat masjid, 50 ribu sudah disiapkan dalam kantong celana pendek yang dipakainya di balik sarung.

Bukan tanpa maksud dia berlaku aneh seperti itu. Sebelum ini, dia belum pernah menyumbang sama sekali buat masjid. Maka, hari itu akan benar-benar dibuatnya sebagai hari yang bersejarah. Maksudnya, agar ketika nantinya kotak amal masjid itu mulai diputarkan, semua jama’ah akan melihatnya saat dia beraksi. Tidak cukup hanya di situ, duit 50 ribu perak itu juga sudah dia tulisi dengan namanya.

“Tumben belum azan sudah nongol, Mar. Duduk paling depan, lagi. Biasanya kalo saia lewat, masih ngudud klepas-klepus di depan rumah, cuma pake kolor dan handuk disampir di leher,” tegur Mbah Atmo, salah satu tetua kampung yang selalu datang paling awal dan kali itu harus merelakan tempat favoritnya sudah dikuasai Marjuki.

“Masalah buat Mbah?” sahut Marjuki cengar-cengir.

“Ya nggak, Mar. Cuma ndengaren saja, kok beda dari biasanya. Apa ada sesuatu?”

“Mbah mau tahu?”

“Ya mestinya sih gitu.”

“Mau tahu nggak?”

“Iya, mau.”

“Mau tahu banget apa mau tahu aja?”

“Woo.. bocah sontoloyo!” rutuk Mbah Atmo mangkel lalu menjauh dan mengambil tempat di pojokan.

Satu pancingannya kena, pikir Marjuki. Berarti itu indikasi orang-orang akan memperhatikannya. Makin bersemangatlah dia.

“Wangi betul, Mar. Kaya ABG mau dugem. Biasanya bau burung,” kata Pak Husen, muazin yang datang kemudian dan duduk menyebelahi. Hidungnya mengendus-endus badan Marjuki presis kucing nemu kotoran cumi. Dua, batin Marjuki. Sukses, orang-orang benar-benar memperhatikannya. Apalagi nanti, waktu kotak amal itu lewat di depannya. Hmm...

“Biasa aja, Pak. Pake wangi-wangian kan bagus, apalagi ini jumatan. Napasnya saia juga wangi ini,” kata Marjuki sambil membuka mulutnya lebar-lebar sembari mengembuskan abab lewat mulutnya: hah, hah, hah.

“Masya Alloh,” kata Pak Husen. “Wangi apanya. Bau pisang, iya.”

“Pisang ambon apa pisang kepok, Pak?”

“Pisang bosok.”

Marjuki cekikikan. Itu belum seberapa, karena setelahnya, banyak lagi yang menegur dan semua ditanggapinya dengan riang gembira. Serasa jadi selebritis dia.

Sampai azan selesai dikumandangkan dan khotib naik ke mimbar, Marjuki clingak-clinguk. Kotak amal yang ditunggu-tunggu kedatangannya, yang serasa lama sekali mencapainya, akhirnya toh sampai juga.

Dengan gerakan dramatis Marjuki meraih kotak amal itu, menarik dan mendorongnya bolak-balik, memutar-mutarnya hingga roda kecilnya berdecit-decit dengan ribut, lalu berakhir dengan mengangkat dan menjatuhkannya. Sengaja.

Glodhagh! Krincing! Begitulah bunyinya.

Terdengar seruan-seruan kaget disusul ramai gumaman para jama’ah seisi masjid kecil itu, bahkan khotib sampai berhenti berbicara beberapa detik saking terkejut. Marjuki cuek saja ketika orang-orang jadi banyak yang memperhatikannya. Memang itulah yang diharapkan. Tidak ingin kehilangan momen itu, Marjuki mulai berakting. Tangannya pura-pura mencari-cari, meraba-raba dua saku di kanan kiri bagian bawah perut baju kokonya, bahkan sampai melepas peci dan merogoh sela-sela pinggir peci. Berlagak mencari-cari uang yang sepertinya lupa diletakkan di mana. Terakhir, ini aktingnya yang paling hebat, dia menepuk jidatnya sendiri, berdiri di atas dua lututnya dan langsung merogohkan tangan, mencari uangnya dalam kantong celana pendek di balik sarung. Kakinya mekangkang, sangat provokatif.

Kontan terdengar kembali gumaman seisi masjid melihat gerakan vulgar Marjuki. Tapi, lagi-lagi justru itulah yang diharapkannya. Itulah saat perhatian seluruh masjid terpusat padanya. Dengan dada berdebar-debar bangga campur girang, dia segera menarik lembar uang 50 ribu kebanggaannya.

Sreett!

Gagah betul gayanya. Tidak berhenti sampai di situ, duit 50 ribuan itu dia acungkan tinggi-tinggi tapi sambil berusaha mengesankan bahwa itu gerakan tidak disengaja. Terdengar lagi gumaman seisi masjid sebelum dengan elegan, Marjuki memasukkan uang itu ke dalam kotak.

Blusuk. Selesai.

Dalam hati Marjuki yakin, uang sumbangannya itu adalah yang paling besar hari itu. Juga, di mata orang-orang, dia pasti terlihat hebat seperti dermawan.

*****

Selesai salat jumat, Marjuki tidak juga beranjak dari masjid. Aksinya belum akan selesai begitu saja. Seperti belum puas, dia ingin melihat pembukaan kotak amal masjid dan hasil penghitungan jumlah yang ada hari itu. Dia ingin membuktikan bahwa 50 ribuannya adalah satu-satunya pecahan paling besar. Akan gampang miliknya ditemukan, karena sebelumnya duitnya itu sudah ditulisi dengan namanya. Tapi sepertinya tidak perlu. Siapa lagi sih yang mau menyumbang sebanyak itu? Pasti hanya ada satu pecahan lima puluh ribuan dan itu miliknya.

“Tumben belum pulang, Mar,” tegur Saprudin, salah satu pengurus masjid yang akan membuka kotak amal.

“Nantilah. Enakan di sini dulu. Adem,” kata Marjuki. Gengsi dia jika mengakui niat sebenarnya. Saprudin hanya tersenyum melihat ulah Marjuki yang kini sedang bersandar setengah punggung ke tembok keramik. Pecinya diturunkan ke depan hingga menutupi setengah matanya, berlagak tidak mempedulikan penghitungan isi kotak amal siang itu. Saprudin dibantu Naim, pengurus masjid yang lain, tidak banyak kata-kata lagi. Dengan serius, berdua mereka mulai mengerjakan pekerjaan mereka.

Marjuki tersenyum-senyum sendiri. Sebentar-sebentar matanya mengintip dari balik peci. Akan dinikmatinya hari itu benar-benar. Kemenangan dan kebanggaannya harus diperas sampai ke ampas terakhir, bahkan jika hanya untuk sebuah pengakuan dari petugas penghitung isi kotak amal!

Sayup-sayup, karena pikiran melayang-layang bercampur kantuk yang mulai menyerang matanya, Marjuki sesekali mendengar suara Saprudin dan Naim yang menyebutkan nominal uang yang sedang mereka hitung.

“Sebelas ribu delapan ratus....”

“Dua puluh tiga ribu...”

“Empat puluh tujuh ribu lima ratus....”

Seperti hilang sekejap, tertidur, hingga didengarnya Naim berteriak lantang, “Total, seratus tujuh puluh enam ribu rupiah!”

Marjuki terlonjak bangun.

“Selesai?” tanyanya menggebu-gebu, langsung merangkak mendekat. “Ada berapa lima puluh ribuan?”

Saprudin dan Naim berpandangan.

“Dua,” jawab Naim.

“Ha? Dua? Siapa yang satunya?” Marjuki seakan-akan tidak percaya dengan pendengarannya. Masa’ sih orang-orang kampung yang diketahuinya sendiri miskin-miskin, ada yang mampu menyumbang sampai lima puluh ribu? Kalau Pak Woko, pemilik mesin penggiling beras satu-satunya di kampung itu, mungkin saja. Tapi Pak Woko itu boro-boro nyumbang 50 ribu sedangkan orangnya pelit minta ampun. Tidak mungkin. Tapi ini kok bisa sampai ada yang menyamai nominal sumbangannya. Benar-benar tidak masuk akal, pikir Marjuki.

Saprudin dan Naim berpandang-pandangan lagi, tidak mengerti. Tidak sabar, Marjuki lalu memeriksa sendiri uang-uang yang telah dikelompokkan oleh Saprudin dan Naim untuk nantinya dituliskan masing-masing nominalnya ke dalam papan tulis yang berisi laporan pendapatan dari kotak amal masjid. Diambilnya dua lembar lima puluh ribuan yang ada dan diperiksanya satu-satu. Aneh. Dari dua lembar itu justru tidak ada yang bertuliskan namanya!

“Kenapa namaku nggak ada?” tanyanya bingung. Saprudin mengerutkan alis.

“Lha?”

“Tadi aku masukin lima puluh ribuan. Sekarang kok nggak ada?”

“Begitu? Mungkin salah satunya itu punyamu,” kata Naim.

“Nggak mungkin! Duitku itu ada tulisannya ‘Marjuki Oke’... ini dua-duanya nggak ada,” Marjuki membolak-balik terus dua lembar lima puluh ribuan itu, masih tidak percaya. Tiba-tiba saja timbul curiga pada dua orang di depannya, celetuknya, “Jangan-jangan kamu berdua yang ngambil!”

Saprudin, yang paling tua di antara mereka kontan terlihat marah.

“Nuduh!”

“Lha, buktinya ini... duitku nggak ada!” Marjuki ngeyel.

“Itu kan ada lima puluhan dua!” Saprudin semakin meningkat pula intonasi suaranya. Naim terlihat hanya clingak-clinguk, pandangannya berganti-ganti antara dua orang yang mulai bertengkar itu.

“Kan nggak ada namaku di situ!”

“Terus? Aku harus bilang ‘oh, my goat’ gitu?”

“Pasti kalian yang ngambil!”

“Enakmu!”

“Siapa lagi? Jangan-jangan selama ini duit-duit di kotak amal ini juga sering kalian ambil!”

“Woo.. kurang ajar! Ta’kremus sisan pringsilanmu!”

Hampir saja bisa terjadi perkelahian. Jika saja Marjuki tidak segan kepada Saprudin yang lebih tua, tua, tua, tua, jauuuuh lebih tua darinya, tua sekali tapi belum menikah-menikah juga itu, mungkin saja bogem mentahnya sudah melayang sedari tadi. Tapi masalah tentunya akan jadi panjang.

Maka, dipikirnya cukup sampai di situ saja.

“Okelah,” katanya menahan amarah. “Pokoknya aku yakin betul sudah memasukkan 50 ribuan hasil taruhan. Untuk penegas, juga sudah aku tulisi dengan namaku.”

“Pamer ni yeee... nyumbang kok woro-woro,” Naim nimbrung. Marjuki kelihatan gemas tapi tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia langsung meninggalkan masjid. Pulang.

Naim cekikikan, “Ada ya orang kaya gitu.”

“Baru punya duit agak banyak aja sombongnya minta ampun. Hasil taruhan, lagi. Subhanalloh,” kata Saprudin lalu mengambil dua lembar 50 ribuan yang tadi dan menyelipkannya ke dalam buku kas masjid.

“Biar kapok,” kata Naim.

Sebenarnya dua lembar lima puluh ribuan itu adalah sebagian uang kas masjid yang sengaja mereka letakkan setelah kotak amal dibuka dan luput dari pengawasan Marjuki. Apa yang mereka lakukan sekadar ingin memberi pelajaran biat kesombongan Marjuki. Paling tidak, dalam pikiran Marjuki nanti, ada juga orang yang menyumbang pecahan lima puluh ribuan walaupun kenyataan sebenarnya tidak. Menyedihkan, memang. Sebagai pengurus masjid mereka tahu betul, jarang sekali ada pecahan nominal yang besar setiap kotak amal itu dibuka. Lha ini, sekalinya ada nominal besar, ternyata duit Marjuki hasil taruhan bola. Bweehh!

“Mau diapain duit Marjuki?” tanya Naim. Saprudin nyengir licik dan mengambil selembar lima puluh ribuan bertuliskan ‘Marjuki Oke’ dari kantong celana pendek di balik sarungnya.

“Duit haram, disumbangkan tidak dengan ikhlas, bikin ibadah jumat tadi nggak khusyuk, mending kita pakai beli mie ayam aja. Dari haram, tetep haram.”

“Bhruakakakak... setuju! Mudah-mudahan nggak bikin mencret.”

Cigugur, 5 April 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline