Lihat ke Halaman Asli

Tarjan

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13359562151325039517

Sudah sekian lama Tarjan memendam perasaan yang mendalam. Cintanya kepada Siti hingga kini tetap utuh berwujud angan-angan. Tapi, Siti yang masih terhitung kerabat satu canggah, tidak pernah menghiraukannya. Tiap Tarjan datang bertandang, Siti tidak pernah bersedia menemuinya berlama-lama. Baru sebentar, gadis itu langsung sibuk dengan macam-macam hal. Yang katanya mau menyetrika pakaian lah, menyapu halaman lah, atau malah pergi ke rumah teman. Ada saja alasannya. Ujung-ujungnya, pasti bapak atau ibu Siti juga yang menggantikan anaknya itu menemani Tarjan. Sungkan jika sampai rasa kesalnya terlihat, Tarjan hanya bisa menanggapi ngalor-ngidul pembicaraan mereka, hitung-hitung menghabiskan sebatang rokok sambil berharap siapa tahu Siti akan mau menemuinya lagi.

Tarjan sadar, bukan hanya dia yang biasa bertandang ke rumah Siti. Ada lagi yang lain. Namanya Dali, anak Pak Karsad, pedagang pisang. Ada seseorang yang pernah mengadu padanya bahwa Dali sering menyempatkan mampir ke rumah Siti saat berangkat atau sepulangnya dari kebun. Katanya, mereka sering terlihat duduk berduaan di bawah rindang pohon jambu air depan rumah Siti. Tarjan mengenal Dali, walaupun tidak terlalu akrab karena letak dusun mereka berjauhan. Wajahnya boleh dibilang ganteng, sikapnya menyenangkan dan pintar sekali mencari bahan pembicaraan. Siapa saja yang pernah ngobrol dengan Dali pasti tidak akan merasa bosan. Bercerita tentang apapun, dia pasti selalu bisa membuat lawan bicaranya tertawa. Tidak heran, jika Siti betah berlama-lama mendengarkan cerita Dali.

Jika diperbandingkan dengan Dali, Tarjan toh sama sekali tidak merasa kalah. Dali ganteng, dia juga tidak kurang gantengnya. Dali anak pedagang pisang, dia malahan baru diangkat jadi PNS, Satpol PP. Kerja kantoran, memakai sepatu, seragam, bahkan peluit yang tergantung di pundak menambah wibawanya. Jika sampai peluit itu berbunyi, pedagang-pedagang kaki lima bakalan gentar. Jangan kata cuma peluit, baru terlihat kelebat seragamnya saja mereka sudah kalang-kabut berlarian menyelamatkan dagangan masing-masing. Lebih-lebih pentungannya. Tidak hanya pedagang kaki lima, pengamen di tiap perempatan lampu merah bisa gemetaran jika dia sudah mulai menghunusnya.

Dilihat dari bibit, bobot dan bebet, Tarjan jelas tidak patut kalah dari Dali. Sudah keturunan orang terhormat, sawah dan kebun luas, ditambah status PNS-nya pula. Singkat kata, tidak akan nantinya dia hidup sengsara. Tapi kenapa Siti enggan menerima cintanya, malah lebih condong kepada Dali? Apa Siti memang lebih memilih untuk belepotan getah pisang nantinya? Tarjan heran sekaligus kecewa. Kecewa pada Siti, kecewa juga dengan Dali.

Pernah suatu kali, Tarjan menemui Dali. Maksud Tarjan, baik-baik meminta Dali menjauh, tidak usah lagi melanjutkan hubungan cinta dengan Siti. Tarjan sudah nekat. Dali harus menghiraukannya. Mau menurut ya syukur, jika tidak, apapun maunya si Dali, kalau perlu dengan kekerasan, dia siap melayani. Dasar sama-sama angkuh karena gejolak darah muda, pembicaraan yang awalnya selaras ujung-ujungnya jadi panas dan berakhir dengan pertengkaran. Tidak ada yang mau mengalah. Jika saja tidak dipisah kawan-kawan yang lain, pastilah sudah terjadi perkelahian.

Niat Tarjan batal, kandas. Dali masih saja menemui Siti. Walau demikian, walaupun rasa kecewanya tidak terkira, dia tetap tidak bisa melupakan Siti. Benar bahwa gadis cantik di desanya banyak, bukan cuma Siti, tapi dalam hati Tarjan hanya ada Siti seorang. Siti, Siti, Siti. Tarjan hanya ingin memperistri Siti. Tarjan tergila-gila pada Siti.

***

Tarjan sewot. Masuk rumah tanpa mengucapkan salam, pintu dibanting. BRAGG!!! Jaket dilepas, lalu sepatu yang sering dipakainya untuk menendangi dagangan-dagangan kaki lima dilemparkan sekuat tenaga. Hampir saja mengenai tivi. Kaus kaki yang baunya busuk menyengat, disusulkan pula ke arah sepatunya itu. Terakhir, dia pukulkan pentungannya yang keras dan kaku itu ke atas meja. DHAR! Seperti belum puas, diulanginya sekali lagi. DHAR! Ulah Tarjan itu jelas mengagetkan bapak dan ibunya yang sedang menikmati sore di ruang keluarga.

"Ada apa ini?! Ada apaaaa ... ?! Pulang-pulang kok bawa setan. Ngaget-ngageti orang tua! Sewot masalah apa sebenarnya? Coba sabar. Nggak pantes orang pake seragam bawaannya sedikit-sedikit sewot. Paaaaakkk ... Bapakeeee ... sini! Tarjan bagaimana ini. Coba dibilangi!" Ibunya yang buru-buru mendatangi langsung mengomel sambil memunguti sepatu dan kaus kaki yang berserakan. Bapaknya yang sedang asyik mengunyah cemilan dipanggil-panggil.

"Ada apa, sih? Kebangetan betul. Masuk rumah nggak pakai salam, malah sewot jebrad-jebred. Masalah kerjaan jangan dibawa-bawa ke sini. Marah di sana, jangan dilampiaskan di rumah. Sadar diri sedikit, kamu itu sekarang pegawai berseragam. Nggak pantes kalau didengar tetangga. Suruh minum dulu, Bu!" Bapaknya ikut menegur Tarjan.

Sesudah minum air putih, Tarjan yang merasa hatinya agak sejuk, langsung menyalakan rokok. Asapnya dihembuskan kencang ke atas sambil bersuara, "Huuufff ..."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline