Lihat ke Halaman Asli

Kotak Amal yang Mengancam

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kotak Amal yang Mengancam

Oleh AK Basuki

Saprudin mencengkeram kedua saku depan celananya kuat-kuat mendengar kotak amal mulai diedarkan dari saf pertama. Baru sadar dia bahwa di dalam kedua sakunya itu, masing-masing ada dua pecahan 5000-an. Sewaktu berangkat tadi sepertinya dia keliru menyambar selembar 5000-an, alih-alih pecahan 1000-an yang tergeletak di atas televisi. Seperti makan buah simalakama jadinya. Kasih saku kiri, kebanyakan. Kasih saku kanan, tidak ikhlas karena itu duit buat beli mi ayam selepas jumatan. Tidak kasih, dia malu pada jemaah lainnya.

Srook... grudug-grudug-grudug! Srookk.. grudug-grudug-grudug!

Kotak amal beroda itu terdengar semakin mendekat ditimpal suara lantang kotib di atas mimbar. Sekarang sudah sampai saf kedua dan itu berarti tinggal dua saf lagi untuk mencapainya. Saprudin semakin gelisah. Dia harus berbuat sesuatu. Karena itu, setelah celingak-celinguk, dia lalu memutuskan untuk keluar.

Masjid kompleks perumahan itu tidak terlalu besar dan kebetulan sudah terisi penuh. Maka tidak ada lagi tempat kosong buatnya kecuali duduk di teras masjid, menyandar pada tembok. Dan seperti pada umumnya kegiatan salat jumat di masjid-masjid seluruh Indonesia, barisan paling belakang dari jemaah atau yang tertampung di teras dan bagian luar masjid kebanyakan diisi anak-anak dan remaja tanggung yang berisiknya tidak ketulungan. Ada yang merokok sambil ngobrol, ada yang sabet-sabetan sarung dengan kawannya, ada yang cekikikan sendiri sambil WA-an dan lain-lain.

“Kok kelual, Om? Kentut ya?” tanya seorang anak kecil yang sedang bermain guling-gulingan dengan seorang temannya. Baju anak itu sudah basah keringat seperti habis mandi. Temannya apalagi. Mungkin karena terlalu banyak guling-gulingan, bajunya sudah coklat-coklat tidak keruan, tapi masih saja tertawa-tawa ceria. Gila betul bapaknya dua anak ini, pikir Saprudin. Anak kecil dibawa-bawa jumatan. Mending kalo diajari yang betul. Ini dibiarkan saja bermain memberisiki orang-orang yang pada jumatan.

“Nggak, tuh. Kepingin keluar aja,” jawab Saprudin malas-malasan. Angin sepoi-sepoi mulai membuat matanya berat dan dia jadi mengantuk.

“Kalo kentut halus abdas lagi, Om,” kata anak itu lagi. “Tadi Fikli juga kentut, tapi kalna Fikli masih anak kecil, nggak abdas juga nggak papa.”

“Kalo gitu kenapa jumatan, kan Fikri masih kecil?” tanya Saprudin rada sengit. Untung anaknya perempuan, kalo lelaki mungkin ulahnya juga kaya si Fikri ini kalau diajak jumatan.

“Ayah yang ngajak. Katanya salat jumat itu wajib buat laki-laki, Om. Makanya ibu Fikli nggak diajak. Telus Fikli suka masukin uang ke kotak. Ni, uangnya. Sepuluh libu. Nanti Fikli lipet-lipet tlus masukin deh,” anak itu ngecuprus. Temannya hanya ketawa-ketawa sambil guling-gulingan kesana kemari seperti hidup di dunianya sendiri.

Buset! Anak segede biji kedelai begini saja disuruh bapaknya masukin sepuluh ribu? Cuek banget tuh bapak-bapak jadi orang, pikir Saprudin.

“Om mau masukin blapa? Sini bial Fikli yang masukin,” tawarnya polos kepada Saprudin. Saat itu memang terdengar kotak amal sudah sampai di pintu masjid dan seorang sudah mengangkatnya untuk diedarkan di antara yang ada di teras.

Saprudin berdebar-debar. 30 tahun hidupnya, 15 tahun sejak dia mulai tidak pernah meninggalkan salat jumat, baru kali ini dia merasa sayang untuk menyumbang. Bukan apa-apa. Kebiasaan yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun walaupun hanya sekadar memasukkan recehan barang 100 atau 200 rupiah, sekali kau lalai melakukannya, rasanya akan jadi lain. Berasa seperti jadi dosa yang berat. Itulah yang dirasakan Saprudin. 5 ribu baginya kebanyakan sementara sama sekali tidak ada recehan dalam sakunya.

Makanya dia tetap pada keputusan untuk tetap menahan sakunya itu. Ditenang-tenangkan dirinya sendiri dengan pikiran yang positif-positif. Bahwa Allah tahu alasan dia. Bahwa jika dipaksakan, akan menjadi pemberian tidak ikhlas yang percuma. Bahwa selama ini dia tidak pernah lalai, baru kali ini saja dan Alloh tentu akan memaafkannya. Tapi kenyataan bahwa benar ada dua lembar 5000-an di saku celananya membuat dia tidak bisa tenang.

Sruukk... gludug-gludug-gludug! Sruukk... gludug-gludug-gludug!

Suara menggelindingnya kotak amal yang semakin mendekat itu seperti menyakiti kuping Saprudin dan membuat bulu tengkuknya jabrik. Dia berlagak cuek, menutup mata dan kedua tangannya bersilang di depan dada sementara tubuhnya makin tenggelam bersandar di tembok walaupun jantungnya masih berdebar-debar. Jika tadi di dalam masjid akan ada rasa berdosa dan malu karena tidak mengisi kotak itu, kini di antara yang berada di teras rasanya rada lumayan. Hanya ada perasaan berdosa saja.

Sruukk... gludug-gludug-gludug! Sruukk... gludug-gludug-gludug!

Akhirnya toh kotak amal itu berhenti tepat di depannya. Dia bergeming. Pikirnya, biar saja orang lain yang memindahkan kotak amal itu. Dia sama sekali tidak mau menyentuhnya. Tapi sekian lama menunggu, tidak ada yang terjadi. Tidak terdengar bunyi kotak amal itu bergerak. Dia mulai gelisah. Jangan-jangan dia orang terakhir. Jika begitu, otomatis tidak akan ada lagi yang memindahkan kotak itu dari hadapannya. Dibuka kelopak matanya sedikit. Kotak amal berwarna coklat itu tepat ada di depan hidungnya. Terlihat gagah dan garang. Lalu mungkin karena perasaan berdosanya, kotak itu seolah seperti menuding dan mencemoohnya: Hei! Masukkan 5000-annya Situ itu ke sini!

Buru-buru dia memejamkan mata lagi. Beberapa saat kemudian hanya terdengar suara Fikri, “Masukkin nggak, Om? Ih.. Om-nya kele!”

Sampai terdengar ikamah dan jemaah berdiri semua, Saprudin bergegas ingin masuk ke dalam masjid. Sayang, dia terlambat. Sudah tidak ada tempat lagi. Bahkan di depan pintu pun sudah berjejal orang menghalanginya untuk masuk. Terpaksa dia lagi-lagi bergabung dengan saf yang ada di teras.

Celakanya, selama salat dia sama sekali tidak bisa khusyuk. Selain masih kepikiran, Fikri dan temannya justru asyik mempermainkan kotak amal beroda itu dengan tanpa perasaan berdosa. Ribut sekali. Yah, namanya juga anak-anak.

Sruukk... gludug-gludug-gludug! Sruukk... gludug-gludug-gludug!

Kotak amal itu didorong kesana kemari, tepat di belakang Saprudin ditambah ketawa cekikikan dua anak kecil jahil. Sesekali mereka membentur-benturkannya di kaki atau punggung Saprudin, membuatnya tambah tersiksa. Membuatnya merasa sebagai orang paling pelit di seluruh nusantara. Membuatnya semakin merasa berdosa. Tapi dia terus ngotot berusaha mempertahankan 5000-annya.

Sruukk... gludug-gludug-gludug! Sruukk... gludug-gludug-gludug!

Setiap terdengar bunyi itu, bunyi roda kotak amal melindas lantai mesjid, rasa-rasanya hati Saprudin ikut dilindas.

*****

Sesampai di rumah, Saprudin lesu. Badannya meriang. Kepalanya pusing, perutnya mual dan pandangan berkunang-kunang. Hari ini benar-benar Jumat jahat. Sudah salat jumatnya tidak khusyuk, mau menyumbang tapi tidak ikhlas lalu rencana membeli mi ayam pun terpaksa dibatalkannya karena meriang badannya itu. Dua lembar 5000-an masih ada di saku. Muspro.

“Kenapa to, Mas?” tanya Marhamah, istrinya, yang langsung tanggap mengeroki dan memijat punggungnya.

“Meriang. Nggak enak badan.”

Selesai dikeroki dan dipijat, Saprudin merasa agak nyaman. Sudah hampir lupa dia dengan perasaan bersalahnya. Sedikit bersyukur juga bisa lepas dari bayangan kotak amal yang mengerikan itu. Dia hanya ingin tidur sampai sore.

Entah berapa lama dia tertidur ketika Marhamah membangunkannya, “Ada si Ihsan nyariin. Penting, katanya.”

Sedikit menggerutu, Saprudin pergi ke teras. Di sana dilihatnya Ikhsan, pemuda pengurus masjid duduk menunggu.

“Ada apa, San?” tanya Saprudin. Dia ingin tamunya cepat pulang jadi tidak perlu basa-basi lagi.

“Ini, Mas. Kunci kotak amal masjid hilang. Sudah dicari kemana-mana tapi nggak ketemu. Sore ini kan harus sudah dibuka. Kata ustaz Amir, biar ini kotak nggak rusak, saya disuruh pinjem gergaji besi sama sampeyan,” kata Ikhsan sambil mengangkat kotak amal yang dibawanya dengan dibungkus taplak meja, menyorongkannya ke wajah Saprudin.

Mata Saprudin terbelalak. Punggungnya mendadak dingin. Bulu kuduknya jabrik lagi. Kotak amal di depannya itu kini seperti menagihnya dengan garang: Hayo! Ini kesempatan terakhir buat Situ! Mana 5000-annya Situ yang tadi!

Cigugur, 27 Desember 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline