Lihat ke Halaman Asli

Rumah di Dekat Rumah Sakit Jiwa

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1348817442554109846

Rumah di Dekat Rumah Sakit Jiwa oleh AK Basuki

“bukan rumahnya, bukan Rumah Sakitnya... tapi jiwanya...”

Markamto sedang membangun sebuah rumah idaman dengan tangannya sendiri. Sederhana dan mungil, tidak besar, cenderung terlalu sempit, tapi itu cukuplah baginya. Dia toh sendiri, tidak ada tanggungan. Kelak jika punya rezeki lebih, dia akan berusaha untuk menambah luasnya, atau minimal membuatnya lebih bagus lagi.

Rumah itu berdekatan dengan Rumah Sakit Jiwa. Tidak ada masalah baginya, malah keuntungannya signifikan karena sembari melakukan pekerjaan yang dibutuhkan untuk penyelesaian, dia bisa jadi juru parkir untuk mobil atau sepeda motor pengunjung rumah sakit di halaman rumahnya itu. Hitung-hitung cari tambahan. Hasilnya lumayan, setengah hari sudah 20 ribu rupiah masuk ke kantongnya. Tidak melelahkan dan sangat praktis. Belum lagi jika pas bertemu dengan pengunjung yang murah hati. Hanya memarkirkan kendaraan saja di depan rumah Markamto, mereka mau memberi uang yang cukup besar. Kadang ada embel-embel makanan atau beberapa batang rokok. Menyenangkan sekali.

Apalagi sekarang, kebetulan dia mengobrol dengan seorang perempuan yang mentereng dandanannya. Malah diajak curhat dia.

“Sudah lama tinggal di sini?” tanya perempuan itu sambil memberikan uang parkir, lebih banyak dari umumnya uang parkir, saat Markamto membunyikan peluit yang dipinjamnya dari Dhanianto, tukang parkir RSJ. Mungkin karena ketika perempuan itu kembali, dilihatnya Markamto sedang mengelap mobil itu.

“Rumah ini belum saya tinggali, Bu. Masih dalam tahap pembangunan... begitu.”

“O, gitu?” perempuan itu mengangguk-angguk. Wajahnya sedih, pandangan matanya kosong.

“Ibu menengok siapa?” tanya Markamto.

“Suami,” jawab perempuan itu setelah lama terdiam. Entah apa yang dipikirkannya karena saat itu dia malah tidak segera masuk ke dalam mobil. Markamto dengan penuh pengertian tidak ingin mengganggunya lebih lama lagi. Tapi ketika dia baru akan berbalik pergi untuk meneruskan pekerjaan pada rumahnya, terdengar perempuan itu bergumam, “Apa betul orang gila tidak mengenali siapapun, walau itu istrinya sendiri?”

Markamto jadi tertarik. Perempuan itu telihat bersandar lesu di pintu mobilnya.

“Kenapa, Bu?”

“Itu... apa betul orang gila tidak bisa mengenali siapapun?”

“Saya kurang tahu. Mungkin ada yang seperti itu, mungkin juga tidak.”

“Suami saya... tidak peduli dengan sekitarnya, termasuk saya. Dia tidak mengenali siapapun, bahkan lupa dengan dirinya sendiri. Pelupa sekali. Saya ragu dan jadi berpikir instansi perawatan kejiwaan seperti ini tidak akan banyak membantunya. Saya baru saja menghadap pimpinan rumah sakit, mempertanyakan kefektifan terapi yang mereka lakukan.”

“Sudah berapa lama suami Ibu di sini?”

“Baru beberapa bulan.”

“Terus, Ibu kepingin beliaunya langsung waras... eh, sembuh?”

“Seharusnya begitu, kan?”

Dengkulmu itu, Bu, Bu! Dikiranya merawat orang gila itu gampang seperti bikin bakwan, apa? Markamto membatin. Yang sudah dirawat tahunan pun ada yang tidak sembuh-sembuh. Ada yang keluar-masuk RSJ seperti orang orang mencret bolak-balik ke wc saking seringnya, ada yang setahun sembuh setahun kumat, dua tahun waras lima tahun ngomyang, hari ini nyabit rumput, besoknya nyabit leher tetangga, dan lain sebagainya. Lha, ini baru beberapa bulan sudah minta langsung bagas waras. Sungguh aneh binti ajaib.

“Ibu harus sabar,” kata Markamto bijak. Tapi langsung batuk-batuk dia karena merasa kata-katanya itu norak dan klise sekali.

“Iya... sabar. Dari dulu saya sabar. Kurang apa saya? Saya istri setia. Saya yang selalu mendorong dan mendukungnya hingga bisa melihat karir usahanya berkembang pesat, tidak statis di situ-situ saja. Dari awal saya selalu di sampingnya, jatuh bangunnya saya ikut merasakan. Setelah sukses dan dia mulai lupa diri, saya yang terus coba mengingatkannya walau percuma. Saya rela dimadu, rela hanya ditengok tiap yang muda lagi datang bulan saja, rela biaya hidup saya dan anak-anak berkurang karena perempuan keong racun salah alamat iwak peyek itu doyan menghasut. Sudah saya bilangi, tidak usah ikut njago jadi bupati, tetap saja ngeyel. Sudah harta habis buat kampanye, jadi jongos bupati pun tidak, gila malah iya. Sekarang, di saat dia sakit, saya juga orangnya yang bersedia ada di sampingnya. Madu saya itu mana pernah nongol batang lehernya? Lagian...an... an... saya... ya... ya... hosh, hosh, hosh...” saking banyaknya kata-kata di samping harus juga menahan perasaan, perempuan itu mulai ngos-ngosan. Markamto prihatin.

“Saya ambilkan minum dari rumah saya ya, Bu,” tawarnya.

“Hah? Eh.. Sudah, sudah, Mas... nggak usah, saya hanya sedikit emosional,” kata perempuan itu terlihat sedikit jengah. Mungkin jadi tidak enak hati, ditambah emosi yang tidak tertahankan, dia tersedu-sedu sendiri kemudian. Markamto serba salah. Mau diam saja tapi rasa-rasanya perempuan itu butuh dihibur. Mau dihibur sembari dipeluk-peluk agar perempuan itu menangis di dadanya, sayang bukan muhrimnya.

“Kejiwaan manusia itu sebenarnya mudah, Bu.” kata Markamto sok tahu. “Kasus suami Ibu rasa-rasanya bukan hanya sekarang saja saya dengar. Ambisi yang terlalu tinggi, rasa percaya diri yang berlebihan karena telah merasa berhasil dalam hidup justru bisa menjadi bumerang. Contohnya suami Ibu. Dengan usaha yang maju, harta melimpah, dua istri... apalagi tujuan berikutnya kalau tidak jadi penguasa? Hmm.. Bupati itu semangcem raja kecil yang menguasai negara dalam negara. Apa nggak tambah gagah kelihatannya tuh? Toh sekarang ini hampir semua maunya gitu. Mentang-mentang punya duit, terkenal, ujung-ujungnya mainan politik. Eh, sayangnya kadang malah dijadiken alat untuk memperluas hegemoni penguasa. Harapan yang terlalu besar untuk berkuasa menjadikan mereka siap menang, tetapi tidak siap untuk kalah. Terbuai mimpi-mimpi kosong. Khusus suami Ibu, pastilah guncangan keras membuat otaknya kongslet. Nggak jadi Bupati, dapatnya malah stres.”

“Saking stresnya sampai tidak bisa lagi mengenali siapapun.”

“Begitulah. Makanya Ibu harus bersabar. Ini semua mungkin ujian bagi kesetiaan Ibu dan sebuah peringatan bagi beliaunya. Begitu.”

Perempuan itu kemudian menatap Markamto dengan tatapan penuh arti. Mungkin dia merasa heran, kenapa bisa membahas hampir sebagian kegalauannya pada lelaki setengah tua yang cengengesan ini, mungkin kagum dengan kata-kata Markamto, mungkin berpikiran lain. Entahlah, Markamto tidak mengerti. Malah giliran dia yang jengah sekarang. Saking jengahnya dipandangi seperti itu, dia hanya bisa menunduk dan mempermainkan ujung kaosnya sambil menggigit bibir. Mukanya memerah.

“Terima kasih, Mas,” kata perempuan itu akhirnya. “Doa saya selalu untuk Mas.“

“Ah, Ibu bisa saja.”

“Serius. Tidak semua apa yang kita lihat dan persepsikan sama dengan apa yang kita alami sebenar-benarnya. Maaf, awalnya saya meragukan Masnya untuk bisa mengerti pembicaraan ini. Ternyata Masnya malah mau mendengarkan, malah mengerti lebih baik dari saya. Saya senang. Biarpun tidak memberi solusi, saya hanya ingin didengarkan. Mengerti, Mas? Saya ingin didengarkan! Semoga ini satu kemajuan berarti dan saya akan terus bersabar! Semoga Mas tahu… ah, semoga suami saya tahu bahwa saya akan terus bersabar menunggu dan berdoa akan kesembuhannya, tetap setia walau apapun yang pernah dilakukannya pada saya, ingin juga dia tahu bahwa saya adalah orang yang akan selalu mendukung dan berada di sampingnya dalam kondisi apapun.”

Perempuan itu lalu membuka dompetnya, mengambil beberapa lembar seratus ribuan dan memberikannya pada Markamto. Yang diberi jelas tanggap, langsung menyambarnya tanpa pikir panjang. Kecepatan geraknya sungguh mengagumkan, presis kaya ABG imut nyamber duit om-om.

“Terima kasih, Bu! Semoga Ibu panjang umur, dikaruniai kesehatan, kebahagiaan, kecukupan dan kemuliaan dunia akhirat. Juga suami Ibu, semoga cepat sembuh. Amiiinnn...!” oceh Markamto bungahnya minta ampun. Perempuan itu tertegun sejenak sebelum menangis lagi lalu dengan sedikit tergesa-gesa menaiki mobilnya dan pergi.

Beruntung sekali Markamto. Hari pertama pembangunan rumahnya dia sudah dapat rejeki nomplok. Kalau begini terus, bisa-bisa bukan hanya rumah yang nanti dibangunnya, hotel atau vila bisa juga dia usahakan. Ah, betul! Mending rumahnya ini dijadikan vila saja! Dia punya duit banyak sekarang, bisa beli bahan bangunan yang lebih baik daripada kardus bekas mesin cuci dua pintu seperti ini. Ini juga tadi pagi minta sama Pak Udin dari bagian rumah tangga.

Segera saja Markamto membongkar lagi rumahnya tanpa ragu-ragu. Dhanianto, tukang parkir RSJ yang melihatnya sedang sibuk sendiri bertanya sambil tertawa cengengesan.

“Pak Cabup, kenapa dibongkar rumah kardusnya?”

“Mau bikin vila aja.”

“Bu Cabup ngasih duit lagi tadi? Bagi dooong..”

Markamto meringis tidak mengerti.

Cigugur, 28 September 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline