Lihat ke Halaman Asli

Rumah di Dekat Sekolahan

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13494261231226185351

Rumah di Dekat Sekolahan oleh AK Basuki

"bukan rumahnya, bukan TK-nya, bukan SD-nya, bukan SMU-nya... tapi tawurannya!" Sudah hampir 5 tahun Marno sekeluarga menempati rumah kontrakan di dekat kompleks sekolahan Yayasan Persada. Rumah yang berhalaman cukup luas dan dimanfaatkannya untuk berjualan mi ayam itu letaknya hanya beberapa meter dari gedung Taman Kanak-kanak dan SD, tapi justru jadi tempat favorit siswa-siswi yang SMU. Di situlah tempat berkumpul mereka sebelum atau sesudah jam sekolah. Bahkan yang membolos, tapi takut pulang ke rumah, larinya ke situ juga. Tidak masalah buat Marno selama dagangannya laris dan anak-anak itu tidak berbuat onar. Namanya juga remaja-remaja tanggung, kelakuan mereka tentu saja sering aneh-aneh. Tapi, selama masih dalam taraf standar dia tidak pernah membuat aturan ketat untuk melarang ini itu. Merokok sih biasa. Main gaple dengan taruhan uang recehan pun tidak masalah. Mau pacaran, monggo. Mau mabok, asal tertib dan ngepil atau minum plethok-nya tidak di situ, no problemo. Pokoknya, warung mi ayam di rumah Marno itu adalah warung mi ayam rumahan terbaik sedunia. Tahun-tahun berganti, angkatan-angkatan baru mengganti yang lama, karakter-karakter baru bermunculan, masalah pun mengemuka. Yang paling parah jelas tahun ini. Nakal-nakal mereka. Brutal. Hampir tiap hari tawuran. Bukan lagi sekadar kenakalan dan kebrutalan biasa, malah sudah termasuk kriminal karena biasanya ada korban yang terluka parah. Seingat Marno, dulu, tawuran bukanlah kegiatan favorit anak-anak SMU dekat rumahnya itu. Kalau pertarungan satu lawan satu memang ada, tapi tidak sering. Masalah tertentu diselesaikan dengan jantan, dengan kepalan tangan pada waktu dan tempat yang disepakati kemudian. Tanpa senjata dan tidak ada dendam di kemudian hari. Sekarang, berbanding terbalik, warung mi ayamnya jadi tempat perundingan hari ini akan menghajar siapa atau menyerbu sekolah mana. Payah, beraninya keroyokan. Kenakalan anak-anak SMU yayasan itu tentu saja jadi terkenal sekabupaten, mengalahkan kepopuleran incumben. Imbasnya, ada bahaya laten yang mengancam. Sekolah itu kini jadi incaran untuk diserbu sekolah lain. Marno mengetahuinya saat dua remaja tanggung petantang-petenteng mendatangi warung mi ayamnya sore itu. "Anak-anak Persada denger-denger suka nongkrong di sini," kata seorang yang memakai jaket kulit, sengaja membesarkan volume suaranya. Sepertinya biar Marno mendengar. "Mana? Kok nggak pada kelihatan batang otaknya?" sambut yang satu dengan nada mengejek. "Takut apa, kita datang?" Dalam hati, Marno yang memang lebih terikat perasaan sentimentil dengan anak-anak sekolah dekat rumahnya hanya bisa membatin. Ya iyalah, sore-sore begini mana mungkin anak-anak Persada nongkrong di sini. Hari minggu, lagi. Coba dua berandal ini kesininya besok. Jangankan mengejek, bernapas saja mungkin ditahan-tahan sampai muka membiru, saking takutnya. "Paling udah denger kabar kita mau surfey, mereka ketakutan setengah mati." "Apalagi besok kalau kita serang pas jam pulang sekolah, pasti pada kalang-kabut tuh. Sayang, nggak ada yang nongol buat terima peringatan kita. Kurang rame kalo yang diserang nggak tahu. Berasa nggak bakalan ada perlawanan." "Biarin aja, yang penting niat kita baik. Mau kasih peringatan buat besok. Masalah mereka siap atau nggak kan nggak masalah." O, jadi maksud mereka datang kesini untuk menyampaikan peringatan. Tapi kalau memang niat, kenapa tidak datang di jam sekolah saja? Hari libur begini mana ada yang bisa tahu. Akal bulus mereka boleh juga. Jadi, Marno dijadikan saksi bahwa sebenarnya mereka sudah memberikan peringatan lebih dahulu. Dasar pengecut! "Mi dua, Pak! Nggak pake lama!" kata seorang yang hidungnya pesek betul, mirip beranda rumah pelacuran yang kena pelebaran jalan. "Mi ayam apa mi babi?" sambut Marno. Nadanya enek tapi raut wajahnya senyum-senyum. Pelanggan adalah raja, sebisanya tetap ramah biarpun terpaksa. "Oh, ada mi babi juga? Hiii... kan haram menurut agama aku." "Yang haram babinya, dagingnya kan nggak." "Kalo kata mama aku tuh ya, babi itu dari bulu, daging sampe tulangnya haram." "Berarti mendingan dagingnya Situ aja saia campurin ke mi sekarang juga, bagaimana?" "Hah? Daging aku?" tanya si pesek, matanya kedip-kedip menyebalkan. "Ya!" jawab Marno sambil menancapkan pisau yang sedang dipakainya mengiris sawi ke talenan. Slugh! Dua berandal tanggung itu terperanjat. "Bapak bisa aja. Eh, sudah lama jualan di sini, Pak?" tanya salah satu dari mereka yang memakai jaket kulit buru-buru mengalihkan. Basa-basi. Temannya hanya cengar-cengir. "Baru tadi pagi," jawab Marno seperti tidak peduli. "Ooo... asalnya dari mana, Pak?" "Dari tadi pagi." "Bapak sendirian di sini? Nggak ada yang bantuin?" "Pada pergi tadi pagi." "Ini warung enak juga buat nongkrong, ya? Tapi kok sepi, Pak?" "Ramainya tadi pagi." "Nama Bapak siapa?" "Tadi pagi sih, masih Marno." Dua berandal diam dalam ketegangan. Tidak beres jika seseorang menjawab semua pertanyaan dengan jawaban itu-itu saja dan sambil lalu begitu. Apalagi wajah seseorang itu mirip-mirip malam jum'at kliwon, angker. Kengerian jadi terasa menelusup hingga tulang sumsum. Sampai mi dan es teh dihidangkan, barulah mereka bisa sedikit rileks. "Makan, Pak," kata si pesek berubah sopan sekali. "Sudah tadi pagi." Setelah itu benar-benar tidak ada pembicaraan di antara mereka. Marno pun, tidak seperti biasanya kepada pelanggan, sengaja duduk menghadap mereka. Angker tatapannya. Kebetulan warung sedang sepi, hanya ada dua berandal itu sehingga terasa sekali situasi yang tidak mengenakkan. "Enak, Pak. Daging ayamnya juga lembut sekali rasanya. Tulangnya nggak ada. Pasti direbus lama ya?" tanya si jaket kulit basa-basi lagi. Tidak tahan dia dengan tatapan Marno. "Dari kemarin malam sampai tadi pagi." Tadi pagi lagi, tadi pagi lagi... tukang mi ayam ini sepertinya nggak beres, pikir dua berandal. Gelisah tak tertahan, akhirnya mereka seperti dikomando, bangkit tanpa menyelesaikan makan. "Berapa, Pak? 20 ribu cukup? Atau sudah dibayari orang tadi pagi?" tanya si jaket kulit mengeluarkan dompetnya. Masih nekat mengajak bercanda dia. "Kalau tadi pagi bayarnya cukup 15 ribu. Sore, tambah abonemen jadi 50 ribu. Tapi karena saia nggak suka sama Situ berdua, total 100 ribu saja." "Busyet! Sejak kapan mi ayam dua mangkok bayarnya semahal itu?" "Sejak tadi pagi."

*****

Marno sebenarnya sudah mencoba menyampaikan apa yang didengarnya kemarin pada Pak Mahmud, guru yang dicegatnya di gerbang sekolah. Dia memang sengaja menunggu di sana dari pagi. "Saya dengar akan ada penyerangan dari sekolah lain siang nanti, Pak," bisik Marno setelah menghentikan sepeda motor Pak Mahmud di depan gerbang. "Ciyus? Miapah?" "Serius! Demi Alloh!" "Buktinya mana?" "Nggak ada, Pak." "Kalau begitu, saya tidak bisa mempercayai begitu saja kabar sayup-sayup seperti ini." "Setidaknya lapor polisi untuk bersiaga saja, Pak." Tapi Pak Mahmud tidak mau menanggapi lagi. Terus saja dia mengendarai sepeda motornya masuk ke halaman sekolah. Marno putus asa. Dia tidak akan sepeduli itu kalau tawuran tidak terjadi di lokasi sekolahan. Banyak yang harus dipertaruhkan termasuk warung dan rumahnya, apalagi warungnya itu memang terkenal sebagai tempat nongkrong anak-anak Persada. Bisa kacau jika itu jadi target serangan juga. Apalagi kemarin dia sudah memeras dua berandal yang makan mi ayam di situ. Kekhawatirannya terbukti. Belum waktu istirahat kedua, warungnya sudah penuh dengan anak-anak Persada. Mereka sengaja membolos jam pelajaran keempat untuk bersiap-siap. Sepertinya rencana serangan telah mereka ketahui, entah dari mana. Dan entah dapat dari mana juga, masing-masing menenteng senjata yang, beberapa jenis di antaranya, dalam mimpi pun belum tentu Marno bisa kepikiran untuk membuat sesuatu yang antiknya seperti itu. Ada pedang panjang sekali, sekira dua meter setengah. Mungkin pemiliknya harus ekstra hati-hati untuk memakainya agar tidak mencolok lubang hidung kawan di samping atau belakangnya. Ada gir sepeda motor yang diikat rantai, ada gada besi bergigi presis senjata di komik silat, ada yang bawa keris pusaka 12 luk beraroma minyak duyung, bahkan ada yang membawa kapak bermata dua bertuliskan Naga Geni 212 - depan sabet, blakang bacok! Dan masih ada beberapa lagi yang tidak bisa dideskripsikan oleh Marno saking abstraknya bentuk senjata itu. Selain semua itu, standar: pisau lipat, sabuk bergesper, clurit atau parang. Meriah, pokoknya. Mirip persiapan karnaval 17 agustus. Marno merinding. "Titip di sini, Pak!" kata seorang pentolan anak-anak nakal Persada. Tanpa persetujuan dari Marno, dia segera memimpin kawan-kawannya menyembunyikan senjata-senjata itu di samping rumah, ditutupi terpal. Marno tidak mampu berbuat apa-apa. Siang itu, warung terpaksa ditutupnya. Tepat jam pulang sekolah, anak-anak Persada berkumpul lagi di halaman rumah Marno. Wajah mereka tegang. Sebagian duduk-duduk sambil merokok dengan senjata siap di tangan, beberapa orang mengamati jalan. Tapi sampai lama sekali mereka menunggu, tidak terjadi serangan yang ditunggu-tunggu. Sialnya, yang ada malah kepala sekolah SMU Persada bersama beberapa polisi, tiba-tiba keluar dari dalam rumah Marno. Sepertinya mereka habis makan mi ayam gratis sambil memperhatikan polah anak-anak itu sedari tadi. Langsung saja anak-anak itu dilucuti senjatanya, lalu digiring kembali ke sekolah untuk diberi pembekalan. Tanpa perlawanan. Tawuran dibatalkan dengan mudahnya. "Pak Mahmud ini bikin saia stres. Saia pikir laporan saia dicueki," kata Marno pada Pak Mahmud. Berdua mereka duduk di teras rumah setelah keadaan jadi sepi. "Tanpa laporan Pak Marno pun, sebenarnya pihak sekolah sudah tahu. Kami berkoordinasi dengan pihak sekolah penyerang yang sudah tahu lebih dulu. Saya justru menjaga agar informasi itu tidak bocor dan membuat keresahan di antara siswa. Di sana malah sudah sejak pagi anak-anak yang dicurigai akan menyerang kemari dicokok satu per satu. Makanya tidak ada yang sampai kesini," terang Pak Mahmud sambil menyeruput es teh manisnya. "Berarti saia yang terlalu lugu, ya? Kalau informasi akan adanya tawuran bisa diketahui oleh saia yang notabene hanya seorang tukang mi ayam, tentunya pihak sekolah jelas sudah mengendusnya jauh-jauh hari sebelumnya, apalagi kalau sudah koordinasi juga dengan intelijen polisi. Wah, jadi malu saia." "Tapi kepedulian dan reaksi Pak Marno patut diberi pujian." "Ah, biasa aja, kok," kata Marno tersipu-sipu. Pak Mahmud menghela napas, "Hari ini kita bisa mencegah mereka. Tapi sampai kapan? Tidak ada jaminan untuk menghentikan mereka sama sekali. Anak-anak itu sedang dalam semangat muda. Sayangnya, jiwa muda mereka identikkan sendiri dengan kekerasan. Siapa yang berani berdarah, itulah yang gagah." "Setidaknya pihak sekolah sudah bertindak tepat. Yang penting untuk kali ini tidak terjadi kejadian yang tidak diinginkan. Bisa jadi bahan pembelajaran ke depannya." "Betul. Saya yakin suatu saat nanti ada penyelesaian yang baik dan tepat untuk masalah ini." Marno manggut-manggut. Suatu saat, semoga. "Emm, mi ayamnya enak, Pak Marno. Boleh nanti saya minta dibungkuskan tiga untuk orang rumah?" "Siap! Jangankan tiga, sepuluh juga saia bungkusin! Hari ini saia terpaksa tutup, tapi hati saia lega sekali, Pak!" "Ciyus? Miapah?" "Serius! Demi Alloh!" Cigugur, 5 Oktober 2012 Nb: tawuran cuma buat pengecut, kata @jajang_nandar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline