Lihat ke Halaman Asli

Rumah di Dekat Pos Polisi

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rumah di Dekat Pos Polisi
oleh AK Basuki

“bukan rumahnya, bukan posnya, bukan polisinya... godaannya!”

Keluarga saya adalah termasuk generasi pertama yang tinggal di sudut utara perempatan Ngasem. Sebelum rumah-rumah penduduk semakin banyak dan jalanan belum seramai sekarang, saya dan istri sudah bertahun-tahun tinggal di sini.

Nah, beberapa bulan lalu dibangunlah pos polisi persis di depan rumah saya. Tiap hari ada satu atau dua polisi yang berjaga di sana. Berganti-ganti. Tidak apa-apa sih, karena katanya semuanya punya standar sama dalam bertugas, mengayomi dan melayani masyarakatTapi, semakin hari saya amati, beda yang piket, beda sifat, beda iman, beda kejadian di perempatan itu. Tentu saja saya jadi bersuka ria.

Yang paling saya kagumi dari para polisi itu adalah si Samsul. Orangnya masih muda, sepertinya memang baru lulus pendidikan, tapi kinerjanya memang patut diacungi jempol. Jika piket pagi, dia tidak segan-segan turun ke jalan untuk mencegah kemacetan, bukan turun setelah kemacetan telanjur terjadi karena memang seakan-akan seluruh kota tumplek di perempatan itu pada pagi hari atau di jam sibuk. Apalagi kalau lampu lalu lintas mati. Dari menyeberangkan anak sekolah sampai memperingatkan pengguna jalan yang nakal, dilakukannya dengan elegan.

Beda dengan si Hendri atau si tua Kartono. Yang satu merasa senior sementara satunya lebih senior lagi. Kalau mereka yang bertugas, jangankan menyeberangkan anak-anak sekolah atau mencoba mencegah kemacetan, menguraikan kemacetan saja ogah-ogahan. Mereka hanya duduk di pos, pakai kacamata hitam, nyruput kopi dan baru turun tangan jika para pengguna jalan sudah mulai stres. Itupun dengan imbuhan marah-marah bahkan pernah ada yang sampai ditempeleng karena ngeyel.

Itulah makanya saya justru suka dengan Hendri atau Kartono. Beda dengan anak perempuan saya, Ratih, dia benci sekali dengan mereka tapi naksir berat sama Samsul.

“Ngimpi kali yee...!” ejek saya ketika memergoki Ratih sedang memandangi Samsulyang tengah berdiri tegap mengawasi kesibukan lalu lintas dengan wajah kagum sambil senyum-senyum sendiri.

“Biarin!”

“Apa sih yang bikin kamu suka sama orang itu?”

“Aku juga bingung, Pak. Yang jelas sempritannya telah sukses menyemprit dan menilang hati aku.”

“Preettt!”

“Prat pret prot!”

“Gayamu itu loh.”

“Beneran, Pak. Samsul ini polisi jujur, model orang yang tanggung jawab sama tugasnya. Beda sama temen-temennya yang lain. Aku doain moga-moga cepet naik pangkat!”

“Lha, kalau naik pangkat, apa hubungannya sama kamu?”

“Ya siapa tahu dia bisa jadi mantunya Bapak,” Ratih meleletkan lidah.

“Ngimpi!”

“Ngimpi kan boleh asal nggak kebablasan.”

“Itu kan sudah kebablasan namanya.”

Biarin! Bapak ini loh, sukanya mengacaukan kesenangan anak!”

“Lha, memang Bapak pengacau kok.”

Tapi memang si Samsul itu betul seperti apa yang dikatakan Ratih. Saya pernah melihat dia mengejar lalu menggiring pengendara motor berboncengan yang tidak pakai helm. Sampai di pos, si pelanggar di suruh duduk sementara Samsul membuat surat tilang.

“Kok saya dibawa ke pos, Pak? Bayar di tempat biasanya bisa loh,” kata si pengendara setelah sikut-sikutan dengan temannya.

“Iya, Sul!” teriak saya dari depan rumah. “Bayar di tempat aja pasti beres! Nggak usah pura-pura penting gitu, nggak bakalan kaya!”

Tapi Samsul diam saja. Bujukan saya juga tidak ditanggapi. Hanya terlihat wajahnya merengut dan rahangnya mengeras, sepertinya marah.

“Tanggal 14 Anda hadir di sidang ya!” katanya sambil menyerahkan surat tilang. “Surat-surat kelengkapan kendaraan saya tahan.”

“Bulan ini, Pak?”

“Bukan, 27 tahun lagi!”

“Ah, Bapak bisa aja. Kita selesaikan di tempat saja, yuk!”

“Maksud Anda?”

“Jangan pura-pura lah, Pak. Saya bayar di sini saja, deh.”

“Berani berapa?” tanya Samsul. Wajahnya makin merah. Sepertinya marah sekali.

“Lha, Bapak maunya berapa?”

“Dua juta!”

“Buset dah!” terkejut orang itu sampai-sampai berteriak.

“Hwarakadhah!” teriak saya juga. Kebangetansi Samsul, pikir saya. Serakah sekali.Tapi tidak apa-apa. Semakin serakah, saya semakin suka. “Pepet terus, Sul!”

“Nggak sanggup? Makanya datang saja ke pengadilan tanggal 14.”

Orang itu belum mau menyerah.

“Saya punya saudara intel, loh. Pastinya Bapak nggak mau kan kalau saya panggil dia kesini?”

“Mau intel mau buntel, kalau Anda salah ya tetap salah! Atau Anda mau saya laporkan karena sudah berusaha menyuap anggota polisi?”

“Tapi saudara saya ini....’

“Silaken panggil dia kesini, saya tunggu. Telpon saja. Punya pulsa nggak?”

“Nggak pu... pu... punya, Pak.”

“Dia pake nomor apa?”

“M-telu, Pak.”

“Nih, pake hape saya, kebetulan saya pakai Mintarsih. Tadi pagi masih ada pulsanya 1500, lumayan cukup buat ngobrol ke sesama provider. Bilang sama dia, ditunggu di pos Ngasem. Cepetan!”

“Tapi...”

“Apa lagi?”

Eh… nganu… sebenarnya dia bukan saudara saya, sih.”

”Saudaranya siapa?”

“Dia itu saudara tetangga adiknya temen adik istri kakak adik budenya kakak ipar paklik saya.”

“Hazzah! Mbulet kaya entut santri! Tapi kenal, kan?”

“Kenal dong, Pak.”

“Ya udah, telpon saja. Saya tunggu di sini.

“Nganu je... eh, dia... orangnya udah mati ding.”

“Hazzah!”

“Saya bayar di sini saja 100 ribu deh.”

“Gelang sipatu gelang!”

“Apa itu, Pak?”

“Sekali tilang, tetap tilang!”

Saya ngakak melihat kejadian itu. Itulah Samsul. Digoda seperti apapun bergeming. Beda dengan Kartono atau Hendri yang sudah pengalaman cari sampingan. Pokoknya bisa dihitung siklus isengnya. Kalau sudah tanggal tua, mereka pasti sudah mulai kelojotan kaya cacing mules. Ngobyek melulu pikirannya. Roda melebihi marka sesenti, tilang. Helm bukan SNI, tilang. Plat nomor tidak asli, tilang. Spion satu sisi, tilang. Knalpot bising, tilang. Padahal di hari-hari biasa, mungkin saat dompet masih tebal, pelanggaran-pelanggaran yang seperti itu dibiarkan saja. Mending kalau disuruh sidang dan bayar denda, lha ini selesai di tempat dengan beberapa puluh ribu masuk kantong dan surat tilang yang sudah dibuat disobek-sobek, je.

Saya pun selalu iseng memanas-manasi. Jika terlihat Kartono atau Hendri sedang piket, langsung saja saya pancing-pancing karena tahu mereka mudah terpancing, tidak seperti Samsul. Saya langsung teriak-teriak dari beranda rumah.

“Ibu-ibu baju merah, yang naik motor, nggak bawa SIM dan STNK tuh kayanya, tilang saja! Cepetan, mumpung masih merah lampunya. Kalau sudah ijo, susah ngejarnya.”

Atau:

“Hari gini kok nggak minta duit. Sekarang ini kebanyakan orang lebih suka ngeluarin duit daripada STNK-nya ditahan nunggu sidang. Minta! Satu pelanggaran 25 ribu, gitu! Kalau nggak ada yang bisa ditilang, cari kesalahan yang lain. Tuh, tutup pentilnya asesoris tuh... nggak asli. 25 ribu!”

Atau lagi:

“Tilang! Tilang! Tilang! Pokoknya tilang sampai mencret!”

*****

Pos polisi itu memang akhirnya jadi momok bagi para pengendara yang lewat. Polisinya galak-galak. Bikin kesalahan sedikit saja, tidak akan ada yang lolos. Mereka pun jadi tahu, siapa polisi sedang bertugas yang bisa kompromi dengan yang sama sekali tidak bisa. Tapi hitungannya tetap saja, kompromi atau tidak kompromi, mereka rugi. Imbasnya, perempatan Ngasem jadi tertib karena para pengendara jadi super hati-hati sekali kalau sampai lewat sana.

Saya jadi merasa bosan. Jarang ada kejadian yang lucu lagi. Istri saya tidak terlalu terpengaruh karena dia memang jarang keluar, sibuk momong anak kami yang kecil. Ratih juga demikian. Obsesinya toh hanya kepada Samsul, tidak peduli hal lain.

Maka, ketika pada dini hari saya melihat beberapa orang mengendap-endap lalu meletakkan sebuah bungkusan di samping pos polisi, tersembunyi dan tidak terlalu mencolok karena tertutup kotak sampah, saya merasa ada hal menarik yang akan terjadi. Makanya saya biarkan saja karena penasaran.

Benar saja, tidak begitu lama kemudian, bungkusan itu meledak. Cukup dahsyat efeknya karena pos polisi itu hancur berkeping-keping. Lebih buruknya, rumah saya pun hancur! Roboh dan tercerabut sampai ke akar-akarnya!

Saat tempat kejadian menjadi ramai dan polisi-polisi berdatangan, keluarga saya justru kebingungan karena kehilangan tempat tinggal.

“Kok bisa begini?” tanya istri saya yang biasanya pendiam. Sibuk dia menenangkan si kecil yang kepinginnya nyusu terus.

“Lha, mana kutahu.”

“Masa situ sampai nggak tahu?”

“Tadi sih memang lihat ada orang naruh bungkusan.”

“Bapak goblok!” teriak Ratih. “Kenapa didiamin saja?”

“Lha? Bapak kan jadi penasaran. Kepingin tahu. Bukannya bakal jadi menarik nantinya?”

“Nah, itulah Bapak. Maunya hiburan terus. Nih, sekarang gara-gara Bapak nggak tanggap mencegah kejadian ini, rumah kita juga kena, kan?Kaya gini menarik?

“Bapak kan nggak kepikir pos polisi mau dibom, Rat,” jawab saya sedikit menyesal. “Itu orang-orang pada kurang kerjaan apa, ya? Emang salah apa sih polisi? Apalagi yang di pos Ngasem ini. Masa cuma karena sering nilang balasannya sampai pake bom?”

“Namanya juga....,” sahut istri saya, tapi tidak selesai.

“Apa?”

“Nggak jadi, ah. Takut salah.

Ratih mengelus-elus dada, “Untung nggak ada yang lagi piket. Kalau ada dan itu bagiannya Samsul... oh, my gout... nggak terbayangkan.”

“Bukannya bagus kalau dia mati? Bisa kawin kamu sama dia,” kata saya ketus.Rumah sudah hancur begini yang dipikir masih Samsul saja. Jengkel saya.

“Bapak lagi-lagi goblok. Polisi baik kaya Samsul, kalau mati nggak akan jadi hantu, Pak. Langsung masuk surga. Nggak mungkin dong aku ngejar dia ke sorga. Mendingan dia tetep hidup biar bisa terus aku pandangi dengan penuh perasaan,” kata Ratih kemayu.

“Sok tahu kamu.”

“Terus gimana ini, Pak? Rumah kita udah kena bom gini. Mau cari pohon asem lain atau gimana?” sela istri saya.

“Lha kalau gini caranya, jelas nggak mungkin ditanam lagi to? Kita pindah saja.”

“Hah? Pindah? Tapi aku kan belum puas ngecengi Samsul, Pak!” jerit Ratih sambil menangis guling-guling.

“Nanti kita cari rumah yang deket-deket polisi biar kamu tetep bisa ngeceng. Pos polisi lagi kek, atau malah asrama polisi. Selain buat nyenengin kamu, Bapak juga seneng kok nggodain polisi-polisi kaya Kartono dan Hendri. Nggak ada pohon asem, pohon jengkol pun nggak masalah, yang penting nyaman.”

“Sumpah, Pak?” Ratih berbinar-binar. Istri saya cuma cekikikan melihat polah anaknya.

“Iya!”

“Asiiikkkk!!”

Kami sekeluarga lalu pergi meninggalkan kekacauan yang belum dibereskan subuh itu.Pindah. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Pohon asem berumur puluhan tahun itu sudah tumbang, pos polisi itu juga berantakan.

“Pak,” bisik istri saya pelan, takut terdengar Ratih yang masih terlihat bersemangat mendengar janji saya tadi. “Aku pengin tinggal di dekat Istana Negara aja gimana? Pengin ngecengin presiden. Lagian, denger-denger pohon di sana besar-besar.”

“Huss! Ciloko kamu!”

Cigugur, 24 Oktober 2012

- pesan moral: nggak ada

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline